Site icon Jernih.co

Masjid Kampung Bali di Angke dalam Catatan Belanda

JERNIH — Penulis Oude Batavia Gedenboek Platen Album 1919 mengakhiri teks panjang di bawah foto dengan; ……..tak diragukan lagi ini adalah masjid terindah dan berkarakter di Batavia.

Tim peneliti Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang menyusun buku peringatan 300 tahun Batavia itu, pasti tidak berlebihan meski kondisi masjid cukup menyedihkan saat didokumentasikan.

Lantai masjid sedemikian tinggi dari permukaan halaman depan. Lima anak tangga khas Belanda, ambang pintu dan pintunya, sangat mirip dengan rumah-rumah mewah di Kalibesar Barat, dengan dekorasi bingkai dan jendela atap yang diukir dengan indah khas Bali. Vas di atas atap terbuat dari batu alam, mengingatkan pada dekorasi atap rumah pedesaan Batavia.

Di masa lalu, ibu-ibu meletakan makanan sedekahan di depan pintu masjid, sebelum dibawa masuk pengurus. Biasanya, itu terjadi saat kenduri di malam Idul Fitri, atau pada hari-hari perayaan keagamaan.

Di depan pintu masuk terdapat pekuburan berdinding tinggi. Di tempat ini Pangeran Syarif Hamid al-Qadri, sultan Pontianak yang dibuang ke Batavia karena keengganannya tunduk pada pemerintah Hindia-Belanda, dimakamkan tahun 1854

Saat didokumentasikan Masjid Kampung Bali tak terawat dan rusak. Penyebanya, masyarakat Bali yang tinggal di sekeliling dipindahkan VOC dan pemerintah Hindia Belanda ketika tanah yang mereka tempati akan digunakan. Masjid Kampung Bali nyaris tanpa masyarakat yang membangun selama hampir satu abad.

Wasiat Kapten

Masjid Kampung Bali, jika mengacu pada peta Batavia 1920, terletak di sisi selatan Bacherachlsgrachl — saluran yang kini disebut Kali Angke — dan tepat di atas Vijfhoek, benteng era VOC yang dibangun untuk menghadapi serbuan Banten.

Dokumen yang tersimpan dalam masjid menyebutkan Masjid Kampung Bali dibangun pada 26 Saban 1174, atau 2 April 1761. Tidak ada informasi siapa penggagas pembangunan ini. Artinya, masjid dibangun atas inisiatif masyarakat, bukan satu tokoh.

Tahun 1804, atas permintaan Mohammad Paridon Tousalelte Babandan — pemimpin (kapten) masyarakat Bali saat itu — masjid dipindahkan ke blok Paloakan, atau lingkungan dekat Vijfhoek, yang merupakan tanah miliknya. Permintaan itu tertuang dalam surat wasiat (fidelcommis) di depan notaris.

Mohammad Babandan, demikian dia biasa dipanggil, beralasan masjid itu tidak hanya untuk masyarakat Bali, tapi juga penduduk Muslim lainnya. Dalam Oud Batavia Gedenboek Volume II tertulis Mohammad Babandan saat itu relatif kaya, dengan banyak properti produktif dan perekonomian yang mendukung pengembangan investasinya.

Kronik Pemukim Bali

Oud Batavia Gedenboek Volume I menulis di pertengahan abad ke-17 VOC dibuat sibuk oleh budak-budak Bali yang melarikan diri dan membentuk kelompok-kelompok perampok di Ommelanden, kawasan luar tembok kota Batavia, terutama di sekitar Kerawang.

VOC terkadang bersikap lunak, membujuk mereka agar kembali ke Batavia, tapi tak sedikit yang diperangi. Kelompok budak Bali yang dipimpin Untung Surapati yang paling serius diperangi, karena menantang kekuasaan VOC.

Surapati dan pasukannya meladeni VOC di Priangan dan Mataram, dan sempat mendirikan kerajaan merdeka di Jawa Timur. VOC terus memburu Surapati sampai prajurit terakhirnya.

Budak-budak Bali yang kembali ke Batavia mendapat pengampunan dan dipersatukan. Tahun 1687, VOC mendirikan empat kampung untuk orang Bali, yaitu di Kampung Kroekoet di sisi barat Molenvliet. Kampung Bali di Angkee, tepatnya di atas Vijfhoek, Kampung Bali di Pekodjan — atau di bekas tanah milik Kodja Isop, dan Kampung Bali di Pisang Batoe di belakang benteng Jacatra.

Namun, orang-orang Bali yang dimukimkan tidak pernah memiliki hak atas tanah. VOC hanya memberi surat peminjaman, yang bisa kapan saja diambil tanpa atau diberi pengganti. Sebagian tanah Kampung Bali di Kroekoet, misalnya, diambil untuk dibangun rumah peristirahatan Rainer de Klerk.

Tahun 1709, Goesti Ktoet Badoloe — pemimpin masyarakat Bali di Sidoarjo — dibujuk untuk datang ke Batavia bersama keluarganya. Ia setuju, dan VOC memberinya sebidang tanah di sisi selatan Bacherachtsgracht di bawah Benteng Angkee. Kini, tanah itu bernama Kampung Gusti.

Belajar dari perang melawan Untung Surapati, VOC melihat orang Bali adalah prajurit tangguh. Tahun-tahun berikut setelah pembentukan pemukiman, VOC menggunakan 300 orang Bali untuk ekspedisi militer ke Pantai Malabar, Ternate, dan Persia

Exit mobile version