Jika Navayo bersikukuh pada tagihan senilai 16 juta dolar AS berdasar putusan Pengadilan Arbitrase Internasional Singapura, ini artinya ada kesenjangan angka tagihan sebanyak 15 juta 868 ribu dolar AS. Sementara Republik Indonesia menilai, ketiadaan dokumen pemberitahuan impor terhadap sebagian besar barang dari Navayo merupakan aksi penyelundupan. Lalu, siapa sebenarnya yang main curang?
JERNIH-Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya Ryamizard buka suara terkait perkara satelit di Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Dia tak membantah sedikit pun pernyataan-pernyataan yang dialamtakan kepadanya. Hanya saja, dia menekankan kalau yang dilakukan, berdasar perintah langsung dari Presiden Jokowi.
Soalnya, menurut dia, waktu itu situasi dalam keadaan darurat. Sebab jika mengacu pada aturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang sudah memegang hak pengelolaan satelit, diwajibkan segera mengisi slot tersebut dengan satelit lain dalam waktu tiga tahun. Kalau tidak, hak kelola akan gugur dan diberikan kepada negara lain.
“Saya ini prajurit, mendapat perintah selamatkan (slot) orbit 123 BT, saya lakukan dan berhasil. Kalau itu tidak saya lakukan, orbit itu bisa diambil pihak lain dan membahayakan kedaulatan negara,” kata mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu.
Tentu saja, dikeluarkannya perintah dari Presiden terkait sewa satelit yang akhirnya menjadi sebuah perkara, lantaran satelit Garuda-1 milik republik ini, keluar dari orbitnya pada 19 Januari 2015 hingga orbit 123 derajat bujur timur kosong.
Agar tetap dapat memanfaatkan slot orbit itu, Ryamizard pun melakukan pertemuan antar instansi pemerintah, salah satunya dengan Rudiantara, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika waktu itu yang meminta Kemenhan mengambil alih pengelolaannya agar dapat digunakan sebagai satelit komunikasi pertahanan. Sedangkan pada awal Desember 2015, Presiden Jokowi meminta agar orbit 123 dikelola pemerintah Indonesia saja.
Dalam keadaan yang dinilai mendesak itu, tentu saja belum ada anggaran. Akhirnya, Kemenhan memutuskan menyewa satelit Artemis milik Avanti Communication Limited dengan nilai 30 juta dolar AS sebab memang ada perintah langsung dari Presiden.
”Memang belum ada anggaran. Namun, kami harus segera mengisi slot itu untuk menunjukkan komitmen (mengisi slot orbit),” katanya.
Improvisasi yang dilakukan Kemenhan di bawah komando Ryamizard itu, lantaran tak ada banyak waktu dan draft kontrak harus segera ditanda tangani lalu diajukan ke ITU.
Kemenkominfo, menyatakan persetujuan penggunaan slot orbit 123 pada 29 Januari 2016. Namun Kemenhan, meneken kontrak penyewaan satelit pada 6 Desember 2015. Sementara anggaran bagi lembaga pimpinan Ryamizard, dalam APBN-P tahun 2016, bertambah Rp 1,327 triliun yang tentu saja guna memenuhi kebutuhan pengadaan satelit demi kepentingan nasional.
Ryamizard mengakui, secara normatif memang ada beberapa hal yang tak sesuai. Namun langkah itu kudu dilakukan sebab ada diskresi serta ancaman kedaulatan.
”Nah, itu tupoksi Kemenhan,” katanya
Lalu, jika Kemenkominfo lebih lambat menyodorkan persetujuan dan anggaran baru dicairkan melalui APBN-P 2016, dari mana uang untuk membayar sewa satelit itu?
Ryamizard mengakui, memerintahkan anak buahnya agar segera memproses sewa kontrak tersebut. Namun, harus tetap sesuai aturan yang berlaku dan pembayaran dilakukan Kementerian Keuangan dengan menggunakan kas negara.
”Jangankan pegang uangnya. Lihat saja enggak pernah karena uangnya langsung dari Kementerian Keuangan ke Avanti,” kata Ryamizard penuh penekanan.
Seperti yang diarsipkan Kompas, pada akhir Agustus 2016, pemerintah membayar sewa satelit itu senilai 3,75 juta dolar AS. Namun selanjutnya, tak ada lagi pembayaran dari kas negara. Sampai akhirnya, pada 30 Juni 2017, total tagihan yang belum dibayar mencapai 16,8 juta dolar AS. Akibatnya, Avanti sebagai pemilik satelit pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Inggris, hingga diputuskan bahwa republik ini kudu membayar Rp 515 miliar kepada perusahaan tersebut.
Selanjutnya, terkait pengadaan satelit guna mengisi slot orbit yang sama, Navayo International AG selaku pihak yang terlibat dalam kontrak pengadaan barang itu, melakukan tuntutan di Pengadilan Aribtrase Internasional Singapura terhadap pemerintah RI. Lantas, pada 22 April 2021, diputuskan bahwa pemerintah harus membayar tagihan sebesar 16 juta dolar AS.
Pernyataan yang disampaikan mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, sudah sangat sesuai dengan apa yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD. Hanya saja, ketika dilakukan audit tujuan tertentu dan audit reguler oleh BPKP, memang ditemukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang dianggap merugikan dan berpotensi akan terus membuat rugi keuangan negara.
Soalnya, negara sudah membayar gugatan Avanti sebesar Rp 515 miliar tadi. Dan tagihan sebesar 16 juta dolar AS dari Navayo selaku pihak yang melakukan pengadaan satelit juga disodorkan. Padahal, dari hasil audit BPKP, barang dari Navayo yang dilengkapi dokumen hanya bernilai sekitar Rp 1,9 miliar atau sekitar 132 ribu dolar AS saja. Sisanya, sebagian besar diduga merupakan barang selundupan sebab tak ditemukan surat-surat pemberitahuan impor barang di Bea Cukai.
Jika Navayo bersikukuh pada tagihan senilai 16 juta dolar AS berdasar putusan Pengadilan Arbitrase Internasional Singapura, ini artinya ada kesenjangan angka tagihan sebanyak 15 juta 868 ribu dolar AS. Sementara Republik Indonesia menilai, ketiadaan dokumen pemberitahuan impor terhadap sebagian besar barang dari Navayo merupakan aksi penyelundupan. Lalu, siapa sebenarnya yang main curang?
Makanya, sekali lagi, Menko Polhukam Mahfud MD meminta seluruh pihak bersabar dan mengikuti seluruh proses hukum yang tengah berlangsung.[]