Di tengah lukisan Masjid Nurul Ikhlas, tergambar kumpulan orang dengan berbagai tulisan “kembalikan masjid ummat”, “kapitalis Bandung”, “tangkap.. adili yang jual cagar budaya heritage Sunda”, “ummat Islam marah”, “merdekakan tanah pribumi” dan lainnya.
Oleh: M Rizal Fadillah*
JERNIH – Mengekspresikan kekesalan alias mengkritik terhadap sesuatu yang tidak sejalan banyak caranya. Salah satunya adalah melalui lukisan, seperti yang dilakukan oleh sejumlah seniman Bandung.
“Saya tak peduli tanah milik siapa, tetapi saya tergerak hati bahwa yang dihancurkan adalah masjid,” ujar Herru Prayogo, seorang seniman lukis dalam aksi performance art di Jalan Cihampelas depan Indomaret tersebut, Bandung, Kamis (24/3).
Sebagai budayawan, ia tidak bisa menerima hilangnya masjid yang kini berubah menjadi mini mart Indomaret.
“Saya ekspresikan sikap ini dengan lukisan,” katanya.
Baca Juga: Xi, Putin dan Trump: The Strongmen Follies
Nuansa kelam kesedihan terasa dari berbagai coretan dalam kanvas. Herru Prayogo, meski baru mengalami musibah kecelakaan, namun memaksakan datang untuk melukis Masjid Nurul Ikhlas dalam mendung atau kegelapan, yang diberi judul “Cagar Budaya yang hilang”.
Tak hanya Herru Prayogo, alumnus Seni Rupa dan Design ITB dan pernah mengikuti program Magister di Melbourne bernama Asep Berlian juga turut ikut serta.
Dengan kostum hitam bertopeng dan berantai besi, ia melukis “perlawanan” atas penghancuran masjid Nurul Ikhlas Cihampelas.
Di tengah lukisan Masjid Nurul Ikhlas, tergambar kumpulan orang dengan berbagai tulisan “kembalikan masjid ummat”, “kapitalis Bandung”, “tangkap.. adili yang jual cagar budaya heritage Sunda”, “ummat Islam marah”, “merdekakan tanah pribumi” dan lainnya.
Asep Berlian yang pernah menjadi pelukis utama saat peringatan Asia Afrika dan memiliki pengalaman pameran di berbagai belahan dunia, merasa perlu meneriakkan suara keadilan melalui kanvas yang selalu menjadi sahabatnya.
Mungkin baginya, pemilik Indomaret adalah bagian dari “kapitalis Bandung” yang ia tulis. Entahlah. Yang pasti ia siap membela masjid cagar budaya yang secara brutal telah dihancurkan itu.
Ada juga Asep Kandang Wesi, yang lebih dikenal dengan Asep KW. Lukisannya sangat bermutu, tidak “kw”. Goresan pertamanya di kanvas performance art adalah tangan besar berkuku tajam, ada tetesan darah, mengacak-acak masjid. Lalu ada jalan yang menggambarkan 7 Indomaret di Jalan Cihampelas berjarak pendek.
Mungkin tangan besar berkuku dan berdarah adalah simbol dari keserakahan perusahaan ritel Indomaret. Seorang pemulung juga ikut dilukiskan.
Menurut Asep, pemulung itu adalah sahabatnya yang senantiasa berbincang soal masjid Nurul Ikhlas dan Indomaret.
Ada pelukis lain, Bambang Harsito, yang menuangkan dengan nuansa relijius. Kaligrafi yang menempatkan Allah di atas. Bahwa semua rencana manusia yang materialistis akan berhadapan dengan kehendak Ilahi Yang Maha Kuasa.
Masjid yang dikaburkan ataupun dikuburkan dalam gambar, bukanlah akhir. Ada masa bahwa kebenaran akan terkuak dan tegak.
Seniman “dadakan” pun diberi ruang untuk berekspresi. Kolaborasi yang menghasilkan konklusi bahwa masjid dalam keadaan terkepung oleh tuduhan dan fitnah dari si penghancur.
Termasuk pura-pura bodoh soal cagar budaya. Bahkan Peraturan Daerah (Perda) dan Undang-Undang tak luput dalam kritikan tersebut.
Karena itu, masyarakat Bandung dipastikan tidak akan tinggal diam.
Painting is sharper than words–Lukisan lebih tajam daripada perkataan.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan