- Chun Doo-hwan, sang kakek yang mantan presiden Korsel, divonis bersalah membantai Aktivis Gwangju dan terima suap.
- Ia dijatuhi hukuman mati dan denda Rp 2,5 triliun, tapi hukuman diringankan menjadi seumur hidup dan denda tak dilunasi.
- Tahun 1988 ia dibebaskan, tapi menolak minta maaf dan mengaku nggak punya uang meski hidup dalam kemewahan mutlak.
JERNIH — Chun Woo-won, cucu mantan presiden Korea Selatan (Korsel) Chun Doo-hwan, ditangkap petugas Badan Kepolisian Metropolitan Seoul setibanya di Bandara Incheon, Selasa 28 Maret, atas dugaan penggunaan narkobal.
Pria berusia 27 tahun itu terbang dari New York setelah membuat gaduh sekujur Korsel dengan pengakuan blak-blakan soal kakek dan keluarganya. “Chun Doo-hwan, kakek saya itu, pembantai,” kata Chun Woo-won dalam video yang diunggah di YouTube dan dikutip Korea Times. “Keluarga saya juga menggunakan uang dari asset tersembunyi.”
Chun Woo-won adalah anak Chun Jae-yong, putra Chun Doo-hwan. Saat Chun Doo-hwan berkuasa 1980-1988, Chun Woo-won belum lahir, tapi Chun Jae-yong menyaksikan semua yang dilakukan sang ayah.
Sebelum menjadi presiden, Chun Doo-hwan melakukan kudeta militer yang menyebabkan terbunuhnya Park Chung-hee. Ia tidak langsung mengambil alih kursi presiden, tapi menempatkan Choi Kyu-hah sebagai boneka selama beberapa bulan.
Tahun pertama Chun Doo-hwan berkuasa ditandai pembantaian ratusan orang aktivis pro-demokrasi di Gwangju. Peristiwa itu menimbulkan luka tak terperi bagi aktivis dan rakyat Korsel.
Meski tidak melihat langsung, Chun Woo-won tampaknya terganggu oleh semua yang didengar tentang sang kakek. Informasi tentang Chun Doo-hwan dan semua yang dilakukan saat berkuasa sangat mudah diakses generasi Korsel saat ini.
Dalam video YouTube lainnya, Chun Woo-won mengatakan dia dan kenalannnya mengkomsumsi obat-obatan, dan menelan apa saja yang bisa membuatnya teler, sebelum melakukan streaming langsung.
Minggu lalu Chun Woo-won mengatakan akan kembali ke Korsel untuk mengunjungi Gawangju dan menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban penumpasan militer 1980.
“Saya diberkati memiliki kesempatan meminta maaf kepada kelurga korban dan yang terluka secara emosional,” kata Chun Woo-won di Bandara Incheon, saat dijemput polisi. “Saya menyesal telah dilahirkan.”
Entah apa yang mendorong Chun Woo-won melakukan semua itu. Yang pasti, Penjagal Gwangju — demikian julukan Chun Doo-hwan sampai akhir hayatnya — tidak pernah meminta maaf.
Tahun 1996 Chun Doo-hwan dijatuhi hukuman mati atas pengkhianatan, korupsi, dan Pembantaian Gwangju. Ia mengajukan banding dan mendapat keringanan hukuman, tapi tak pernah meminta maaf.
Chun Doo-hwan menyangkal semua yang dituduhkan kepadanya, dan itu dilakukannya sampai akhir hayatnya. Ia juga dijatuhi hukuman denda 220,5 miliar won, atau Rp 2,5 triliun, karena terbukti menerima suap selama berkuasa. Namun, Chun Doo-hwan tidak membayar semuanya.
Korea Herald memberitakan sebanyak 95,6 miliar won tidak dibayarkan Chun Doo-hwan dan keluarga. Setiap kali ditagih soal pembayaran hukuman itu, Chun Doo-hwan selalu mengatakan tidak punya uang. Padahal, semua tahu dia hidup dalam kemewahan mutlak bersama semua anak-anak dan kroni-nya.
Menariknya, pengajuan banding Chun Doo-hwan diterima dan hukumannya dibuah dari mati menjadi penjara seumur hidup. Tahun 1998, Presiden Kim Dae-jong menandatangani surat pengampunan terhadap Chun Doo-hwan, dan sang mantan diktator militer itu menghirup udara segar.
Kim Dae-jong adalah aktivis yang selamat dari Pembantaian Gwangju 1980 dan beberapa kali luput dari pembunuhan yang diperintahkan Chun Doo-hwan.