Ini bukan pertama kalinya Lituania menganggap angin lalu peringatan Cina. September lalu, Kementerian Pertahanan Lituania secara resmi menyarankan warganya agar tidak membeli smartphone buatan Cina. Badan keamanan siber nasional telah menemukan bahwa ponsel tersebut memiliki fitur sensor yang dapat diaktifkan kapan saja.
JERNIH– Hanya sedikit negara yang berani menentang politik Cina. Negara-negara besar pun lebih senang menghindari kemarahan Negara Tirai Bambu yang kian ekspansif itu. Namun negara kecil seperti Lituania, justru tegak dan lantang mengecam politik Cina terhadap Taiwan, mempersetankan ancaman Bejing yang telah datang berkali-kali.
Jalan J. Jasinko di pusat kota Vilnius, adalah jalan protokol utama di ibu kota Lituania. Barisan gedung perkantoran berjajar di jalan bergengsi ini, penyewanya juga sering silih berganti. Namun, pada November lalu, ada penyewa baru yang masuk ke bangunan nomor 16b dan langsung menjadi sorotan luas: Itulah kantor Kedutaan Taiwan yang pertama dibuka di Eropa.
Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan besar di sebuah kota lain yang berjarak 6.500 km dari Vilnius, yaitu Beijing. Cina sebelumnya sudah mengancam Lituania dengan berbagai konsekuensi ekonomi dan diplomatik, jika perwakilan Taiwan benar-benar diizinkan beroperasi.
Cina memang menganggap Taiwan sebagai provinsi yang mencoba memisahkan diri. Karena itu, setiap negara yang membuka hubungan diplomatik dengan Taiwan akan menerima konsekuensi berat. Hampir semua negara besar tunduk pada ancaman Cina karena khawatir akan dampaknya, apalagi Indonesia.
Lalu mengapa Lituania, sebuah negara kecil di Uni Eropa, tetap berani berselisih dengan raksasa Cina, bahkan mengizinkan Tauwan membuka perwakilan diplomatik?
Hubungan ekonomi berkelanjutan
Ini bukan pertama kalinya Lituania menganggap angin lalu peringatan Cina. September lalu, Kementerian Pertahanan Lituania secara resmi menyarankan warganya agar tidak membeli smartphone buatan Cina. Badan keamanan siber nasional telah menemukan bahwa ponsel tersebut memiliki fitur sensor yang dapat diaktifkan kapan saja. Lituania juga berencana memperluas jaringan telekomunikasi 5G-nya tanpa partisipasi dari perusahaan Cina mana pun — atas “alasan keamanan.”
Awal tahun 2020, Lituania adalah satu-satunya negara yang meninggalkan apa yang disebut Forum Kerja Sama Ekonomi 17+1, yang dimotori Cina dan beranggotakan banyak negara Eropa tengah dan timur.
“Kami percaya bahwa hubungan ekonomi yang dibangun dengan negara-negara demokrasi lebih berkelanjutan dan tahan lama, karena lebih didasarkan pada prinsip supremasi hukum. Karena itu hubungan seperti itu lebih sesuai dengan kepentingan Lituania,” kata Menteri Luar Negeri Lituania, Gabrielius Landsbergis,kepada wartawan pertengahan November lalu.
Tanggapan itu membuat banyak orang di Beijing makin marah. Akhir November, harian berbahasa Inggris yang menjadi corong Partau Komunis Cina, Global Times menyebut Lituania negara kerdil, dengan “populasi bahkan tidak sebesar distrik Chaoyang di Beijing”. Selanjutnya harian itu menulis bahwa Lituania “hanya seekor tikus, atau bahkan kutu, di bawah kaki gajah-gajah yang berkelahi.”
Lituania memang tidak perlu terlalu khawatir dengan dampak ekonomi, karena pengaruh Cina dalam perekonomiannya hampir tidak ada. Selain itu, sebagai negara yang memerdekakan diri dari rezim komunis Uni Soviet, orang Lituania sangat skeptis terhadap rezim komunisme berdasarkan sejarah dan apa yang mereka alami dulu.
“Pada tahun 1990, Lituania adalah negara pertama yang secara aktif mendeklarasikan kemerdekaannya dari Uni Soviet,”kata pengamat politik Kai-Olaf Lang dari Berlin. Sejak itu, para politisi Lituania selalu menekankan pentingnya memperjuangkan kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Itulah sebabnya negara kecil itu juga menampung para pelarian politik dari Belarus.
“Banyak orang Lituania diingatkan akan perjuangan mereka sendiri untuk kebebasan,” kata Lang. Pemerintah Lituania juga menekankan bahwa mereka akan “secara aktif menentang setiap pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan demokratis, dan akan membela semua orang yang berjuang untuk kebebasan di dunia”, dari Belarus hingga Taiwan. [Deutsche Welle]