- Tidak ada garis waktu pelaksanaan kesepakatan.
- Tidak ada desakan pembebasan tahanan politik.
- Aktivis kecewa dan tak butuh ASEAN, PBB, dan siapa pun yang bicara dari luar.
- Kesepakatan ASEAN-Junta Militer tidak mencerminkan situasi Myanmar sebenarnya.
JERNIH — Aktivis anti-kudeta militer Myanmar mengecam kesepakatan pemimpin ASEAN dan junta militer untuk mengakhiri kekerasan, dan bersumpah melanjutkan aksi protes.
“ASEAN, PBB, atau siapa pun, hanya bicara dari luar. Mereka bisa saja mengatakan jangan bertempur tapi berunding dan menyelesaikan masalah,” kata Khin Sandar, dari Komite Kolaborasi Pemogokan Umum. “Yang mereka bicarakan bukan situasi Myanmar sesungguhnya.”
Sepanjang Minggu aksi protes berlangsung di beberapa kota besar di Myanmar. Belum ada kabar berapa lagi korban tewas dengan lubang peluru di kepala atau dada, atau orang-orang terluka.
Saat demo berlangsung, pemimpin kudeta Jenderal Min Aung Hlaing mencapai kesepakatan dengan negara-negara ASEAN, tapi tidak ada garis waktu.
Brunei Darussalam, ketua ASEAN, mengatakan sebuah konsensus lima poin dicapai di Jakarta untuk mengakhiri kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak, utusan khusus ASEAN memnfasilitasi dialog, penerimaan bantuan, dan kunjungan utusan ke Myanmar.
Konsensus tidak menyebut soal tahanan politik, meski pernyataan ketua mengatakan pertemuan mendengar seruan pembebasan mereka.
Pemimpin ASEAN menginginkan komitmen Min Aung Hlaing menahan kebrutalan tentaranya, yang menurut Asosiasi untuk Tahanan Politik (AAPP) telah menewaskan 748 orang sejak kudeta 1 Februari.
“Kami menyadari apa pun hasil di pertemuan ASEAN tidak akan mencerminkan keinginan masyarakat,” kata Wai Aung, penyelenggara protes di Yangon. “Kami akan terus melawan, melakukan pemogokan sampai rezim militer benar-benar gagal.”
Di media sosial, sejumlah aktivis menyampaikan kritik kerasnya. “Kesepakatan ASEAN adalah tamparan bagi orang-orang yang dianiaya, dibunuh, dan diteror militer,” tulis seorang pengguna bernama Mawchi Tun di laman Facebook-nya. “Kami tidak membutuhkan bantuan pola pikir dan pendekatan ASEAN.”
Aaron Htwe, pengguna Faceook lainnya, menulis; “Siapa yang akan membayar harga 700 nyawar warga Myanmar.”
Phil Robertson, wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch, mengatakan sangat disayangkan hanya ketua junta yang mewakili Myanmar pada pertemuan itu.
“Tidak ada perwakilan rakyat Myanmar yang datang ke Jakarta, tapi mereka juga kehilangan konsensus bahwa ASEAN sekarang menepuk dada sendiri dengan apa yang dicapai,” kata Robertson.
Robertson juga menyebut tidak adanya garis waktu untuk bertindak, dan kelemahan ASEAN yang terkenal dalam melaksanakan keputusan dan rencana yang dikeluarkan, adalah kekhawatiran nyata yang tidak boleh diabaikan siapa pun.