- Mobilisasi paksa menyasar etnis minoritas dan penduduk wilayah miskin.
- Akibatnya, muncul protes dan pelarian besar-besaran dari banyak republik.
JERNIH — Beberapa jam setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi parsial, sebuah keluarga di Republik Kalmyka berkumpul untuk memutuskan bagaimana melindungi seluruh dari mereka menghindari mobilisasi paksa.
“Kami yakin paman saya akan direkrut terlebih dahulu, dan dia memutuskan lari ke Kazakhstan,” kata pria termuda dalam keluarga itu kepada The Moscow Times. “Dia pergi keesokan pagi.”
Rapublik Kalmyka adalah wilayah Rusia dengan mayoritas penganut Buddha.
Pria itu, yang menolak menyebut nama, yakin keluarganya aman dari wajib militer. Ia milai membantu pria usia wajib militer menghindarkan diri menjadi umpan meriam dengan melarikan diri ke luar negeri.
Ternyata ayah pria itu menerima panggilan. “Saya tidak dapat meyakinkan ayah untuk pergi ke kantor wajib militer untuk mengucapkan selamat tinggal,” ujar pria aktivis itu di media sosial.
“Ayah saya berusia 47 tahun. Dia menghindari perang Chechnya, tapi tidak bisa menghindari perang kali ini,” katanya.
Etnis minoritas layak khawatir menjadi korban mobilisasi paksa. The Moscow Times memperlihatkan hampir sepekan mobilisasi parsial, jumlah terbesar yang direkrut berasal dari etnis minoritas di Rusia.
Republik Dagestan di Kaukasus Utara dan Republik Buryatia di Siberia adalah yang paling menderita kerugian besar. Di Makachkala, ibu Dagestan, ibu-ibu turun ke jalan memprotes mobilisasi paksa.
Menutu ibu-ibu di Makachkala, jumlah pria Dagestan yang tewas di Ukraina jauh lebih besar dari laki-laki Rusia. Tentara Rusia mengatakan wajib militer ini penting karena Rusia diserang. Ibu-ibu menjawab; “Bukan Rusia yang diserang, tapi Rusia menyerang dan memulai perang.”
Di Republik Buryatia, salah satu kawasan termiskin di Rusia, ribuan pria — termasuk tentara yang baru saja dipecat dan yang menolak dikirim ke Ukraina — menerima surat panggilan.
“Semua pemuda yang kami selamatkan kini mendapat panggilan,” kata Alexandra Garmazhapova, salah satu pendiri Yayasan Buryatia Bebas yang anti-perang.
Tanpa Angka Resmi
Tidak ada angka resmi jumlah pria yang dimobilisasi di setiap wilayah Rusia. Para aktivis menyodorkan angka, tapi tak bisa dikonfirmasi.
Di Bashkortostan, republik mayoritas Muslim yang kaya minyak, ayah empat anak berusia 40 tahun termasuk di antara mereka yang menerima surat panggilan.
“Saya tidak tahu jumlah pasti yang direkrut dari Bashkortostan,” kata Ruslan Gabbasov, aktivis oposisi. “Mereka mengirim surat panggilan ke mana saja.”
Di Krimea, wilayah yang dicaplok Rusia dari Ukraina tahun 2014, Tatar Krimea asli adalah yang sangat terpukul. “Delapan puluh persen dari rancangan makalah untuk mobilisasi di Krimea dikirim ke Tatar Krimea,” kata Osman Pashaev, aktivis dan jurnalis Tatar, di posting Facebook-nya.
Banyak aktivis mengatakan membolisasi lebih banyak etnis minoritas yang jauh dari Moskwa dan St Petersburg adalah cara Kremlin mengurangi dampak rancangan undang-undang di kota-kota besar.
Vladimir Putih tahu jika mobilisasi lebih banyak merekrut orang Rusia di kota-kota besar, perlawanan akan sangat tinggi. Jadi, minoritas di Rusia akan pihak paling menderita.