Site icon Jernih.co

Karawaci, Oey Djie San, dan Kisah Kapitein der Chinezen yang Meninggalkan Jabatannya

JERNIH — Dalam beberapa hari terakhir, terutama setelah aksi sejumlah pemuda Tionghoa membersihkan makam Oey Kiat Tjin — kapten Cina Tangerang terakhir — nama Karawaci jadi perbincangan. Maklum, Oey Kiat Tjin adalah landheer, atau tuan tanah Karawaci, Tjilongok, Gandoe, Grendeng, dan Cibodas.

Namun, Oey Kiat Tjin relatif tidak populer dibanding Oey Djie San, ayahnya yang mewariskan seluruh tanahnya. Oey Djie San, dengan landhuis Karawaci, lebih sering ditulis di bebagai media online, situs pribadi, dan komunitas.

Dari sekian banyak tulisan itu, ada satu yang membahas asal-usul nama Karawaci. Disebutkan, Karawaci adalah akronim Kampung Rawa Cina. Nama ini muncul ketika Oey Djie San mengerahkan penduduk di tanah partikelirnya untuk mengubah rawa-rawa menjadi persawahan.

Tanah partikelir itu kemudian berkembang menjadi Kampung Rawa Cina. Saat itu, kata si penulis, Karawaci adalah kampung yang ramai dengan lalu-lalang orang Tionghoa dari sekujur Tangerang dan wilayah lain.

Namun, pada bagian berikut tulisannya, si penulis mengatakan nama Karawaci telah ada jauh sebelum Oey Djie San memiliki tanah itu. Bahkan Karawaci telah ada sejak era Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk 1775-1777.

Karawaci dalam Arsip Hindia-Belanda

Tanpa perlu melacak terlalu jauh, setidaknya ke era VOC, kita bisa mengambil kesimpulan Karawaci adalah nama hasil evolusi. Dalam Staat der Partikuliere Landerijen in 1869 tertera Grendeng of Karwatji sebagai tanah partikelir (land) yang dimiliki Oeij Eng Sioe. Of adalah kata dalam Bahasa Belanda yang artinya ‘atau’.

Kata Karwatji disematkan untuk membedakan land itu dengan dua bidang tanah partikelir bernama sama; Gedeelte Grendeng dan Grendeng. Gedeelte adalah kata dalam Bahasa Belanda yang artinya bagian. Sedangkan Grendeng kemungkinan berasal dari grenend, kata juga dalam Bahasa Belanda, yang artinya berbatasan.

Dalam Bevolkingstatistiek van Java 1870 yang disusun P Bleeker terdapat Grendeng 1 dan 2, Grendeng Karawadji, Karawadji 1 dan 2. Lima tanah partikelir itu adalah bagian Onderdistrik Tangerang, Afdeeling Tangerang.

Regerings-Almanak voor Nederlandsche-Indie 1870 menunjukan Grendeng of Karwatji, yang dimiliki Oeij Eng Sioe, dikelola Loa Tong sebagai penghasil beras, gula, kacang dan kelapa. Gedeelte Grendeng, atau Grendeng 1, dimiliki Tan Keng Seng dan disewakan kepada Lim Tjong Tjoan untuk dikelola sebagai persawahan, kebun kacang dan kelapa.

Grendeng 2 dimiliki Mas Baderoen cs, disewa Cornelis van Sonsbeek untuk diubah menjadi perkebunan indigo, persawahan dan kebun kacang. Dua bidang tanah lainnya, Karawadji 1 dan 2 tidak tertera.

Namun, dalam Regerings-Almanak voor Nederlandsche-Indie 1876, terdapat nama Karawadji 1 dan 2 sebagai bidang tanah milik Oeij Khe Thaij dan dikelola Tan Tien Ho sebagai perkebunan kelapa, persawahan, dan kebun kacang tanah. Oey Khe Thaij juga memiliki empat bidang tanah lainnya; Kramat, Ketos, Gandoe, dan Onnom.

Butuh penelitian lebih serius untuk mengungkap asal-usul nama Karawaci. Terutama pada tahun-tahun setelah perjanjian damai VOC-Banten, dan penetrasi para tuan Belanda ke wilayah yang lebih jauh dari tepi barat Sungai Cisadane. Asumsinya, Karawaci kemungkinan dibuka dan dipetakan pada saat itu.

Karawaci dan Oey Djie San

Oey Djie San bukan landheer yang muncul tiba-tiba. Ia adalah putra Oey Khe Thaij, kapitein der Chinezeen Tangerang, dan cicit Oeij Eng Sioe. Sebagai putra tertua Oey Khe Thaij, Oey Djie San menerima warisan bidang-bidang tanah Karawatji 1 dan 2, Karet, Ketos, Gandoe, dan Onnom. Karet, Ketos, dan Onnom tercatat dalam satu nama, yaitu Tjilongok dalam Regerings-Almanak voor Nederlandsche-Indie 1900.

Ia mengambil alih Grendeng of Karwatji dari keluarga Oeij Eng Sioe, kakek buyutnya. Ia membeli Grendeng 2 dari Mas Baderoen cs, dan membiarkan sebagian Gedeelte Grendeng atau Grendeng 1 — kemudian menjadi Grendeng of Karawatji Ilir — tetap dimiliki Tan Keng Liong, ahli waris Tan Keng Seng.

Oey Djie San menyatukan seluruh tanah itu dalam satu perusahaan bernama NV Cultuur-maatschappij Krawatji-Tjilongok. Ia mengelola langsung sebagian besar tanah itu, dan menyerahkan pengelolaan Gandoe kepada Tjan Bi Seng, dan mengubah Krawatji 2– demikian Regerings-Almanak voor Nederlandsche-Indie 1900 menulisnya — sebagai pemakaman masyarakat Cina yang dikelola Lauw Kieo Soeij.

Secara keseluruhan Oey Djie San menjadi tuan di atas 20.026 bouw, atau 16 ribu hektar tanah partikelir, dengan penduduk 33.417 di dalamnya. Ia menjadi powerful untuk mengambil alih posisi kapitein der Chinezen Tangerang dengan cara di luar kesepakatan tradisional.

Meski menjadi yang terkaya di Tangerang sebelum abad ke-20, Oey Djie San belum pernah duduk sebagai letnan di Dewan Tionghoa Tangerang. Saat Oey Giok Koen menjadi kapiten sejak 1899, dua letnan di bawahnya adalah Ang Kong Pan dan Kho Po Tjoan.

Oey Giok Koen, yang masih kerabat Oey Djie San, mengundurkan diri. Sesuai tradisi, kapten berikutnya adalah letnan tertua dan terlama menjabat. Konvensi ini dilanggar, dan Oey Djie San — yang tak punya pengalaman dalam birokrasi pemerintah komunitas Tionghoa Tangerang — dilantik sebagai kapten.

Menariknya, tidak ada penjelasan siapa dua letnan yang membantunya menjalankan pemerintahan dan terlibat dalam acara seremonial komunitas Tionghoa Tangerang. Tidak diketahui siapa yang menggantikannya menjalankan birokrasi ketika tahun 1909 ia cuti satu tahun untuk melakukan perjalanan ke Eropa dan mengunjungi dua putranya; Oey Kiat Tjin dan Oey Kiat Ho yang bersekolah di Haarlem, Belanda.

Steve Haryono, dalam Perkawinan Strategis: Hubungan Keluarga Antara Opsir-opsir Tionghoa Dan ‘Cabang Atas’ Di Jawa Pada Abad Ke-19 Dan 20, menyebutkan Oey Djie San menjalankan tugasnya sebagai kapten sampai 1916. Tidak ada penjelasan apakah dia meninggalkan jabatannya begitu saja, mengundurkan diri, dan siapa yang meneruskan tugas-tugasnya

Jika informasi ini benar, Oey Djie San tampaknya memahami situasi politik — terutama yang berkaitan dengan perdebatan tentang masih perlunya sistem perwira di masyarakat Tionghoa — yang berkembang saat itu. Perdebatan terjadi sejak tahun 1900, ketika pengaruh nasionalisme Kuomintang merambah ke Hindia-Belanda.

Perdebatan itu tidak hanya terjadi di masyarakat Tionghoa, tapi juga di kalangan petinggi Belanda. Sebagian masyarkat Tionghoa, yang diwakili surat kabar Sin Po, menghendaki penghapusan sistem perwira. Alasannya, orang Tionghoa di Hindia Belanda tak lagi butuh letnan, kapten, atau majoor.

Kelompok lain, terdiri dari orang-orang yang diuntungkan sistem perwira, diwakili surat kabar Perniagaan. Mereka menghendaki sistem perwira dipertahankan karena masyarakat Tionghoa miskin masih membutuhkannya.

Di masyarakat Tionghoa, terjadi perpecahan serius antara peranakan dan xinke, atau pendatang. Di kalangan pejabat Hindia-Belanda, perdebatan sedemikian panjang. Sebagian pejabat ingin sistem perwira tradisional dihapus, dan diganti oleh pemimpin Tionghoa yang dipilih dan digaji pemerintah kolonial.

Di banyak tempat di Pulau Jawa, beberapa letnan dan kapten meningglkan posisinya setelah terjadi serangan fisik terhadap mereka. Tidak ada yang tahu pasti apakah Oey Djie San mengalami nasib serupa, yang membuatnya menanggalkan jabatan kapten tahun 1916.

Mungkin Oey Djie San tak kaget ketika September 1917 pemerintah Hindia-Belanda menghapus sistem perwira di masyarakat Tionghoa, yang menyebabkan seluruh kapten dan letnan mendadak kehilangan kekuasaan.

Dia juga tak sempat kaget ketika tahun Desember 1927 pemerintah Hindia-Belanda menghidupkan kembali sistem perwira, dan beberapa bulan kemudian Oey Kiat Tjin, putra tertuanya, dilantik sebagai kapten. Saat Oey Kiat Tjin mengenakan baju kebesaran kapten model baru, Oey Djie San telah tiga tahun menghuni liang lahat.

Exit mobile version