Dukungan AS terhadap perang Israel di Gaza telah menjadi sumber pertikaian di Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim, di mana penderitaan warga Palestina telah memicu protes publik yang sering terjadi.
JERNIH – Kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Kuala Lumpur untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada Oktober 2025 menjadi lebih dari sekadar agenda diplomatik. Momen ini menjadi panggung pengujian bagi keseimbangan strategis yang telah lama dipegang teguh Malaysia.
Sebagai negara multiras dengan populasi 35 juta jiwa, Malaysia selama puluhan tahun menjalankan kebijakan luar negeri yang tegas: tidak memihak dalam rivalitas antara kekuatan besar. Kunjungan langka dari seorang Presiden AS—Trump adalah pemimpin AS ketiga yang berkunjung—ini, di satu sisi adalah sebuah kemenangan diplomatik bagi Perdana Menteri Anwar Ibrahim, namun di sisi lain, ia menempatkan pemerintahannya pada posisi genting di tengah persaingan AS dan China yang memanas.
Fakta bahwa Donald Trump, yang terkenal enggan terhadap multilateralisme dan sering absen pada KTT ASEAN sebelumnya, memilih Malaysia sebagai lokasi kunjungannya yang jarang, menegaskan posisi penting Kuala Lumpur di Asia Tenggara. Kehadiran Trump bersama para pemimpin global lainnya—seperti PM Jepang Sanae Takaichi, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa—secara otomatis menaikkan profil Malaysia dan ASEAN di kancah internasional.
Namun, signifikansi kunjungan ini jauh melampaui seremoni belaka. Ia adalah simbol dari tali tegang yang harus dimainkan Anwar Ibrahim. Malaysia terjerat erat dalam jejaring ekonomi kedua adidaya. AS adalah investor asing terbesar Malaysia dan mitra dagang terbesar ketiga, dengan jejak besar di sektor teknologi, minyak, dan gas. Sementara itu, Tiongkok adalah mitra dagang utama Malaysia dan investor terbesar ketiga, sebagai pembeli utama elektronik dan minyak kelapa sawit.
Bagi Kuala Lumpur, skenario perang dingin ekonomi yang berlarut-larut antara AS dan Tiongkok adalah bencana terburuk. Upaya menyeimbangkan kedua pihak ini semakin sulit di tengah kebijakan saling balas berupa tarif dan kontrol ekspor, ditambah ketegangan regional di Taiwan dan Laut Cina Selatan.
Malaysia ingin secara optimal melibatkan Tiongkok dan AS dalam berbagai isu, sebab otonomi adalah garis utama dalam kebijakan luar negeri mereka: menghindari keterikatan, memaksimalkan pilihan, dan menarik manfaat dari kedua kutub tanpa menjadi proksi siapa pun.
Ujian Pragmatisme Domestik dan Global
Kunjungan ini tidak hanya menuntut Anwar untuk mahir di panggung global, tetapi juga untuk meredam riak politik di dalam negeri. Dukungan AS terhadap perang Israel di Gaza telah menjadi sumber kontroversi yang dalam di Malaysia, negara mayoritas Muslim di mana penderitaan Palestina memicu protes publik yang sering terjadi.
Menjelang KTT, kritik keras, termasuk dari mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad, menuntut Anwar membatalkan undangan Trump. Kritik ini menyoroti bagaimana menjaga hubungan pragmatis dengan kekuatan besar dapat bertentangan dengan sentimen ideologis dan moral domestik.
Menanggapi tekanan ini, Anwar membela keputusannya dengan menekankan bahwa diplomasi adalah “kerja praktis” untuk memajukan kepentingan negaranya “di dunia yang tidak sempurna.” Ini menuntut keseimbangan, disiplin, dan keberanian untuk tetap berada di jalur meskipun pijakan terus bergeser.
Pada akhirnya, keberhasilan kunjungan Trump ke Malaysia akan diukur bukan dari sekadar pencitraan atau jabat tangan, melainkan dari hasil nyata yang mendarat di atas kertas—mulai dari bahasa perdagangan yang konkret hingga kesepakatan damai (seperti yang diharapkan Trump antara Thailand dan Kamboja).
Dalam era “Trump 2.0” yang sangat tidak terduga ini, Malaysia dan ASEAN akan terus mempertahankan sikap non-blok aktif, membuktikan bahwa negara-negara kecil tetap mampu memaksimalkan kedaulatan mereka dengan menolak tunduk pada tekanan untuk memilih salah satu pihak.
