Jernih — Dalam pembabakan sejarah, antara tahun 1670 sampai dengan 1950 dikenal sebagai masa perjuangan. Sedangkan Galuh berada dibawah kekuasaan Belanda pada 19-20 Oktober 1677 diawali dengan penyerahan wilayah Priangan Timur oleh Mataram kepada VOC.
Penyerahan itu sebagai balas jasa karena VOC telah membantu menyelesaikan konflik kekuasaan di Mataram, akibat perlawanan Pangeran Trunajaya dan Untung Surapati.
Over alih Priangan dari Mataram ke VOC tidak berlangsung cepat. Pada 15 Nopember 1648 akhirnya seluruh Priangan dikuasai VOC. Setelah melewati rentang waktu yang panjang, akhirnya proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Indonesia akhirnya merdeka. Namun kemerdekan itu masih harus dibayangi oleh kompleknya masalah. Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan melakukan segala daya untuk berkuasa kembali .Empat tahun pasca Proklamasi, perang mempertahankan kemerdekaan masih terus berkobar.
10 November dicanangkan sebagai Hari Pahlawan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Begitu banyak kisah perjuangan yang masih terekam dalam ingatan bangsa Indonesia. Sengitnya perlawanan pejuang Indonesia untuk mempertahankan Kemerdekaan diakui sendiri oleh Belanda, dalam buku De Politionele Acties, De Strijd Om Indie 1945-1949, yang ditulis oleh Pierre Heyboer.
Salah satu kisah perjuangan grilyawan Indonesia diantaranya terjadi di Tatar Galuh. Pada tahun 1945 sampai 1949 dimasa Ageresi Militer Belanda I, semangat perlawanan terhadap Belanda berkobar disetiap dada naka bangsa. Termasuk para pelajar yang kemudian tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Pelara (TRIP) atau disebut juga Tentara Pekajar (TP).
TP Batalyon III dibawah komandan Kapten Solihin GP yang saat itu menjadi komandan detasemen IV Brigade 17 /KRU Wehrkreise (yang kesatuanny terdiri dari TP Batalyon III Jawa Barat dan TP Jawa Tengah. Brigade ini yang merupakan kompi 5 Batalyon Nasuhi / Brigade 14 / SLW.
Sedangkan pejuang grilyawan dari Kelompok I dari TP Batalyon III bermarkas di Panaragan untuk mengganggu garis perhubungan antara Ciamis-Cikoneng-Tasikmalaya dan Ciamis-Cikoneng-Manonjaya-Tasikmalaya.
Panjalu saat itu menjadi markas Sub. Wehrkreise 2 Divisi Siliwangi dengan komandannya Mayor Akil Prawiradirja, dan wakilnya Kapten Djuhro Sumitra Dilaga. Wehrkreise (WK) berasal dari bahasa Jerman yang artinya lingkaran pertahanan. Merupakan strategi militer yang dicetuskan oleh Sudirman dalam menghadapi Agresi Militer Belanda.
Sub. Wehrkreise 2 Divisi Siliwangi bertugas mengkordinir pelajar pejuang bersenjata di sekitar Gunung Sawal. Sedangkan yang menjadi Komandan Datasemen Wehrkreise 2 di Panjalu yaitu Kol. Aboeng Koesman. Sedangkan Djamhir Pardjaman menjadi komandani Wehrkreise 2 di Panumbangan.
Tanggal 28 Desember 1947, di selatan Cikijing, konvoi zenie Belanda dihadang oleh para grilyawan sehingga pecah pertempuran sengit. Dalam peristiwa yang tak diduga oleh Belanda, 4 orang serdadu zenie meninggal dunia dan 10 luka-luka. Padahal 3 minggu sebelumnya, komandan Batalyon Belanda Letkol Boers, yang bermarkas di Tasikmalaya tewas ditempat yang sama
. Jalur jalan Ciamis – Cirebon dikenal sebagai jalur kematian. Orang Belanda menyebutnya “De Doden Weg” atau jalan yang banyak makan korban jiwa. Seksi Solihin G.P. sering melakukan serangan grilya terhadap Belanda di tanjakan Alinayin, Baregbeg.
Medan di sekitar Alinayin yang berbukit-bukit memang sangat ideal bagi pasukan pejuang untuk melakukan penyergapan. Seksi Solihin G.P. pernah menyerang powerwagen yang dipenuhi oleh tentara Belanda sehingga banyak yang terkena tembakan dan jatuh ke jalan sambil berteriak “mamie…mamie..!”
Gencarnya serangan grilyawan terhadap pasukan Belanda melalui jalur darat, membuat Belanda kewalahan sehingga untuk mengirim logistiknya harus melalui udara yaitu dengan menggunakan parasut seperti yang terjadi pada Pos Belanda di Kawali (pada saat itu disebut Pos gudang garam, kini menjadi bangunan Polsek Kawali).
Pos ini juga memang menjadi langganan serangan oleh Kelompok II Tentara Pelajar (TP) dari Batalyon III yang bermarkas di Panjalu dan Maparah. Sedangkan pejuang dari Kelompok I dari TP Batalyon III bermarkas di Panaragan untuk mengganggu garis perhubungan antara Ciamis-Cikoneng-Tasikmalaya dan Ciamis-Cikoneng-Manonjaya-Tasikmalaya.
Sasaran dari Tentara Pelajar yang bermarkas di Panjalu dan Maparah. yaitu mengganggu jalan pos tentara Belanda antara Cirebon-Kawali-Ciamis. Saat itu Belanda bermarkas di bekas bangunan gudang garam yang saat ini menjadi kantor Kepolisian Sektor Kawali. Akibat gangguan dari para tentara pelajar, Belanda harus mengirimkan logistiknya melalui udara.
Demikian pula di Sadewata, kendaraan brencarier Belanda lumpuh setelah dipancing oleh dua pejuang bernama Ruyatana dan Soeroyo sehingga menggilas bom sehingga rantainya putus dan tidak bisa melanjutkan perjalanan.
Menurut cerita eks Tentara Pelajar, sekaligus sesepuh Panjalu RH. Atong Tjakradinata (Alm) bangunan gudang garam di kawali rencananya akan diserang dengan mortir oleh pasukan pejuang yang merupakan gabungan dari Heiho, Sukarelarelawan, Pesindo, Hisbullah, dan TRIP.
“Akan tetapi entah kenapa, waktu itu mortir tidak sampai ke gedung pos Belanda di Kawali. Malah meledak di tempat lain. Agak lucu juga” papar Atong sambil terkekeh.
“Karena ketahuan akhirnya Belanda menyerang Panjalu. Pertempuran pecah di Ciomas dan salah seorang pejuang yaitu Letnan Totong gugur” imbuh Atong.
Lokasi markas Pelajar pejuang yang ada di Panjalu, kata Atong, yaitu bangunan Pasanggrahan. Ketika tentara pejuang harus hijrah ke Yogya, markas tersebut di bumi hanguskan oleh para tentara pelajar. Tentara Belanda yang baru datang, tidak mendapatkan secuilpun informasi yang menyangkut perjuangan di wilayah Panjalu dan sekitarnya.
Antara Juni1947 – Februari 1948 tercatat 9 pejuang grilyawan Kelompok II Tentara Pelajar (TP) yang gugur membela negara. Mereka yang gugur yaitu : Endang Kachroni, Uyun, Sarifudin, Soediono, Totong Belawi, Suptandi, Umar, Abdurachman dan Moch. Isya.
Kisah perjuangan para pelajar itu kini diabadikan dalam monumen Perjuangan yang berdiri di Objek Wisata Situ Lengkong Panjalu.