- Yang tersisa dari keberadaan mereka hanya Papanggo, sebuah kelurahan di Jakarta Utara.
- Lainnya adalah musik Tanjidor, yang diciptakan Augustijn Michiels — mayor De Papangers.
JERNIH — Kalau saja tidak ada Keluarga Michiels, terutama Jonathan dan Augustijn, eksitensi Papanger di Batavia era VOC dan Hindia-Belanda mungkin terhapus dari sejarah, atau hanya menjadi catatan kaki dalam dalam buku-buku dan artikel.
Jonathan Michiels, yang tak cerdas tapi beruntung, mengawali dengan membeli Klapanunggal. Di bentang tanah itu terdapat ‘Gunung Burung’, demikian orang Belanda menyebut perbukitan kapur dengan lubang-lubang sarang burung walet.
Augustijn Michiels, yang kemudian dikenal sebagai Mayoor Jantji (Jantje – red), meneruskan kejayaan keluarga selama 30 tahun kemudian. Ia memperluas kepemilikan tanah partikelir dengan membeli Tjilengsir (Cileungsi – red), Tjipamingkis (Cipamingkis – red), dan mengakuisisi Tjitrap (Citeureup) dengan Het Huis Tjitrap di atasnya.
Mayoor Jantje mengembangkan tradisi bermusik, dan memunculkan apa yang disebut tanjidor. Ia berpenampilan mencolok dengan pakaian mewah gaya Portugis, tapi bertelanjang kaki, dan tak pernah meninggalkan masyarakat Papangers dengan pindah ke kawasan mewah Weltevreden.
Papangers Penjaga Kota
Papanger mengacu pada Suku Pampango di Propinsi Pampanga, Filipina. F de Haan, dalam De Laatste Der Mardijkers, menulis Suku Pampango adalah penyuplai serdadu tangguh ke militer Spanyol. Di Batavia, mereka disebut Papanger, bukan Pampanger.
Mereka tiba di Batavia 1633 dan mendirikan permukiman di sebelah timur Batavia. Namun, VOC baru menggunakan tenaga Papanger tahun 1651. Tahun 1659, kompi Papanger di bawah Kapten Ventura ikut dalam parade tahunan Mardijkers Batavia.
Secara fisik, Papanger tak beda dengan mardijker lain. Kalau ada yang membedakan, Papanger menggunakan nama-nama Sanyol; Mendoza, Toledo, dan lainnya, serta beragama Katolik. Jumlah mereka tak banyak, kemungkinan hanya puluhan, yang membuat mereka dilebur ke dalam satu kompi bersama Ambon Krsiten pada 1676.
Mardijker adalah sebutan untuk orang bebas, alias bukan budak, di Batavia. Mereka berasal dari wilayah Asia; Arakan, Coromandel, Nagapatnam, dan Bengal, dan telah dikristenkan. Julukan ini yang membedakan mereka dari pribumi Kristen.
Ketika muncul ‘kebijakan’ untuk membaptis ulang mardijker non-Kristen menjadi Kristen, Papanger bersedia tapi memilih nama-nama Portugis; A De Sousa, De Queljoe (sebenarnya Coelho), De Lima, Quartero, dan Diaz. Mereka bicara dalam creole, campuran Portugis-Melayu, dan menghadiri Gereja Reformasi Portugis.
Tahun 1803 muncul larangan penggunaan Bahasa Portugis dan Creole di Batavia. Sebagai gantinya, Belanda memaksa mardijker dan Papanger menggunakan Bahasa Belanda. Yang terjadi adalah mardijker dan Papanger, yang secara fisik lebih dekat ke pribumi, melebur ke dalam masyarakat lokal dan bicara dalam Bahasa Melayu.
Selama era VOC, Papanger hanya punya satu tugas, yaitu menjaga kota. Mereka berpatroli di sekitar gedung Balai Kota, mengenakan baju luar putih, celana panjang biru, penutup kepala, bersenjata tombak dan parang. Orang menyebut mereka prajurit kota.
Situasi itu terjadi sampai penghujung abad ke-18. Berikutnya, Papanger bukan satu-satunya prajurit kota karena VOC membentuk beberapa kompi mardijker untuk tugas yang sama. Jelang pergantian abad, mardijker muak menjadi penjaga kota dan satu per satu mengundurkan diri. Tahun 1797, dua kompi mardijker penjaga kota dibubarkan.
Yang tersisa dua kompi, disebut kompi Pinggir Selatan Kota dan Papanger. Keduanya dipertahankan sampai VOC bubar. Tahun 1803, saat Kerajaan Belanda mulai mengambil alih tanah-tanah VOC, anggota dua kompi yang tersisa hanya 31 mardijker dan 84 Papanger.
Sesuatu yang menarik terjadi. Saat itu Papanger bukan lagi pemeluk Kristen, tapi telah menjadi Muslim. Mereka berbagi pemukiman dengan orang-orang Banda di ujung kanal Ancol, mengganti nama, dan membangun masjid bersama. Tahun 1799 orang Belanda menyebut masjid itu Kuil Orang Banda dan Papanger.
De Haan berkomentar sinis tentang perubahan ini, dengan menyebut orang Papanger lebih rendah dibanding penduduk pribumi Kristen. VOC sejak dua dekade sebelum bubar telah mengetahui konversi Papanger dan mengubah status mereka menjadi pribumi sepenuhnya. Bahkan VOC menyebut mereka orang jahat yang hanya bisa menjadi penjaga malam.
Pada 1803 dua kompi penjaga kota digabung. Tahun 1808 kapten penjaga kota pribumi meninggal dan tak digantikan. Gubernur Jenderal Herman William Daendels tidak tertarik menggunakan Papanger sebagai prajurit tempur, tapi membiarkannya sebagai penjaga malam balai kota dengan komandan orang Belanda.
Saat Thomas Stanford Raffles tiba, Mayor Hillebrink — komandan korp Papanger saat itu — yang menyerahkan kota kepada Inggris pada 8 Agusuts 1811. Raffles mencoba menghidupkan lagi kejayaan Pampangers sebagai prajurit hebat, tapi situasi telah berbeda.
Prajurit Miskin
Setelah Belanda medapatkan kembali tanah jajahannya, ada upaya memperbesar lagi kompi penjagaan kota. Papanger masih tak tergantikan, tapi jumlah mereka juga tak banyak.
Tahun 1855, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan penjagaan kota dipercayakan kepada penduduk asli, yang disebut batalion Papangers dan berada di bawah komandan milisi. Jumlah mereka 300 orang; berseragam, dan menerima gaji 12 gulden per bulan tanpa makanan.
Gaji yang sangat minim, tapi Papanger tak punya pilihan selain menerima. Akibatnya, mereka yang tidak memiliki rumah menghabiskan seluruh usia di pos jaga sampai mati. Mereka yang tak menjadi penjaga malam, menghabiskan hidup dalam kemiskinan di permukiman.
Augustijn Michielsz, meninggal tahun 1833, tahu semua perubahan ini. Ia juga tidak beranjak dari masyarakat yang membesarkannya, tapi tidak ada catatan sang juragan super kaya saat itu mengentaskan Papanger dari kemiskinan absolut.
Ia seolah menikmati status turun temurun Papanger sebagai penjaga malam balai kota Batavia. Ia meneirma semua gelar kehormatan dari pemerintah Hindia-Belanda berkat Papanger.
Papanger masih ada sampai memasuki abad ke-20. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Willie Rooseboom, berkuasa antara 1899-1904, membubarkan Kompi Papanger. Namun dalam foto bertahun 1907 yang dipublikasikan indonesia-dutchcolonialheritage.nl, De Papanger masih ada. Jadi, tidak ada kepastian kapan koprs penjaga malam kota ini dibubarkan.
Yang pasti, sejarah tentang mereka seolah hilang begitu saja. Yang abadi adalah pemukiman mereka, bernama Papanggo, yang berfungsi sebagai pengingat bahwa Suku Pampango dari Pampanga di Pulau Luzon di Filipina pernah ada di Batavia.