JERNIH – Sekelompok orang yang pekerjaannya berarti kehidupan, perubahan iklim bisa berarti kematian. Inilah kisah tragis Solomon Oture, seorang pawang hujan yang diburu dan dihukum mati oleh komunitasnya sendiri di Sudan Selatan, setelah kekeringan bertahun-tahun merenggut harapan.
Kematian Oture, yang dikubur hidup-hidup, menyingkap sisi gelap krisis iklim: ketika keputusasaan mencapai puncaknya, sains dikalahkan oleh takhayul, dan kambing hitam menjadi sasaran kemarahan kolektif.
Mengutip laporann Al Jazeera, kemarin, Solomon Oture, di awal usia 50-an, adalah pawang hujan bagi komunitas petani kecilnya di Lohobohobo, sebuah permukiman terpencil di pegunungan Lopit. Tugasnya adalah memanggil hujan—darah kehidupan pertanian mereka—melalui doa dan ritual. Namun, setelah kekeringan melanda selama beberapa musim berturut-turut, hubungan Oture dengan desanya mulai retak. Para pemimpin masyarakat datang menuntut penjelasan atas kegagalannya.
Oture, yang merasa terancam, melarikan diri pada awal Oktober 2024, mencari perlindungan di rumah janda saudara laki-lakinya, empat jam berjalan kaki dari Lohobohobo. Sayangnya, pelariannya hanya berlangsung singkat.
Beberapa minggu kemudian, sekelompok pemuda dari Lohobohobo tiba dan memaksa Oture kembali. Keesokan paginya, Oture dibawa menghadap komunitas di alun-alun desa. Ketika para tetua tiba, generasi pria usia tempur—dikenal sebagai Monyomiji—menyela. Mereka mengumumkan bahwa keputusan telah dibuat.
Menurut seorang saksi mata, Oture tidak melawan. Dengan tenang, ia dibawa keluar desa, menuruni gunung, menuju lubang yang baru digali. Di tepi lubang itu, Oture turun, dan dikubur hidup-hidup.
Warisan Kematian: Pawang Hujan dalam Ancaman
Kisah Oture bukanlah insiden tunggal. Di Sudan Selatan, salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, kekeringan membakar lahan pertanian sementara banjir besar mencabut jutaan orang dari rumah. Di tengah keputusasaan yang meluas, masyarakat mencari jawaban—dan, terkadang, mencari seseorang untuk disalahkan.
Oture adalah setidaknya yang keenam dari pawang hujan yang dikubur hidup-hidup di pegunungan Lopit selama empat dekade terakhir. Beberapa lainnya dilaporkan dibakar, dipukuli sampai mati, atau diusir. Angka korban sebenarnya tidak diketahui karena kekejaman ini diselimuti tabu dan ketakutan.
Mark Anspach, teoretikus sosial yang mempelajari pawang hujan Sudan Selatan, menulis bahwa “Kekeringan adalah momok terbesar yang dapat menimpa wilayah pegunungan… Karena pawang hujan dianggap memiliki kekuatan untuk menyebabkan atau mencegah kekeringan, ia adalah raja yang paling penting.”
Namun, seperti yang disimpulkan Anspach, “Pekerjaan pawang hujan bukan hanya mendatangkan hujan, tetapi juga menyerap rasa sakit kolektif komunitas.” Di zaman dulu, pawang hujan dihormati dan dibayar dengan ternak. Namun, kini peran mereka menjadi sangat berbahaya.
Seorang pawang hujan di wilayah yang sama, yang berbicara tanpa mau disebut namanya, mengakui ketakutan itu: “Itu satu-satunya saat saya bisa takut,” katanya, merujuk pada masa kekeringan. “Monyomiji bisa memanggil saya dan bertanya, ‘Mengapa tidak ada hujan, apakah kamu tidak bekerja?’ Mereka bisa marah.”
Monyomiji: Hakim, Juri, dan Algojo
Di Lohobohobo, seperti desa-desa Lopit lainnya, Monyomiji adalah kekuatan penegak hukum adat. Mereka adalah generasi pemuda yang bertanggung jawab mengatur pertanian, mengejar pencuri ternak, dan—seperti dalam kasus Oture—menghukum mereka yang dianggap mengancam kelangsungan hidup desa.
Dalam kondisi yang sudah parah karena tiga tahun kekeringan berturut-turut, tuduhan terhadap Oture kian memanas. Ia dituduh menyalahgunakan kekuatan spiritualnya untuk kepentingan pribadi, bahkan melakukan ritual jahat untuk menahan hujan sebagai pembalasan pribadi. Ia mulai menuntut imbalan berlebihan, menuding orang yang telah menyakitinya sebagai penyebab kekeringan, dan meminta kompensasi untuk “memperbaiki kerusakan.”
Monyomiji Lohobohobo, yang bertindak sebagai hakim dan algojo, diduga memutuskan nasib Oture. Dalam desa yang jauh dari pos polisi dan di mana jalanan tidak dapat dilewati selama musim hujan, Monyomiji beroperasi di luar jangkauan hukum negara.
“Pemerintah sangat jauh,” kata Luka Asayai, pemimpin Monyomiji Lohobohobo. “Mereka punya cara mereka, dan kami punya cara kami.”
Para pemimpin komunitas mengakui bahwa pawang hujan dikubur hidup-hidup, sebagian, untuk menghindari pertanggungjawaban individu atas kejahatan tersebut. “Komunitas mengambil seluruh tanggung jawab dengan mengubur orang itu hidup-hidup,” kata seorang anggota komunitas. “Dan pemerintah akan berkata, ‘Bagaimana kami bisa menangkap seluruh komunitas?'”
Penderitaan yang tak Berakhir
Tragedi ini bukan hanya tentang kekerasan, tetapi juga tentang dampak iklim yang semakin memburuk. Pietro, seorang petani muda dari Lohobohobo, dipaksa meninggalkan keluarganya mencari nafkah di Juba setelah panen gagal. Ia kembali, tetapi situasinya tidak berubah. “Kami menanam, dan itu gagal,” keluhnya.
Proyeksi iklim menunjukkan kondisi akan memburuk; suhu terpanas di wilayah tersebut diperkirakan akan meningkat lebih dari 7°C pada tahun 2060. Keputusasaan telah membuat orang pergi.
Putra Oture, Owuor Solomon John, yang telah tinggal di kamp pengungsi di Kenya, menerima berita kematian ayahnya dengan kesakitan yang mendalam. Meskipun hubungan mereka rumit, John berharap tragedi ini menjadi yang terakhir. “Saya berharap cerita ini akan mendorong generasi mendatang untuk tidak melakukan hal yang sama,” katanya.
Namun, di tengah kemerosotan harapan dan kegagalan panen berturut-turut, nasib pawang hujan dan komunitasnya tetap terancam. Kematian Solomon Oture adalah peringatan suram: ketika krisis iklim menghancurkan mata pencaharian, ia juga mengikis akal sehat, mengubah tradisi menjadi kekerasan, dan menuntut nyawa mereka yang dipercaya mampu melawan takdir.