Jernih.co

Mengenang Brondong dan Tenggelam Kapal Van der Wijck

JERNIH — Kata ini tidak mengacu pada pria muda yang melayani perempuan jauh lebih tua. Juga bukan tentang popcorn, alias brondong jagung.

Brondong dalam artikel ini adalah nama desa pesisir di sebelah timur Tuban, masuk Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang ngetop hebat saat Kapal Van der Wijck tenggelam pada 20 Oktober 1936.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, ulama dan sastrawan yang populer dengan sebutan Hamka, mengangkat tragedi ini dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Novel diangkat ke layar lebar dengan Brondong sebagai lokasi syuting.

Gambar di atas adalah foto udara antara Brondong yang diambil pilot pesawat Dornier tahun 1947. Foto dibuat Marine Luchtvaart Dienst Indië, tersimpan di KITLV, dan bisa dilihat di digitalcollections.universiteitleiden.nl/.

Ada bangunan aneh berciri art deco di Brondong, dengan prasasti yang mencatat tragedi KPM Van der Wijck. Bangkai kapal Van der Wijck masih bersemayam di kedalaman 45 meter dan menjadi obyek wisata menyelam.

Fiksi, Fakta

Hamka menarasikan tragedi Van der Wijck lewat dua sejoli beda status yang jatuh cinta di atas kapal. Kalau saja kita punya industri film sekelas Hollywood, mungkin Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bisa lebih dramatis dibanding Titanic.

Dua sejoli itu adalah fiksi. Tragedi Kapal Van der Wijck, yang dibangun di galangan kapal Rotterdam 1921, adalah fakta.

Kapal Van der Wijck berangkat dari Bali, dengan rute perjalanan Surabaya, Batavia, dan berakhir di Palembang. Pada 19 Oktober, kapal meninggalkan Surabaya pukul 21:00 dengan membawa 260 penumpang, terdiri dari puluhan orang Eropa, dan sejumlah besar pekerja pribumi.

Pukul 01:00 dini hari, kapal mengirim sinyal darurat SOS yang diterima di Surabaya. Kapal miring ekstrem. Tim penyelamat bekerja keras menentukan lokasi kapal berdasar kecepatan dan waktu tempuh.

Saat Van der Wijck miring ekstrem dan mengirim SOS, Kapal Plancius — yang sebenarnya berada sangat dekat — tidak menghidupkan radio. Akibatnya, awak kapal tidak tahu ada bencana di sebelahnya. Maklum, Laut Jawa saat itu sangat gelap.

Siang hari, pesawat terbang Dornier melakukan pencarian udara, dan melihat satu sekoci dengan sekitar 50 orang di dalamnya. Tujuh sekoci lain, yang tersedia di kapal, entah ke mana.

Brondong Jadi Pahlawan

Hanya 60 penumpang yang bisa diselamatkan dan dibawa ke Surabaya. Nasib penumpang lain tak diketahui. Pemerintah Hindia-Belanda juga tak tahu bagaimana mencari mereka di tengah Laut Jawa.

Dalam kebingungan ekstrem, terdengar kabar nelayan Brondong menawarkan bantuan. Puluhan kapal bertenaga angin, alias kapal layar, dikerahkan. Hasilnya, 140 korban Van der Wijck yang terombang-ambing kedinginan di sekoci diangkat dan dibawa ke darat. Nelayan juga membawa empat mayat, salah satunya operator radio.

Sebagian pribumi dari 140 penumpang Kapal Van der Wijck yang diselamatkan nelayan Desa Brondong. Foto Javapost.nl

Sekitar 50 penumpang lain dinyatakan hilang. Korban tewas diperkirakan gagal keluar saat kapal miring ekstrem dan perlahan tenggelam.

Jumlah korban sebenarnya tak diketahui karena pekerja pribumi berstatus penumpang gelap dan tidak terdaftar dalam manifest atau daftar peumpang. Yang bisa dilakukan adalah meyakini bahwa korban tewas 55 orang.

Respon Pers

Pers Belanda dan Pribumi fokus pada dua hal; investigasi penyebab kecelakaan, dan kepahlawanan nelayan Brondong. Banyak teori penyebab kecelakaan, tapi tak ada yang terbukti. Pertanyaan tak terjawabnya adalah bagaimana mungkin kapal yang layak berlayar tenggelam dalam cuaca begitu tenang? Pertanyaan lain, mengapa kapal tenggelam begitu cepat?

Saat yang sama, Docus Rijkers Fonds — organisasi pengumpul dana bagi penyelamat maritim — menggalang dana untuk membantu nelayan Brondong. Perusahaan pengelola KPM Van der Wijck merogoh kocek, pemerintah Hindia Belanda ikutan. Dana terkumpul mencapai 3.000 gulden (NLG).

Prasasti yang dibuat pemerintah Hindia Belanda untuk mengenang jasa nelayan Desa Brondong.

September 1937 seluruh penduduk desa Brondong diundang untuk penyerahan sembilan perahu nelayan, plus sejumlah uang kepada setiap nelayan, sebagai tanda terima kasih. Setelah upacara berakhir, digelar selametan akbar di sebuah gudang.

Sebulan setelah selametan itu bencana lain terjadi; pesawat amfibi jatuh hanya satu kilometer dari lokasi tenggelam Van der Wijck. Sekali lagi nelayan Brondong mengerahkan armada perahu untuk mencari korban.

Saat tim penyelamat datang, jenazah korban telah terbaring di gudang yang menjadi tempat selametan akbar. Sebuah monumen berdiri untuk mengenang nelayan peran kemanusiaan Brondong.

Exit mobile version