Jernih.co

Landhuis Semplak: Dari Istana Bon Vivant ke Sanatorium

Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl

JERNIH — Tahun 1910, koran-koran Hindia-Belanda sibuk memberitakan kemungkinan penjualan tanah-tanah partikelir ke investor asing. De Sumatra post edisi 28 Juni 1910, misalnya, memberitakan penjualan tanah partikelir Tjikopo di afdeeling Buitenzorg ke investor Inggris.

Penjualan Land Semplak, lanjut koran, itu sedang dirundingkan. Land Semplak membentang seluas 4.785 bouw atau 3.540 hektar, merupakan hak milik perseroan, dengan nilai jual 1.050.000 gulden.

Kurang satu bulan setelah berita itu, De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad edisi 6 Juli 1910 mengabarkan Land Semplak telah dijual ke sekelompok investor Jerman dengan harga 1.050.000 gulden, sesuai harga yang diminta penjual.

Saat dijual, Semplak ditanami teh dan kopi Liberia, tapi penghasilan utamanya beras. Terhitung 31 Desember 1909, Semplak berpenduduk 13.537 jiwa.

Berita-berita itu pendek saja dan sama sekali tak mengesanan kontroversi. Tidak ada respon dari pemerintah atau pengamat politik akan dampak buruk pengalihan tanah partikelir ke tangan asing. Di sisi lain, akibat banyaknya ketegangan antara penduduk tanah partikelir dan tuan tanah, pemerintah Hindia-Belanda mulai membeli kembali tanah-tanah partikelir.

Namun, kita mungkin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Keluarga Van Motman yang menguasai Semplak sehingga harus menjual propertinya ke orang asing?

Semplak dan Van Motman

Andries Teisseire tak menyebut Semplak dalam Verhandelingen, van Het Bataviasch Genootschap VI Deel 1792. Steven Adriaan Buddingh, dalam catatan perjalanan ke Hindia-Belanda yang diterbitkan tahun 1858, juga tak menyebut Semplak.

Semplak sebagai tanah partikelir tampaknya belum muncul saat Teisseire mengunjungi Buitenzorg. Ia juga tidak menyebut Gerrit Willem Casimir (GWC) van Motman sebagai landlord pertama yang emmbuka perkebunan teh dan kopi di Buitenzorg sejak 1789. Sedangkan Buddingh relatif hanya mengunjungi tanah-tanah partikelir yang pernah dimiliki WVH van Riemsdijk.

Situs ipb.c.id menyebutkan GWC van Motman melebarkan perkebunannya tahun 1813 dengan membeli Dramaga dan Jasinga. Saat itu Thomas Stanford Raffles, penguasa Pulau Jawa yang menghapuskan sistem sewa desa di awal pemerintahannya, harus menjual banyak tanah untuk mengatasi kesulitan keuangan.

GWC van Motman meninggal tahun 1821 dan dimakamkan di Jasinga. Ia mewariskan tanah partikelir Dramaga, Jasinga, Rumpin, Jambu, Semplak, Cikandi, Kedung badak, Pondok Geden, dan masih banyak lagi, kepada kedua anaknya.

Jacob Gerrit Theodoor (JGT) van Motman menjadi landheer Dramaga dan Jasinga. Ia memusatkan semua urusan administrasi perkebunan di Landhuis Dramaga. Frederik Hendrik Constant (FHC) van Motman, anak pertama GWC van Motman, mewariskan Semplak, Tjikandi Oedik dan Kedong Badak.

FHC van Motman memusatkan urusan administrasi perkebunannya dengan membangun landhuis di Semplak. Dibanding, JGT van Motman, kehidupan FHC van Motman paling berwarna. Ia dikenal sebagai bon vivant, kata dalam Bahasa Prancis untuk menyebut orang yang glamour, dan womenizer alias penggoda wanita.

Jika GWC van Motman membantu Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menghapus Kesultanan Banten, FHC van Motman memberangus pemberontakan Njai Gamparan di tanah Tjikandi. Ia menyewa tanah Tjiampea, Tjiboenboelan, dan Sadeng Oost dari ahli waris WVH vam Riemsdijk, dan sempat kesulitan membayar sewanya.

Situs familievanmotman.nl menyebutkan JGT van Motman dan FHC van Motman pemimpin Cabang C dan B dalam pohon keluarga Van Motman. Pemimpin Cabang A adalah Willem Reinier van Motman, anak luar nikah GWC van Motman dengan Reiniera Jacoba Bangeman. Jelasnya, Willem Ranier van Motman lahir tujuh tahun sebelum orang tua mereka; GWC van Motman dan Raniera Jacoba Bangeman, resmi menikah.

Itu terjadi karena saat bertemu GWC van Motman, Raniera adalah janda yang secara hukum telah berpisah denagn Albertus Hartman tahun 1795. Keduanya hidup bersama sampai Raniera dan Albertnus Hartman mendapat izin resmi untuk membubarkan pernikahan. GWC van Motman dan Raniera menikah tahun 1809.

Pemimpin Cabang D adalah Jan Casimir Theodorus (JCT) van Motman. Ia adalah adik Willem Ranier van Motman dan dikenal sebagai landheer Tjikandi Ilir. Sedangkan pemimpin Cabang E adalah Pieter Cornelis (PC) van Motman, putra bungsu GWC van Motman yang dikenal dengan sebutan Paman Piet dari Djamboe.

PC van Motman membangun kehidupannya di Djamboe sampai akhir hayatnya. Ia membangun landhuis Djamboe. Sempat bahagia ketika Hendrik Pieter, anaknya, sukses mengelola tanah parikelir Nanggoeng. Belakangan diketahui Hendrik Pieter tidak piawai mengelola perkebunan, yang membuat PC van Motman membebani tanah dengan hipotek sebesar 600 ribu gulden dengan bungan enam pesen untuk Rumah Yatim Piatu.

Akhir Tanah Partikelir Semplak

FHC van Motman meninggal di Tadjoer 19 September 1889. Ia dimakamkan di Pemakaman Keluarga di Djamboe. Tidak diketahui siapa yang mengurus Land dan Landhuis Semplak setelah ia meninggal.

Regeering Almanak voor Nederlandsch Indie 1903 mencatat Semplak saat itu dimiliki Maatschappij tot Exploitatie van het land Semplak, dengan JPAA van Houtum sebagai huurder atau pengelola. Keluarga Cabang B Van Motman tampaknya mempercayai Van Houtum sebagai pengelola.

Ini terlihat setelah Van Houtum meninggal di tahun 1909. Keluarga Van Motman pewaris Semplak kesulitan mencari penggantinya. Mungkin, ini pula yang membuat Keluarga Van Motman memutuskan menjual Land Semplak.

Tujun tahun setelah Land Semplak berpindah tangan ke sekelompok investor asal Jerman, Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1917 mencatat pemilik Semplak tak berubah, yaitu Maatschappij tot Exploitatie van het land Semplak, dengan H des Amorie van den Hoeven sebagai pengeelola.

Landhuis Semplak tidak lagi dihuni Keluarga van Motman dari Cabang B sejak penjualan itu. Sebagai gantinya, orang-orang Jerman lalu-lalang di landhuis yang juga berfungsi sebagai pusat administrasi perkebunan. Keluaga Van Motman dari Cabang B kemungkinan berkumpul di Dramaga, tapi tak diketahui sampai kapan.

Setelah 1914, pemerintah Hindia-Belanda gencar melakukan pembelian tanah-tanah parikelir di kawasan Batavia dan Ommelanden. Satu per satu tanah-tanah milik Keluarga Van Motman, anak cucu Van Riesmdijk, Keluarga Van Benjamin, lepas dan menjadi Landsdomein atau tanah negara.

Tahun 1918, kantor berita Aneta melaporkan pemerintah Hindia Belanda membeli tanah partikelir Semplak, tapi tidak termasuk landhuis, dengan harga 1.156.000 gulden. Landhuis Semplak, seperti diberitakan De nieuwe vorstenlanden edisi 14 Januari 1920, dibeli pemerintah Hindia Belanda dengan harga 34.594 gulden. Landhuis Semplak berubah fungsi menjadi Sanatorium dan dikelola Pusat Pengendalian Penyakit TBC di Hindia-Belanda.

Exit mobile version