Banyak pendidik telah memutuskan untuk tidak lagi kembali ke pekerjaan yang mereka sukai.
JERNIH-Upaya junta militer Myanmar untuk membuka sekolah pada hari Selasa (1/6/2021) menghadapi kendala. Pasalnya banyak guru dan siswa menolak hadir memenuhi ruang kelas sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Junta.
Pemerintah Junta bersikeras membuka kembali sekolah setelah setahun tidak ada sekolah tatap muka karena Covid-19. Namun banyak pendidik telah memutuskan untuk tidak lagi kembali ke pekerjaan yang mereka sukai.
“Saya tidak takut dengan penangkapan dan penyiksaan mereka,” kata Shwe Nadi, seorang guru dari ibukota komersial Yangon kepada AFP. Namanya telah diubah demi keselamatannya.
“Saya takut menjadi guru yang mengajarkan propaganda kepada siswa.” Kata Shwe lebih lanjut.
Shwe dipecat dipecat karena bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil – salah satu dari ribuan guru dan akademisi yang dipecat junta.
“Tentu saja saya merasa tidak enak kehilangan pekerjaan karena saya senang menjadi guru. Meski tidak dibayar dengan baik, kami bangga menjadi guru karena orang lain menghormati kami,” katanya. ‘Kami tidak ingin pengkhianat’
Sejak pemerintahan junta berkuasa, banyak guru sekolah umum bergabung di jalanan dengan pekerja kereta api, dokter dan pegawai negeri. Selama berbulan-bulan mereka bergabung dengan boikot nasional, tetapi mengatakan “jiwaku murni” karena dia berpartisipasi dalam pemogokan.
“Ketika saya melihat bagaimana mereka telah membunuh banyak orang, saya merasa saya tidak ingin menjadi guru mereka lagi,” kata Nu May — bukan nama sebenarnya — di negara bagian Mon Selatan, kepada AFP.
Sekitar 15 anak di bawah usia 16 tahun tewas dalam tindakan keras junta merupakan anak sekolah dasar.
Media yang dikelola Junta dalam beberapa hari terakhir memuat gambar pejabat yang menonton pendaftaran sekolah dan menjanjikan bahwa orang tua akan “puas” dengan kembalinya sekolah tatap muka. (tvl)