Jernih.co

Melacak Nenek Moyang Pelukis Ernest Dezentje Dari Kartasura Sampai Kampung Muara

JERNIH — Dua pekan lalu muncul video pendek di TikTok soal makam terlantar pelukis terkenal. Seorang kawan mengirim video itu ke saya. Saya segera buka Google dan searching soal Ernest Dezentje, pelukis terkenal itu.

Ternyata, sudah banyak yang nulis. Bahkan ada yang sangat rinci, meski ternyata tidak rinci banget. Namun, tidak banyak foto diri sang pelukis. Kalau pun ada, foto bersama istrinya yang orang Bogor, nggak bagus.

Saya penasaran. Saya buka Google dan mulai mencari. Menggunakan kata kunci Ernest Dezentje, yang muncul sejumlah lukisan karya sang pelukis, bukan foto dirinya.

Akhirnya, setelah cukup lama saya menemukan satu foto Ernest Dezentje, seperti saya tampilkan di atas. Ernest Dezentje sedang berbicara dengan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda BC de Jonge saat pembukaan pameran tunggal di Art Hall of Kollf Nordwijk, Batavia, 1936.

Keluarga Dezentje dan Keraton Surakarta

Entah berapa banyak orang menulis tentng Ernest Dezentje. Semua bilang Ernest Dezentje keturunan Prancis-Belanda-Jawa, tapi tidak ada penjelasan soal moyangnya yang orang Prancis.

Menggunakan situs geni.org, saya coba lacak moyangnya Ernest Dezentje. Ternyata benar, moyangnya bernama Jean Francois Teissonnier — orang Prancis kelahiran Jerman yang datang ke Hindia Belanda di penghujung abad ke-18 dan berkarier di kemiliteran VOC dengan pangkat terakhir kopral.

PAMERAN TUNGGAL: Ernest Dezentje (kanan) berbincang dengan Gubernur Jenderal BC de Jong di sela pameran tunggal di Art Hall of Kolff Nordwijk, Batavia, 24 Mei 1936. Foto: nationaalarchief.nl

Teissonnier menikah dengan Flohr Dossenge dan Putri Kesultanan Banten. Ia meninggal dan dimakamkan di Kartasura. August Jan Casper, salah satu putraya, mulai menggunakan Dezentje sebagai nama keluarga. Augustt Jan Casper Dezentje berkarier sebagai adalah ajudan pengawal berkuda Kesunanan Surakarta dan pedagang anggur di Batavia.

Keturunan berikutnya, Johannes Augustines (Tinus) menggunakan nama Dezentje. Ia tiga kali menikah; dua dengan perempuan Belanda, satu dengan keluarga Kasunanan Surakarta yaitu RA Soren Helen Tjondrokusumo.

Tinus pelopor bisnis perkebunan di Surakarta. Saat Perang Diponegoro, orang Belanda menyebutnya Perang Jawa, ia menyewa prajurit bayaran untuk menjaga perkebunannya. Ia juga menahan Susuhunan Surakarta untuk tidak terlibat dalam perang.

Salah satu putranya, Johannes Augustinus Diederik Caspar Dezentje, lahir dari rahim Raden Ayu Soren. Ia berkarier sebagai beheerder van een landbouwonderneming alias manajer perusahaan pertanian. Nggak tahu ya kenapa tidak mewariskan perkebunan milik ayahnya dan jadi eigenaar atau pemilik.

Diederik Caspar Dezentje memperkokoh kehadiran Keluarga Dezentje di Keraton Surakarta dengan menikahi Raden Ayu Tedjaningsih, setelah istri Belandanya; Elizabeth van den Berg meninggal.

Dari rahim Raden Ayu Tedjaningsih lahir Leon Caspar zn Dezentje. Leon Caspar adalah tuan tanah Klaten, pekebun tebu dan nila. Ia tidak menikahi keluarga Keraton Surakarta, tapi mengambil orang Belanda kelahiran Batavia bernama Charlote Wilhelmina Henriette Reinjhart sebagai istri.

Dari rahim Wilhelmina Reijnhart lahir Ernest Regnar Leonce Dezentje, alias Ernest Dezentje sang pelukis.

Mooi Indie, Dezentje,

Ernest Dezentje lahir di Jatinegara 17 Agustus 1855. Ia tidak mengikuti jejak sang ayah sebagai pekebun, atau manajer perkebunan. Ia mendidik diri sendiri sebagai pelukis.

Tahun 1915, tepatnya pada usia 30, Ernest Dezentje mulai melukis. Ia otodidak, dan mendengar nasehat rekan pelukis senior macam Gerard Pieter Adolf, Rudolf Bonnet, Carel Lodewijk Dake, Willy Halwyn, Van Aken.

Ernest Dezentje berkeliling Pulau Jawa, dan lima tahun berada di Sumatera, untuk menangkap keindahan alam Hindia Belanda dan memindahkannya ke kanvas. Ia menggunakan pendekatan impresionisme Barat untuk menangkap cahaya tropis di setiap lukisannya.

Seni rupa Hindia Belanda sejak penghujung abad ke-19 diramaikan aliran Mooi Indie, atau Hindia Molek, Hindia yang Cantik, dan lainnya. Aliran ini berkembang sesuai kebutuhan pemerintah Hindia Belanda yang memulai industri pariwisata dan menyedot wisatawan dari Eropa dan AS.

Ernest Dezentje sering berpameran bersama. Ia juga anggota Bataviasche Kunstkring, jaringan seniman Belanda dan Eropa. Antara 1936 sampai 1939, Ernest Dezentje lebih banyak menggelar pameran tunggal.

Ketika hendak melukis panorama Gunung Salak, Ernest Dezentje menyambangi Bogor untuk mencari lokasi melukis yang pas. Takdir membawanya ke Kampung Muara, tidak jauh dari Kampung Empang, Desa Pasir Jaya.

Kampung Muara terletak di sebuah bukit, dengan panorama Gunung Salak di latar belakang. Di bawah kampung terdapat keindahan lain, yaitu pertemuan Sungai Cisadane dan Cipinang Gading yang membentuk lubuk.

Seperti wilayah Bogor lainnya, Kampung Muara adalah permukiman jarang penduduk. Rumah-rumah beratap rumbia dan berdinding anyaman bambu menyebar tak beraturan dengan jarak berjauhan. Di tempat ini Ernest Dezentje menemukan jodohnya, gadis Sunda dengan kecantikan alamiah bernama Siti Rasmani.

Tidak diketahui kapan keduanya menikah. Yang pasti, keduanya tinggal bersama di Bandongan, kini Jl Pahlawan. Rumah Dezentje-Rasmini kini jadi kantor PT Bostinco.

Dezentje dan Soekarno

Banyak kisah tentang Ernest Dezentje dan Soekarno. Soekarno, saat belum menjadi presiden RI, menyukai lukisan Dezentje. Keduanya sering bertemu, meski Soekarno sibuk dengan aktivitasnya melawan penjajah untuk memerdekakan Indonesia.

Namun, keakraban mereka terhenti setelah kedatangan Jepang. Soekarno masih dengan aktivitasnya, sedangkan Dezentje tidak diketahui berada di mana. Kemungkinannya adalah dia ditangkap Jepang dan dijebloskan ke kamp interniran, seperti yang dialami warga keturunan lainnya.

Setelah Jepang hengkang dan Soekarno memproklamirkan kemerdekaan RI, Hindia-Belanda menghadapi situasi lain. Ernest Dezentje dan pelukis lainnya kemungkinan berhenti berkarya, seraya menunggu situasi.

Ketika Belanda melakukan agresi militer pertama dan Batavia dalam keadaan genting, Soekarno menitipkan putranya; Guntur Soekarnoputra di rumah Ernest Dezentje di Bogor. Ernest Dezentje menolong tanpa pamrih.

Desember 1950, atau setahun setelah penyerahan kedaulatan Hindia-Belanda kepada RIS, Soekarno menugaskan ajudannya mencari Ernest Dezentje karena salah lukisannya hilang. Mangil, ajudan itu, mencari Ernest Dezentje di Nordwijk — kini Jl H Juanda, Jakarta.

Ernest Dezentje seolah nggak percaya Soekarno yang telah menjadi presiden masih mengingatnya. Mangil membawa Ernest Dezentje ke Istana Merdeka untuk bertemu Soekarno.

Usai pertemuan itu, Ernest Dezentje kembali berkarya. Ia sibuk dengan kanvas, cat minyak, dan berkeliling dari satu ke lain tempat untuk menangkap keindahan Indonesia.

Tahun 1952, di tengah kesibukan melukis, Ernest Dezentje kehilangan orang paling dicintai. Siti Rasmani Dezentje meninggal dunia pada usia 45 tahun dan dimakamkan di kampung halamannya di Kampung Muara, Desa Pasir Jaya, Bogor.

Tidak ingin larut dalam kesedihan, Ernest Dezentje terus berkarya. Ia sering menyambangi istana, bersama sejumlah pelukis — salah satunya Dullah, pelopor aliran realisme di Indonesia dan kurator seni Istana Merdeka — Ernest Dezentje berbincang dengan Soekarno.

Lukisan-lukisan Ernest Dezentje menghiasi Istana Merdeka, Istana Bogor, Istana Tampaksiring Bali, dan Istana Cipanas. Dullah mengenang semua ini dalam salah satu bukunya.

Tidak terdengar lagi Ernest Dezentje menikah lagi. Saat itu usai Ernest Dezentje 67 tahun. Ia masih produktif, berpindah dari satu ke lain lokasi untuk menangkap keindahan setiap sudut alam Indonesia.

Ketika situasi politik bergeser, dalam satu kesempatan Soekarno menyampaikan gagasannya menghimpun seniman dalam satu wadah. Ia mengajak seniman bersatu dalam semangat revolusi.

Soekarno menggagas pendirian Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang menghimpun seniman. Ernest Dezentje menjaga jarak dari politik. Ia menolak masuk LEKRA, tapi ketika Soekarno mendokumentasikan seni lukis yang terdapat di istana, seluruh lukisan Ernest Dezentje dimasukan.

Setelah Peristiwa G30SPKI dan Soekarno dilengserkan, Ernest Dezentje tidak terdengar lagi. Tidak ada kabar pelukis Mooi Indie itu memamerkan karyanya, atau terlibat dalam kegiatan berkesenian

Ia seolah hanya menghabiskan hidup dengan Satria Djupriyani, anak angkatnya dari keluarga istri. Djupriyani mengikuti jejak ayah angkat dengan menjadi penulis. Beberapa karyanya dihadiahkan kepada Ibu Tien Soeharto.

Tahun 1970 Soekarno meninggal dunia di RSPAD Jakarta. Dua tahun kemudian Ernest Dezentje menyusul. Sesuai wasiatnya, jenazah Ernest Dezentje dimakamkan di samping makam Siti Rasmani Dezentje, istri dan wanita paling dicintai.

Kini, makam keduanya berada di permukiman padat Kampung Muara dan terbengkalai, seolah tidak ada lagi keluarga Siti Rasmani yang mengurus. Satria Djupriyani juga telah meninggal pada tahun 2019.

Ernest Dezentje boleh saja terlupa, tapi sejarah telah mencatat pengabdian seumur hidup untuk mengangkat keindahan Indonesia ke dalam kanvas. Maka, akan selalu ada orang yang melacak eksistensinya dan memperkenalkannya kepada generasi esok.

Exit mobile version