Seoul — Korea Selatan terjerumus ke dalam sentimen anti-Cina, menyusul peningkatan korban terinfeksi virus korona dalam 24 jam terakhir.
Sampai pekan kedua Februari 2020, hanya 28 orang Korsel terjangkit virus korona. Selalu ada korban baru setiap hari, dan meningkat dua kali lipat dalam 24 jam terakhir menjadi 204 pada 21 Februari. Satu korban terjangkit tewas.
Pihak berewenang Korsel mengidentifikasi penyebab kenaikan mendadak adanya satu super spreader, yaitu seorang wanita Korea yang kini dijuluki super ajumma — atau awnita paruh baya super. Namun, orang Korsel tetap menyalahkan orang Cina.
“Jika Anda melihat online, banyak komentar netizen menyalahkan Cina,” kata Felicia Istad, kandidat PhD yang meneliti kebijakan beragam Korsel di Universitas Korea.
“Saya mendengar, dan telah melihat, ada toko-toko di Korea memasang papan pengumuman beruliskan ‘Cina tak diinginkan di sini,” lanjut Felicia. “Banyak komentar agresif di banyak situs Korsel.”
Dari THAAD ke Virus
Bertahun-tahun hubungan Korsel-Cina diwarnai kepentingan geopolitik; mulai dari sikap Beijing yang semi-suportif terhadap Korea Utara sampai krisis rudal THAAD.
Menariknya, kedua isu itu tidak pernah benar-benar membuat Korsel-Cina saling siaga menyerang dan bertahan secara militer. Keduanya memiliki ikatan yang kuat karena faktor historis.
Cina adalah mitra dagang raksasa Korsel; impor dan ekspor. Wisatawan Tiongkok adalah sumber devisa terbesar Korsel, dengan 34 persen dari total kunjungan wisman ke semenanjung sampai Desember 2019.
Jika Anda ke Korsel, sangat sulit membedakan antara orang Cina dan Korea. Orang Korea sangat bisa mengidentifikasi orang Cina.
Kini, orang Cina adalah imigran terbesar di Korsel. Selalu ada orang Cina di universitas di Korsel, dengan rata-rata menetap untuk jangka panjang.
Namun selalu ada stereotipe bagi orang Cina di Korsel. “Orang Korsel menyebut orang Cina berisik dan jorok,” kata Felicia.
Januari 2020 setengah juta orang Korsel menandatangani petisi yang diajukan ke Gedung Biru — julukan untuk istana kepresidenan Korsel — meminta larangan total pengunjung Tiongkok.
Koran-koran Korsel memberitakan banyak toko melarang orang Cina masuk. Ada pula restoran yang melarang seluruh orang asing.
Meme anti-Jepang, mengacu pada era kolonial, dirancang ulang menjadi meme anti-Cina. Jika semula No Japan, kini No China” – “No thank you, fine dust pollution and Wuhan coronavirus. Boycott China.
Namun, ada perlawanan terhadap semangat ini. Moon Tae-sun, mahasiswa di sebuah universitas di Seoul, mengatakan; “Sangat memalukan orang-orang menunjukan prasangka terhadap Cina.”
Menurut Moon, orang Korea yang melakukan perjalanan ke Cina berpotensi menjadi penyebar virus saat kembali ke negaranya. Jadi, lanjutnya, siapa pun bisa menjadi penyebar virus.
Berbeda dengan Moon, Cho YM — pekerja kantoran di Seoul — mengatakan; “Saya ragu untuk mengakuinya, tapi saya menghindari wisatawan Tiongkok ketika melihat mereka berjalan di sekitar kota.”
Cho melanjutkan; “Jika orang lain mengatakan ingin Tionghoa keluar dari Korea, saya juga ingin mereka pergi. Ini bukan soal rasis, tapi saya takut virus.”
Latar Sejarah
Bukan rahasia lagi betapa Cina dan Korsel terlibat ketegangan sepanjang sejarah. Padahal, ada etnis Tionghoa yang menjadi warga negara Korea, dan sebaliknya.
Ilbe, situs internet yang dibuat generasi muda Korea, menjuluki orang Cina sebagai ‘kecoa’. Beberapa media Korsel juga menggambarkan orang Cina dengan kalimat kurang menyanjung.
“Contoh menarik dari semua itu adalah Midnight Run, sebuah film thriller fiksi tahun 2017,” kata Felicia.
Film mengisahkan gangster Tiongkok yang menculik anak-anak untuk perdagangan organ manusia. Film sangat ofensif bagi warga Cina di Korsel, sehingga menimbulkan gelombang protes.
Warga Cina meminta sutradara Kim Joo-hwan meminta maaf, dan menarik film itu.
The Outlaws, film fiksi lainnya, bercerita tentang upaya polisi menggulung kejahatan biadab gengster di kawasan Pecinaan Seoul.
Film ini dibuat berdasarkan persepsi kuat di masyarakat Korsel bahwa Pecinaan Seoul adalah sarang kejahatan, prostitusi, perdagangan organ tubuh, kekerasan yang terjadi setiap hari, dan lainnya.
“Stereotipnya adalah orang Cina mencari nafkah dari kegiatan ilegal,” kata Felicia. “Setiap kali ada kejahatan yang dilakukan orang Cina atau Cina-Korea, orang Korea akan mengatakan seperti itulah orang Cina.”
Sulit mengatakan dari mana rasisme dan permusuhan ini berasal. Yang pasti, ketegangan terhadap pembangunan real estate dan polusi udara beracun Korsel.
Beberapa warga Korsel menyesali investor Cina yang mengembangkan Pulau Jeju, destinasi wisata populer di selatan Busan. Lainnya menyebut konsentrasi tinggi partikel halus di udara Korsel berasal dari industri di Cina.
Tidak ada yang tahu apakah Cina bertanggung jawab atas buruknya kualitas udara Korsel. Yang pasti, banyak warga Korsel mencoba menuntut Beijing.
“Saya berpikir sentimen anti-Cina di Korsel sudah mengeras jauh sebelum virus korona muncul,” kata Felicia.
Tidak Lazim
Andrew Eungi Kim, profesor sosiologi Universitas Korea, mengatakan sentimen anti-Cina di Korsel saat ini tidak seperti yang diperkirakan.
“Apakah saya melihat sentimen anti-Cina di Korsel saat ini? Tidak juga,” katanya.
Debu kuning di masa lalu, katanya, adalah masalah utama Korsel-Cina. Juga masalah parikel halus. Namun, sentimen anti-Cina tidak sebanding dengan sentimen anti-Jepang orang Korea.
“Mengenai virus korona, ada komentar meremehkan orang Cina yang tidak higienis,” kata Kim. “Tapi itu bukan sentimen anti-Cina, tapi perasaa meremehkan orang Cina.”