- Sebagai pribumi Hindia-Belanda, Soejono dihormati sebagai politisi moderat dan kooperatif.
- Sebagai Muslim, dia dilecehkan sebagai kayu bakar neraka oleh semua anggota kabinet.
- Ia tak lelah menekan Ratu Wilhelmina untuk mengakui hak kemerdekaan bangsa Indonesia.
JERNIH — Situs historiek.net menurunkan kisah Raden Adipati Ario Soejono dengan last update 27 November 2023. Sejarawan pasti mengenal nama ini, tapi kita tidak tahu bagaimana mereka memposisikan sosok satu ini; pengkhianat, pahlawan, atau figur yang harus terhapus dari sejarah.
Apa pun posisi Pangeran Soejono, demikian ia beberapa kali disebut, mungkin menjadi tidak penting. Atau, kita punya pandangan lain tentang figur satu ini setelah mengenal dan membaca kisahnya secara utuh.
Bupati Pasuruan
Penulis artikel Soejono: tragische minister in kabinet-Gerbrandy, Een Indonesische minister in een Nederlands kabinet mengawali tulisan dengan bercerita singkat tentang latar belakang sosok ini. Soejono lahir di Tulungaung 31 Maret 1886 dari keluarga bangsawan bupati.
Ia menyelesaikan Hoogere Burgerschool (HBS) di Surabaya. Di Batavia, Soejono adalah satu dari sedikit pribumi yang memperoleh ijazah pegawai negeri. Saat berusia 22 tahun Soejono menerima penunjukan pertamanya di pemerintahan dalam negeri Hindia-Belanda, dan menjadi bupati di Pasuruan.
Soejono adalah satu dari tiga pribumi dari keluarga bangsasan yang mencapai tingkat tertinggi dalam karier birokrat Hindia-Belanda. Dua lainnya adalah Aria Achmad Djajadiningkarat (1877-1943) dan pendahulunya; Raden Mas Adipasti Ario Koesoemo Oetojo (1871-1953).
Dalam spektrum politik kolonial ketiganya adalah nasionalis moderat dan koperatif. Ketiganya memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat jelata di tanah jajahan, dan peningkatan kemajuan kebudyaan, meski pada akhirnya lebih banyak diberi aksen konstisuional/politik.
Soejono memegang dua posisi penting di Hindia-Belanda; Bupati Pasuruan dan anggota Volksraad di Batavia. Namun, Volksraad itu parlemen semu, yang hanya memiliki kekuasaan sebagai penasehat.
Tahun 1930-1931 Soejono tinggal di Belanda bersama keluarga untuk tugas ekonomi. Berikutnya, 1936-1940 ia tinggal di Den Haag dengan tugas di Kementerian Tanah Jajahan sebagai penghubung Huib van Mook di Batavia.
Kembali ke Hindia-Belanda 1940, Soejono duduk sebagai anggota Raad van Indie — badan panasehat tertinggi Gubernur Jenderal. Raad van Indie terdiri dari lima orang, dua di antaranya adalah pribumi.
Menteri Kabinet Belanda
Saat Jepang datang, Soejono — atas desakan Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Huib van Mook — lari ke Australia awal Maret 1942. Alasan lain, Soejono mampu berbicara dalam Bahasa Inggris dengan baik.
Van Mook, menteri tanah jajahan yang masih berkantor di Hindia-Belanda, punya kepentingan politik lain dengan memaksa Soejono ikut ke Australia.
Di Eropa, Jerman tanpa kesulitan menduduki Belanda. Ratu Wilhelmina, PM Pieter Sjoerds Gerbrandy, dan seluruh anggota kabinet, lari ke London. April 1942 Soejono meninggalkan Australia dan menetap di London.
Di pemerintahan pengasingan Kerajaan Belanda, Soejono sempat menjabat wakil ketua Dewan Bantuan Urusan Hindia-Belanda, yang tugasnya menasehati Van Mook. Pada Juni 1942 Soejono menjadi menteri tanpa jabatan di Kementerian Tanah Jajahan.
Usulan mendudukan Soejono di posisi menteri datang dari Van Mook. Sesuatu yang unik, karena kabinet Belanda diisi orang terjajah.
Sebelum perang dekolonisasi, Van Mook mengharapkan dukungan Soejono jika dirinya mengajukan usulan kepada kabinet untuk langkah politik baru di Hindia Belanda. Menlu Eelco van Kleffens melihat peluang dengan masuknya Soejono ke kabinet.
Maklum, AS saat itu sedang antikolonial. Pengangkatan Soejono sebagai menteri menunjukan orang dari tanah jajahan bisa mencapai posisi tertinggi di negara penjajah.
Ditolak Ratu Wilhelmina, Muslim Kayu Bakar Neraka
Loe de Jong, dalam karya standar tentang Belanda pada Perang Dunia II, melaporkan argumen-arguen menarik PM Gerbrandy. Menurut De Jong, Gerbrandy melakukan reformasi tak direkomendasi untuk menyatakan Soejono adalah Muslim yang menjadi menteri.
PM Gerbrandy, Van Mook, dan Piet Kersten — menjabat sebagai menteri perdagangan, industri, dan pelayaran — sempat mengatakan bahwa Muslim adalah kayu bakar neraka. Sesekali mereka menyebut Soejono sebagai orang bijak dan rendah hati. Tidak jarang pula ketiganya menyebut Soejono sebagai Si Mussulman — kata dalam Bahasa Belanda untuk Muslim — di dewan menteri.
Sesuatu yang bisa dipahami. Masyarakat Belanda sampai 1950-an terpecah dalam diam menjadi dua kelompok agama; Katolik dan Protestan. Perpecahan itu berimbas luar biasa pada banyak hal, salah satunya industri sepakbola.
Ratu Wilhelmina keberatan dengan pengangkatan Soejono sebagai menteri. Alasannya, kehadiran Soejono akan mengubah gambaran kabinet, dari kabinet Belanda menjadi kabinet nasional.
Yang menarik adalah Ratu Wilhelmina sempat mengajukan pertanyaan; Bisakah Soejono menjadi menteri? Menurut sang ratu, Soejono adalah warga Belanda, tapi bukan warga negara Belanda. Lalu Ratu Wilhelmina bertanya lagi; Bukankah itu yang tertulis dalam UU Kewarganegaraan?
Namun, penolakan Ratu Wilhelmina terhadap Soejono hanya bertahan sepekan. Ratu Wilhelmina datang ke Royal Albert Hall, London untuk mendengarkan Soejono berbicara pada hari ulang tahun sang ratu.
Sehari setelah dekrit pengangkatannya ditandatangani, Soejono mengadakan rapat dewan menteri yang pertama pada 10 Juni 1942. PM Gerbrandy menyambut dengan kata-kata baik. Saat Soejono berpidato, dan menyebut tanggung jawabnya terhadap Bangsa Indonesia, semua yang mendengar juga bertepuk tangan.
Soejono ‘a Cassandra
Beberapa bulan setelah berada dalam kabinet Belanda, Soejono menemukan diri dalam situasi tak bisa berdamai dengan semua rekan kulit putih Belanda. Ini terungkap dalam diskusi tentang apa yang harus dikatakan Ratu Wilhelmina dalam pidato tentang kebijakan Kerajaan Belanda atas Hindia-Belanda pascaperang.
Soejono menegaskan apa pun yang diucapkan Ratu Wilhelmina tidak akan ada gunanya jika unsur terpentingnya, yaitu pengakuan hak kemerdekaan Indonesia, dihilangkan. Lambert Giebels, penulis biografi Soejono, menyebut menteri pribumi Indonesia ini sebagai Soejono ‘a Cassandra — nama putri Raja Troya yang meramalkan kejatuhan Troya tapi tidak dipercaya siapa pun.
Selanjutnya, Soejono menulis surat kepada rekan-rekannya. Isinya; tidak hanya sebagian politisi yang sangat radikal, tapi sebagian besar masyarakat Indonesia — massa yang tidak berpendidikan politik — hanya punya satu keinginan; menjadi tuan rumah sendiri.
Oleh karena itu, lanjut Soejono, Belanda harus melakukan tindakan yang sangat jauh untuk meyakinkan penduduk Indonesia agar menerima usulan Belanda. Soejono mengingatkan; desakan untuk kebebasan adalah bawaan di setiap negara.
Pada 13 dan 15 Oktober 1942, dewan menteri mengadakan dua pertemuan panjang. Pada pertemuan pertama, Van Mook mendapat dukungan atas usulan pengakuan kesetaraan Belanda dan Indonesia.
Namun ketika Soejono memperjuangkan pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri, menteri Jawa itu menghadapi delapan rekan yang mendukungnya menjadi meneri berbalik menjadi lawan. Hendrik van Boeijen, menteri dalam negeri, mengatakan rakyat Indonesia masih anak-anak secara politik. PM Gerbrandy menilai permohonan Soejono tidak tepat waktu.
Pada pertemuan kedua, Soejono sekali lagi menekankan tidak ada yang bisa dicapai di Hindia Belanda tanpa pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri. Ia mengutip paragrap kolonial dalam program Partai Sosial Demokrat (SDAP) yang mengakui hak kemerdekaan Indonesia tanpa syarat.
Dua anggota SDAP; Jan van den Tempel dan Willem Albarda — keduanya menteri sosial dan keuangan/pengelolaan air — hadir pada pertemuan itu. Albarda merespon Soejono dengan mengatakan pengakuan atas hak kemerdekaan Indonesia tidak berarti mewujudkan kemerdekaan itu. Belanda tetap penting bagi Hindia-Belanda, dan Van Mook akan mengerjakan dras teks-nya.
Kabinet mengadakan pembahasan akhir 22 Oktober. Mayoritas merasa keputusan nyata hanya dapat diambil setelah pendudukan Belanda atas Jerman berakhir dan Jepang hengkang dari Hindia-Belanda. Namun diputuskan bahwa ratu dapat mengatakan hal di bawah ini kepada Radio Oranye;
“Saya dipandu oleh kesadaran bahwa tidak ada persatuan dan solidaritas politik yang dapat bertahan dalam jangka panjang jika tidak didukung oleh penerimaan sukarela dan kesetiaan sebagian besar masyarakat. Saya tahu bahwa Belanda akan merasakan tanggung jawab yang lebih besar dari sebelumnya terhadap emansipasi bangsa Indonesia, dan saya yakin bahwa bangsa Indonesia akan menerima kemitraan yang perlahan-lahan tumbuh antara berbagai bangsa di kerajaan ini sebagai jaminan terbaik bagi kelestarian dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. pemenuhan kebebasan mereka.”
Soejono merespon pidato itu dengan menegaskan lagi pendiriannya bahsa Indonesia berhak menolak merger dengan Belanda. Jika kesempatan itu tidak diberikan, akan ada bahaya yang harus ditanggung Belanda.
Tidak ada yang mendukung Soejono. “Wajah menteri Jawa itu pucat pasi,” tulis De Jong. Van den Berge, penulis biografi Van Mook, menulis; “Jika ada kekecewaan, itu pasti Soejono ketika dia memahami tidak seorang pun yang ingin melihat kemerdekaan Indonesia dimasukan dalam pidato tanggal 7 Desember.”
Setelah Kematian Soejono
Soejono meninggal 5 Januari 1943 akibat serangan jantung. De Jong mengungkapkan kecurigaannya betapa Soejono tidak tahan untuk menyadari dirinya tidak dapat mencapai apa pun demi kepentingan Indonesia.
Yang menarik adalah De Jong mencatat Soejono sebenarnya dibujuk untuk meninggalkan Hindia-Belanda karena Van Mook dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer tidak ingin Soejono menjadi bagian penting perjuangan kemerdekaan RI yang digagas Soekarno.
Soejono dimakamkan di pemakaman Muslim di Woking, barat daya London. Pemerintah Kerajaan Belanda membiarkan posisi yang ditinggalkan Soejono kosong sampai perang berakhir.
Di akhir catatannya, De Jong menulis; Kalau dipikir-pikir, Soejono benar. Ya, Soejono benar. Belanda membayar mahal kengganan mengakui hak Indonesia untuk merdeka dengan perang dekolonisasi yang memalukan dan menyakitkan.
Perjuangan Soejono berakhir tragis, dan akan menjadi lebih tragis jika dia tahu Irawan Soejono, putranya, tewas terbunuh dalam pertempuran dengan Jerman di Leiden.
Irawan Soejono bersekolah di Universitas Leiden. Saat tentara Jerman datang, ia — bersama Perhimpoenan Mahasiswa Indonesia — memilih melakukan perlawanan. Ia mendistribusikan majalah ilegal De Bevrijding di Leiden, Den Haag, dan Rotterdam, dan menulis dengan nama samaran Henk van de Bevrijding.
Ia anggota Komando Mahasiswa Angkatan Bersenjata Dalam Negeri (BS), dengan kesatuan Indonesia di dalamnya. Pada 13 Januari 1945, sekitar pukul 16:00, Jerman menggrebek gudang barang cetakan. Irawan coba melarikan diri tapi peluru Jerman menghentikannya.
Tahun 1990, pemerintah kota Amsterdam mengabadikan Irawan Soejono sebagai nama jalan.