Site icon Jernih.co

Ketika Orang Cina Batavia Merindukan Perempuan Cina

Source: Wikimedia Commons

JERNIH — Dalam Kai Ba Lidai Shiji (开吧历代史记), atau sejarah Batavia yang ditulis seorang penulis Tionghoa, ada cerita menarik tentang kerinduan orang Tionghoa terhadap perempuan dari tanah leluhur.

Sebagai latar belakang, orang Cina yang datang ke Batavia sejak 1619 tidak membawa istri, saudara perempuan, atau perempuan dari tempat kelahiran. Selama lebih 70 tahun mereka tidak pernah tahu seperti apa perempuan Cina.

Mereka yang memiliki uang cukup membeli budak Bali di pasar budak, letaknya saat ini di depan Toko Merah, dijadikan ‘njai’ atau dinikahkan secara resmi menurut tradisi Cina. Mereka yang tak punya uang terpaksa ‘ngelaba’ ke kampung-kampung dan menikahi perempuan pribumi berlatar-belakang Islam nominal.

Semua itu tidak membuat kerinduan mereka akan perempuan dari tanah leluhur hilang begitu saja. Ada upaya mendapatkan perempuan dari Cina daratan, tapi Dinasti Qing mengeluarkan dekrit yang melarang orang Cina keluar dan yang telah keluar tidak boleh kembali.

Suatu hari di tahun 1699 tersiar kabar akan datangnya Wang Jie (王界), konsul Dinasti Ming untuk Nanyang — sebutan untuk Asia Tenggara dalam geopolitik Cina — ke Batavia. Wang Jie akan ditemani istrinya, yang diketahui bermarga Zheng (鄭氏).

Kabar ini sampai ke Hoge Regerings, atau pemerintah Agung VOC, dan Gubernur Jenderal Johannes Camphuys. Rupanya, sang gubernur jenderal ketularan demam ingin tahu perempuan dari Cina daratan. Ia memutuskan akan mengundang Wang Jie dan istri ke kantornya.

Pada hari yang dijadwalkan, sayang Leonard Blussee tidak menyebut tanggalnya, orang-orang Tionghoa dari sekujur Batavia — bahkan ada yang datang jauh dari pedalaman Ommelanden — berkumpul di dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka terdiri dari berbagai usia, tapi kebanyakan orang-orang tua, aki-aki mulai sepuh yang datang dengan tandu.

Wang Jie dan istri berdiri di depan junk yang hendak merapat ke dermaga. Semua orang yang menyambut berteriak, mengagumi istri Wang Jie yang cantik. Mereka tak henti menatap istri Wang Jie — seorang wanita Tang Shan.

Itulah kali pertama dalam 70 tahun pemukim Tionghoa di Batavia melihat perempuan Cina daratan. Istri Wang Jie tampil dengan busana bangsawan tradisional Cina. Ia menebar senyum ke semua yang menyambut.

Di antara rombongan Wang Jie ada yang melihat peristiwa itu sebagai bisnis jangka panjang. Jika bisa membawa perempuan dari Cina daratan ke Batavia, pasti orang-orang Tionghoa Batavia yang kaya bersedia membeli dengan harga berapa pun.

Tahun-tahun berikut setelah kedatangan Wang Jie dan istri ke Batavia, ada upaya menyelundupkan perempuan Cina daratan ke Sunda Kelapa. Semua berakhir tragis, dengan penyelundup mati di tiang gantungan.

Situasi itu terjadi hingga 1710, tapi penulis Kai Ba Lidai Shiji tidak meyebut berapa orang dihukum mati karena berusaha menjalankan bisnis perdagangan wanita.

Exit mobile version