Site icon Jernih.co

Marinir Korsel Bantai Ribuan Warga Sipil Pada Perang Vietnam, Menolak Minta Maaf

JERNIH — Tragedi Perang Vietnam bergema keras meningkahi penarikan pasukan AS dari Afghanistan. Gambar-gambar situasi Saigon saat eksodus massal terjadi, setelah AS menarik pasukan dari Vietnam Selatan, menghiasi banyak surat kabar, berdampingan dengan foto suasana Kabul sepanjang pekan ini.

Di dua desa di Vietnam; Phong Nhi dan Phong Nhut, gema Perang Vietnam — orang Vietnam menyebutnya Perang Amerika — membuka luka lama tak pernah sembuh, yaitu tragedi pembantaian massal. Menariknya, pelaku tragedi itu bukan pasukan AS, tapi marinir Korea Selatan (Korsel).

Beberapa penyintas tragedi itu masih hidup dan memberi kesaksian. Anak-anak, atau keluarga korban, mewariskan kisah tak terlupa tentang sepak terjang tentara Korsel.

“Saya tidak pernah bebas dari mimpi buruk ketika pasukan Korsel datang ke desa kami,” kata Nguyen Thi Thanh, kini berusia 61 tahun. “Saya kehilangan lima kerabat, tiga di antaranya ibu, saudara perempuan dan saudara laki-laki.”

Thi Thanh adalah penduduk Desa Phong Nhi. Ia selamat dengan bekas luka tembak di tubuhnya. Pembantaian itu terjadi tahun 1968, atau di puncak Perang Vietnam.

“Pemerintah Korsel tidak pernah datang ke desa kami, dan tidak sekali pun bertanya kepada kami apa yang terjadi,” ujar Thi Thanh.

Payudara Dipotong

Korsel mengirim 320 tentara ke Vietnam, dan menyebut mereka pejuang salib anti-komunis. Kebanyakan dari mereka berpengalaman di Perang Korea.

Ada dua tujuan di belakang pengiriman itu. Pertama, sebagai balas budi atas peran AS dalam Perang Korea. Kedua, Seoul mengharapkan bantuan ekonomi dari Washington untuk menggerakan perekonomian.

Datang dengan semangat mengalahkan komunis, seperti yang mereka lakukan di negeri sendiri, pasukan Korsel diduga melakukan pembunuhan massal terhadap warga sipil.

Di masa lalu, ketika Korsel masih diperintah pemimpin diktator, topik ini tabu dibicarakan. Tahun 1990-an, ketika Korsel menikmati kebebasan pers, banyak media mulai menerbitkan cerita pembantaian di Desa Phong Nhi dan Phong Nhut.

Dokumen AS yang tidak diklasifikasikan menyebut militer Paman Sam menyelidiki apa yang terjadi di kedua desa itu, beberapa hari setelah pembantaian.

Menurut dokumen itu, marinir dan milisi Vietnam Selatan yang beroperasi di Dien Ban, propinsi Quang Nam, mendengar tembakan dan melihat gubuk terbakar setelah unit marinir Korsel pindah ke Phong Nhi dan Phong Nhut.

Militer AS dan milisi Vietnam Selatan membantu penduduk desa yang melarikan diri dengan luka-luka. Setelah itu mereka mengunjungi Phong Nhi dan menemukan tumpukan mayat, termasuk jenazah anak-anak dan wanita hamil yang ditembak di kepala dari jarak dekat.

Dokumen itu menyebutkan seorang wanita muda masih hidup tapi sekarat karena payudaranya dipotong. Marinir AS mengambil gambarnya.

Lebih 70 penduduk desa tewas dalam serangan. Kesaksian penyintas baru-baru ini juga menyebut angka sama.

“Korban adalah warga sipil tidak berdaya,” kata Mayor John M Campanelli, penyelidik marinir AS yang menulis dalam dokumen tidak diklasifikasi pada 18 Februari 1968. “Sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Mereka dibunuh saat memohon dibiarkan hidup.”

Sebagai upaya menenangkan penyintas dan keluarga korban tewas dan terluka, pejabat eksekutif batalyon marinir Korsel saat itu menyampaikan permintaan maaf dan memberi 30 karung beras kepada kepala distrik.

Pada April 1968, penyelidik militer AS menyimpulkan bahwa ‘ada kemungkinan kejahatan perang telah dilakukan’. Informasi hasil penyelidikan dibagikan ke perwira tinggi Korsel di Vietnam, yaitu Letnan Jenderal Chae Myung-shin.

Letjen Chae merespon dengan mengatakan pembantaian itu adalah tindakan berkomplot dan dipilih tanpa ampun oleh komunis.

Kisah Veteran Korsel

Ryu Jin-seong, mantan marinir Korsel yang bergabung dalam aksi di dua desa itu, punya cerita lain.

Menurutnya, setelah unit pasukannya menyapu Phong Nhi dan Phong Nhut pada 12 Februari, sejumlah mayat ditemukan. Semua warga sipil tak bersenjata; perempuan dan anak-anak.Tewas ditembak dari jarak dekat atau ditikam bayonet.

“Saya menemukan seorang tua keluar dari lubang persembunyian, tangannya terangkat,” cerita Ryu. “Dia terus memohon untuk dibiarkan hidup, dan tampaknya berpikir akan dibunuh ketika dibawa pergi.”

Ryu saat itu berusia 20 tahun. Sambil marah, seorang sersan bersumpah tidak akan membunuhnya.

Menurut Ryu, ada perintah tetap bahwa jika marinir menerima tembakan — meski hanya satu tembakan senapan ringan – pasukan harus melacak dan menghancurkan semua yang mereka temukan, bahkan warga sipil tak bersenjata. Tujuannya menimbulkan ketakutan di kalangan musuh.

Perintah tetap ini membuat marinir Korsel punya reputasi sebagai pasukan yang tak pernah meninggalkan apa pun yang bernafas. Bahkan babi yang sedang asyik makan kotorannya akan ditembak dan dipastikan mati sebelum mereka pergi.

Tugas pamer kekerasan dan kekejaman sering jatuh ke unit yang dijuluki kompi pembunuh. Ryu berada di dalam kompi itu.

Serangan ke Phong Nhi dan Phong Nhut dimulai ketika tembakan kecil dari dekat desa melukai seorang marinir Korsel. Ryu, anggota peleton kedua, mengatakan ketika unitnya menyapu dua desa itu mereka tak menemukan orang-orang bersenjata.

“Yang ada adalah penduduk desa,” kenang Ryu. “Mereka yang ditangkap.”

Semua sudah tahu siapa yang bertugas menghabisi orang-orang itu, yaitu peleton ketiga di dalam kompi. Peleton ini bergerak dari belakang. Sesampainya di desa, mereka menghabisi semua penduduk dengan caranya.

“Kami mendengar ketika komandan kompi ditanya apa yang harus dilakukan dengan mereka. Komandan itu mengangkat ibu jari dan membuat gerakan memotong tenggorokan,” kata Ryu.

Disembunyikan

Militer AS membuka kembali kasus itu akhir 1969, setelah RAND Corporation — dalam salah satu studinya — mengungkap tuduhan kebrutalan pasukan Korsel terhadap warga sipil Vietnam.

“Saat itulah badan intelejen Korsel mulai bertanya kepada anggota unit marinir tentang pembantaian itu,” kata seorang mantan perwira kepada media Korsel tahun 2000.

Tidak ada bukti Washington dan Seoul melanjutkan masalah ini. Pengungsi Vietnam dan mahasiswa menuduh AS menyembunyikan bukti kekejaman pasukan Korsel terhadap penduduk sipil.

Setelah Korsel dan Vietnam membuka hubungan diplomatik tahun 1992, seorang turis asal Seoul bertemu penduduk Desa Phong Nhi yang mewariskan kisah mengenaskan itu, dan menuturkan tragedi pembantaian yang dilakukan marinir Korsel.

Seorang peneliti Korsel, berdasarkan wawancara dengan para penyintas dan saksi, melaporkan puluhan dugaan pembunuhan massal yang dilakukan marinir Korsel. Jumlah korbannya, 9.000 orang.

Tahun 2015, Thi Thanh — dan wanita penyintas lain — menjadi korban pertama yang mengunjungi Korsel untuk berbagi cerita. Pada 2019, dengan bantuan kelompok sipil Korsel, Thi Thanh dan 102 orang dari 17 desa di Vietnam mengajukan petisi kepada Presiden Korsel Moon Jaei-in untuk menyelidiki tragedi itu dan meminta maaf.

Tahun lalu, setelah empat tahun petisi mereka diabaikan, Thi Thanh mengajukan gugatan terhadap pemerintah Seoul.

Tidak Merasa Berdosa

Korsel mengatakan tidak menemukan bukti pembunuhan warga sipil dalam catatan keterlibatannya dalam Perang Vietnam. Ketika pengacara menuntut Korsel mengumumkan hasil penyelidikan terhadap marinir tahun 1969, badan intelejen menolak dengan mengatakan tidak dapat mengkonfirmasi atau menyangkal apakah penyelidikan itu terjadi.

Menanggapi petisi 2019, Kementerian Pertahanan Korsel megnatakan tidak dapat menyelidiki tuduhan itu karena Veitnam tidak siap bekerja sama.

Tahun 2018, saat mengunjungi Hanoi, Presiden Krosel Moon Jae-in mengatakan penyesalan atas masa lalu yang tidak menguntungkan, namun ia tidak meminta maaf seperti yang dituntut Vietnam.

“Tidak ada pejabat pemerintah Korsel bertanya kepada kami yang selamat apakah kami menginginkan permintaan maaf,” kata Thi Thanh.

“Kami memang menginginkan permintaan maaf,” Thi Thanh mengakhiri.

Exit mobile version