Jernih.co

Manakala Soeripto Menyusup Blokade dan Menyuplai Bantuan Senjata Indonesia untuk Bosnia [1]

Soeripto berfoto bersama para pejuang Muslim Bosnia, di pagi setelah bantuan senjata diberikan. Cuaca dingin karena turunnya salju menjelang Natal. Foto: Rizal Dharma Putra

“Mereka mengajak saya turun gunung karena malam itu akan menyerang pos milisi Serbia terdekat. Saya sudah bilang capek selama perjalanan, eh, terus dipaksa,” kata Soeripto

JERNIH—Ada suatu masa ketika Indonesia berada di jajaran negara-negara Islam yang disegani di dunia, dan dihormati sesama negara Muslim sebagai salah satu kekuatan penolong yang berdaya. Juga pada saat negara berpenduduk Muslim, Bosnia-Herzegovina mengalami masa-masa sulit dalam penindasan aggressor Serbia, 1991-1996.

Pada saat itu–meski tentu saja secara rahasia, tak hanya bahan makanan, pakaian dan obat yang disumbangkan Indonesia untuk negara kecil yang tengah dirobek-robek kekuatan angkara itu. Melainkan juga senjata.  

“Saat ada delegasi yang bertemu Komite Solidaritas Muslim Indonesia untuk Muslim Bosnia, mereka secara lisan meminta bantuan senjata tersebut,” kata Soeripto, mantan sekretraris jenderal Kementerian Kehutanan pada masanya. Kata Soeripto, yang ditemui Jernih.co di kediamannya di Jakarta, bahasa yang mereka gunakan,”Jangan kami seolah diberi bantuan makanan, dana, tetapi setelah gemuk dibantai orang-orang Serbia.”

Permintaan tersebut mereka lontarkan setelah beberapa kali Muslim Indonesia memberikan bantuan obat, makanan dan pakaian, di saat Muslim Bosnia tengah dalam pengepungan dan pembantaian kelompok-kelompok penyerang dari Serbia.

Alhasil, bantuan itu pun dikirim melalui perjuangan berat menembus blokade Serbia yang penuh bahaya. Tentang bengisnya kekuatan Serbia, sejarah mencatat fakta betapa Pasukan Perdamaian PBB asal Belanda, sampai ketakutan dan menyerahkan komunitas Muslim Bosnia yang berada dalam penjagaan mereka untuk dibantai. Dunia hingga saat ini mengenang kejadian tragis yang memalukan militer Belanda seumur dunia itu sebagai “Pembantaian Srebrenica”, Juli 1995.

Ide memberi pasokan senjata pun bukan tanpa alasan kuat, apalagi untuk sekadar ikut cawe-cawe di negeri orang sebagaimana dilakukan banyak negara besar. “Saat itu, hanya dalam beberapa bulan, Komite yang diketuai Pak Probosutejo mencatat setidaknya 1,5 juta Muslim Bosnia kehilangan tempat tinggal, 200 ribu orang dibantai dengan keji, dan 800 ribu lainnya hilang tak jelas,”kata Soeripto. Kekejian itulah yang kemudian menegaskan bahwa yang paling diperlukan warga Bosnia adalah bertahan atas serangan, hak paling asasi dari hak-hak asasi apa pun yang mereka miliki.  

Awalnya, kata Soeripto, dirinya dikenalkan kepada Probosutejo oleh rekan lamanya, Sri Edi Swasono. Dalam pertemuan tersebut ternyata diundang pula Ustadz Hilmi Aminuddin, sahabat dan mentor keagamaan Soeripto sejak sekitar 1983. Tiba-tiba, dalam pembicaraan tentang rencana Komite untuk menyuplai senjata kepada Muslim Bosnia itu, Probosutejo langsung menatap mata Soeripto dan bertanya,”Anda sanggup?”

Pak Soeripto saat diwawancarai

“Meski awalnya agak heran karena diminta mendadak, saya jawab sanggup,” kata Soeripto. Dia sendiri merasa bahwa urusan itu jelas memerlukan nyali besar. “Buat  saya, itu benar-benar menantang. Ya, tanpa ragu saya sanggupi.”

Berangkatlah Soeripto bersama Ustadz Hilmi ke Zagreb, ibukota Kroasia, kota yang juga menjadi penampungan banyak sekali pengungsi Bosnia. Di Hotel Intercontinental, mereka bertemu Adi Sasono, yang juga datang ke sana untuk menjalankan misi diplomasi kedua negara.

“Pada 14 Desember 1992, tim Pak Adi bertemu utusan pemerintah Bosnia yang diwakili Dr Ismet Grbo dan Senahid Bristic,” kata Soeripto. Pada pertemuan itu bantuan makanan, obat-obatan, pakaian, cek senilai 200 ribu dolar AS serta uang tunai 100 ribu dolar AS diserahkan Adi Sasono kepada utusan pemerintah Bosnia.  

Malamnya, Soeripto, Hilmi dan Adi Sasono bertemu untuk membicarakan bantuan senjata yang diminta. Ternyata, baik Hilmi atau pun Adi Sasono tidak bisa terlibat langsung menyerahkan senjata kepada pihak Bosnia. Adi Sasono mengaku harus berangkat ke Jerman, untuk ‘sebuah urusan’, sementara Ustad Hilmi punya urusan mendesak di Tanah Air. Senjata yang akan dikirimkan sendiri masih belum jelas akan didapat dari mana.

Untunglah, Hilmi sempat menghubungkan Soeripto dengan jaringan mujahidin, sisa-sisa perang Afghanistan yang dikenalnya. Dari jaringan tersebut Soeripto terhubung dengan seorang broker senjata di Zagreb dan mendapatkan tiga peluang untuk memperoleh senjata. Pertama, dari jaringan mafia senjata. Sayang, Soeripto harus menjumpai mereka di Wina, Austria, untuk memungkinkan terjadinya kesepakatan. Soeripto menolak opsi tersebut.

Kedua, dari orang-orang Kroasia, para desertir yang sebelumnya tergabung sebagai personel militer Yugoslavia yang telah terpecah. “Orang-orang Kroasia itu mengumpulkan senjata dan amunisi yang mereka punya untuk dijual,” kata Soeripto. Yang ketiga senjata-senjata hasil pengumpulan dari orang-orang Bosnia di Kroasia. “Saya ambil opsi kedua, karena yang dikumpulkan orang-orang Bosnia itu terlalu sedikit,” kata Soeripto, yang ternyata merupakan tokoh utama di balik misi penjajakan hubungan kembali Indonesia-Cina di tahun 1980-an.

Karena saat itu Ustad Hilmi belum pulang ke Tanah Air, malam-malam mereka berdua dibawa penghubung melihat senjata tersebut. Ternyata, kumpulan senjata dan amunisi itu berada di wilayah Bandara Zagreb, ditimbun di sebuah ruang bawah tanah yang tersembunyi.

“Waktu Ustad Hilmi mencoba melihat dengan penerangan senter, mereka melarangnya keras. “Awas cahaya! Bisa kelihatan dari luar!” kata Soeripto menirukan orang-orang Kroasia penjual senjata tersebut.  Mereka marah, karena takut cahaya di gudang yang sudah lama dibiarkan tanpa penerangan itu akan menarik perhatian orang.

Menurut Soeripto, harga senjata segudang tersebut senilai 2,5 juta DM. “Dulu ada catatan detilnya, sekarang entah di mana,” kata pria yang saat jadi aktivis mahasiswa pernah mengalami hukuman penjara karena kerusuhan anti-Cina di Bandung, sekitar 1963.  

Entah dapat nyali dari mana yang membuat Soeripto saat berunding dengan kelompok Kroasia itu bisa menekankan kesepakatan yang menguntungkannya. Pertama, dia akan ikut dalam pengiriman barang. Kedua, pembayaran hanya akan dilakukan manakala senjata sudah sampai di tangan para pejuang Bosnia yang bertahan di kawasan Igman yang berbukit-bukit, dan Soeripto sudah kembali dengan selamat di Zagreb.

Tujuan Soeripto adalah sebuah tempat pertahanan Muslim Bosnia di dataran tinggi Igman, wilayah perbukitan berjarak kurang lebih 42 km dari Sarajevo atau sekitar 425 km dari Zagreb. (Soeripto, mungkin karena hanya mengandalkan perasaan dan  perjalanan malam hari, dalam wawancara menyebutkan jarak perbukitan Igman ke Zagreb sekitar 90 km, dan ke Sarajevo 12 km).   

Tentu saja tak mungkin berangkat ke tujuan begitu saja. Perlu sebuah misi terbuka. Ustad Hilmi-lah yan berjasa memungkinkan senjata-senjata tersebut bisa diangkut dengan menggunakan cover mission, yakni operasi penyaluran bantuan dari lembaga kemanusiaan, Bulan Sabit Merah Mesir. Di atasnya segala macam bantuan kemanusiaan, sementara di lapisan tersembunyi yang dimuat adalah sekian banyak peluru, amunisi dan alat-alat persenjataan.

Soeripto bercerita, perjalanan tersebut sangat menegangkan. Tidak hanya karena menjalankan hal illegal, yakni mensuplai senjata manakala saat itu PBB secara resmi melakukan embargo persenjataan untuk kedua pihak yang tengah bertikai: Serbia dan Bosnia Herzegovina. Tetapi juga karena jalanan yang dipilih sopir Bulan Sabit Merah Mesir itu jalanan tikus yang kecil, penuh belokan tajam, sementara salju menjelang Natal sudah mulai turun. “Jalan menanjak itu licin oleh salju, tak jarang truk besar yang kita gunakan menggeram terus tanpa maju—maju,” kata dia.

Alhasil, perjalanan itu harus ditempuh dalam waktu hampir sembilan jam! Tentu saja sembilan jam yang paling mendebarkan sepanjang hidup Soeripto.  

Yang paling mendebarkan adalah manakala truk diberhentikan sepasukan penjaga di tempat pemeriksaan (check-point). Dari tiga kemungkinan—pos itu bisa milik pejuang Bosnia, milisi bersenjata Serbia atau pos Pasukan PBB, hanya kalau pos itu pos Bosnia Soeripto aman kalau pun terbongkar. Bila pos itu pos pemeriksaan Serbia, nasibnya jelas ibarat ikan menantang panggangan. Kalau pos itu pos Pasukan PBB, ia bisa bisa ditangkap sebagai penjahat perang yang memasok senjata di saat ada embargo senjata.  

Selama pemeriksaan yang kadang bertele-tele itu, Soeripto mengaku hanya bisa berdoa. “Saya baru plong kalau penjaga bersenjata yang memeriksa itu memulai dengan sapaan,”Assalamu alaikum!” kata Soeripto. Asal tahu saja, menurut Soeripto setidaknya ia dan truk senjata itu melewati tak kurang dari sembilan tempat pemeriksaan.  

Truk itu baru tiba di lokasi tepat sebelum tengah malam. Selama muatan dibongkar, Soeripto dikelilingi para pejuang Muslim aneka bangsa yang datang ke Bosnia untuk ikut berjuang bersama para pejuang Bosnia.  Mereka datang dari Pakistan, Arab Saudi dan berbagai neara Timur Tengah. Beberapa dari kalangan Muslim Eropa, barat maupun timur.   

“Mereka mengajak saya turun menyergap milis Serbia, karena malam itu akan menyerang pos milisi Serbia terdekat. Saya sudah bilang capek selama perjalanan, eh, terus dipaksa,” kata Soeripto. Dia sendiri mengaku tak punya pengalaman kontak senjata alias bertempur.

“Tenang saja, bahkan dari jarak 10 meter pun mereka tak akan melihatmu karena kabut,” kata Soeripto menirukan ajakan para pejuang antar-bangsa yang menurutnya masih muda-muda, antara 18-25 tahunan. Dia sendiri saat itu sudah berusia 53 tahun.

Saat Soeripto meninggalkan mereka sebentar ke kamar kecil, dia menjumpai anak-anak muda itu sudah berangkat menuju pos Serbia yang akan mereka sergap. [bersambung]

[bersambung]

Exit mobile version