Site icon Jernih.co

Kapal Terakhir Global Sumud Flotilla Menantang Blokade Israel

Di tengah operasi militer Israel yang agresif, sebuah kisah keberanian maritim muncul dari kapal layar berbendera Polandia, Marinette. Kapal berawak enam orang ini menjadi satu-satunya yang tersisa dari armada bantuan kemanusiaan besar, Global Sumud Flotilla.


JERNIH – Armada Global Sumud Flotilla yang tadinya terdiri dari 44 kapal, kini tinggal Marinette yang berlayar sendirian, menantang blokade laut Israel yang telah mencekik Jalur Gaza. Entah sampai kapan ia dapat bertahan mengingat para pengamat memprediksikan pasukan Israel tetap akan menahannya.

Militer Israel telah berhasil membubarkan sebagian besar armada tersebut sejak Rabu (1/10/2025), menahan ratusan aktivis dari lebih dari 40 negara, termasuk tokoh-tokoh terkemuka seperti aktivis iklim Greta Thunberg, mantan Wali Kota Barcelona Ada Colau, dan Anggota Parlemen Eropa Rima Hassan.

Pada Jumat dini hari (waktu GMT), saat matahari terbit di belakangnya di perairan internasional, Marinette—yang sempat tertinggal dari kelompok utama karena masalah mesin—kini “melaju kencang” menuju perairan teritorial Gaza.

Kapten kapal berkebangsaan Australia, yang hanya memperkenalkan diri sebagai Cameron, menyampaikan tekadnya melalui panggilan video kepada penyelenggara flotilla. “Kami memiliki sejumlah warga Turki yang sangat tangguh di kapal… kami punya seorang wanita dari Oman dan saya sendiri, dan kami hanya akan terus melanjutkan perjalanan ke arah sana,” katanya, menunjukkan semangat yang tak tergoyahkan.

Berdasarkan pelacak geo langsung, kapal itu berada sekitar 43 mil laut (sekitar 80 km) dari perairan teritorial Gaza. Ini adalah jarak penentu yang memisahkan misi kemanusiaan terakhir ini dari zona konflik aktif, di mana Kementerian Luar Negeri Israel telah memperingatkan akan mencegah upaya kapal mana pun untuk menerobos blokade.

Pelanggaran Hukum Internasional dan Kecaman Global

Sejak Rabu, Angkatan Laut Israel telah mencegat puluhan kapal yang membawa pasokan kemanusiaan penting, menahan sekitar 500 aktivis, sebelum memindahkan mereka ke Israel untuk dideportasi. Israel beralasan para sukarelawan tersebut berupaya melanggar “blokade laut yang sah”—klaim yang secara luas dianggap bertentangan dengan hukum internasional.

Stephen Cotton, Sekretaris Jenderal Federasi Pekerja Transportasi Internasional (ITF) yang mewakili 16,5 juta pekerja global, menegaskan bahwa tindakan Israel adalah ilegal. “Menyerang atau menyita kapal kemanusiaan tanpa kekerasan di perairan internasional adalah melanggar hukum internasional,” ujarnya. “Laut tidak boleh diubah menjadi medan perang.”

Kecaman keras datang dari para pemimpin dunia, termasuk Presiden Kolombia Gustavo Petro, yang mengumumkan pengusiran diplomat Israel dan pembatalan perjanjian perdagangan bebas negaranya sebagai respons atas tindakan tersebut. Sejumlah negara Eropa, seperti Jerman, Prancis, dan Inggris, juga menuntut Israel menghormati hak-hak anggota awak yang ditahan.

Sementara PBB belum berkomentar resmi, Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, Francesca Albanese, secara tegas menyebut pencegatan tersebut sebagai “penculikan ilegal.” Albanese juga menuliskan di media sosial, “Pikiran saya bersama rakyat Gaza, yang terperangkap di ladang pembantaian Israel.”

Kisah Marinette, yang kini berlayar sendirian, melambangkan perjuangan yang lebih besar: konflik antara kebutuhan kemanusiaan mendesak dengan kekuasaan blokade militer. Keberanian awak kapal terakhir ini, yang berlayar dengan risiko ditangkap, telah mengalihkan perhatian dunia ke penderitaan di Gaza dan memperkuat tuntutan global akan diakhirinya blokade tersebut.

Exit mobile version