Paris — Orang-orang Cina, dan penduduk Asia lainnya, mulai mengalami dampak lain penyebaran virus korona, yaitu rasisme anti-Asia.
Di London dan Paris, ibu kota Inggris dan Prancis, orang-orang Cina menuliskan keluhan di media sosial tentang bagaimana mereka dilecehkan saat berada di commuter line, bus kota, atau di kerumunan.
Di Prancis, orang-orang Cina yang bermukim di kota itu menggunakan tagar JeNeSuisPasUnVirus, atau saya bukan virus.
Ada protes keras dari sejumlah orang Cina di Prancis, ketika surat bakar lokal menurunkan tajuk utama berjudul Alerte jaune dan Le Peril Jeune, yang artinya Bahaya Kuning. Lengkap dengan gambar seorang wanita Cina mengenakan masker.
Koran itu dengan cepat meminta maaf, namun mengelak kedua judul tajuk itu mengandung arti stereotip Asia terburuk.
Stephane Nivet, kepala Liga Internasional Melawan Rasisme dan anti-Semitisme (Licra), mengatakan jelas ada masalah di masyarakat dan pers kita.
Ketika tagar JeNeSuisPasUnVirus merebak, Cathy Tran — seorang wanita Vietnam yang melakukan perjalanan ke tempat kerja dengan commuter line — bercerita tentang dua pria Prancis yang berbincang.
“Salah satu pria mengatakan; hati-hati gadis Cina mendatangi kita,” kata Cathy.
Saat jalan kaki menuju rumah, lanjut Cathy, seorang pria mengendarai skuter berhenti dan mengatakan; “Pakai masker kau.”
Pengguna hashtag lain mengatakan; “Apakah kita berbahaya jika kita batuk, sedangkan semua orang di sekitar kita juga batuk.”
Prancis hari ini mengirim pesawat ke Wuhan, kota episentrem virus korona, untuk menjemput warganya yang terjebak di kota terisolasi. Sekitar 250 warga Prancis dan negara-negara Uni Eropa non-Prancis berada di kota itu cemas menunggu jemputan.
Lou Chengwang menulis di Twitter; “Saya orang Tionghoa tapi saya bukan virus. Saya tahu semua orang takut virus, tetapi jangan ada prasangka. Please.”
Di Prancis, tidak hanya orang Prancis yang dianggap membawa virus, tapi etnis Asia lainnya.
Shana Cheng, wanita usia 17 tahun keturunan Vietnam-Kamboja, mengatakan kepada BBC bahwa dia mendengar komentar memalukan di sebuah bis kota, Minggu lalu.
“Saya dengan seorang penumpang berkata; ada wanita Cina. Dia akan mencemari kita. Dia harus dikirim pulang,” kata Shana.
“Orang-orang memandang saya dengan jijik, seolah saya bukan manusia tapi virus,” lanjutnya dengan air mata meluncur di pipi. “Tidak ada yang membela saya.”
Menurut Shana, yang bisa dia lakukan hanya satu; menutup telinga dengan headset dan mendengarkan musik.
“Selanjutnya saya mempermainkan ketakutan semua orang di kereta. Caranya, saya pura-pura batuk, batuk, dan batuk,” kata Shana seraya tersenyum. “Saya memainkan hidung, menengadahkan kepala ke atas seakan menghidup udara.”
Orang-orang di kereta berusaha menyingkir, tapi tidak bisa karena kereta padat.
Cathy Tran tidak terkejut dengan semua itu. Namun, apakah ketakutan terhadap virus korona menjadi alasan bagi setiap orang untuk menjadi rasis.
“Ini rasisme yang pernah terjadi sebelumnya,” katanya.
Di kanada, pemukim Cina mulai dihinggapi ketakutan akan adanya stigma setiap orang Tionghoa pembawa virus korona. Mereka yang bermukim di Toronto dan Vancouver sejak lama punya pengalaman buruk saat SARS mewabah.
Tahun 2003, saat SARS mewabah, ada 438 kasus dengan 44 meninggal di Toronto. SARS menghantam keras industri pariwisata Toronto, dengan restoran Cina di kawasan Chinatown kehilangan pendapatan sampai 80 persen.
Jean Chretien, PM Kanada saat itu, mengatasinya dengan mengunjungi Chinatown dan makan di salah satu restoran. Pesan tak tertulisnya; tidak ada alasan menghindari bisnis Asia.
Anggota dewan kota dan tokoh masyarakat Cina di Toronto mengantisipasi kemungkinan ini dengan mendesak warga non-Cina tidak mendiskriminasi orang Tionghoa, dan keturunan Asia lainnya.
Kanada telah kemasukan virus korona, dengan dua kasus terkonfirmasi. Justine Kong, direktur eksekutif Chinese Canadian National Council, mengatakan sedang berusaha saat ini orang masih berusaha memahami dampak masuknya virus korona.
“Ada ketakutan di masyarakat. Namun ketakutan di kalangan orang Cina adalah diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari,” katanya. “Jika itu terjadi, industri pariwisata akan terpukul. Pekerja dan usaha kecil gulung tikar.”