JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini mendapat kritikan sejumlah pihak. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) misalnya menilai isi RUU tersebut banyak hal yang sensitif, sehingga perlu kehati-hatian dan ketelitian dalam proses pembahasannya.
Wakil Ketua MPR RI, Jazilul Fawaid, menegaskan pihaknya sepakat dengan keputusan pemerintah untuk menunda atau menghentikan sementara pembahasan RUU HIP. Dimana proses sosialisasi RUU HIP kepada masyarakat dinilai keliru, apalagi di tengah kondisi pandemi COVID-19, hal itu bisa berbahaya.
“Kalau sosialisasinya salah, maka seperti membuka kotak pandora. Kalau dalam bahasanya PBNU, ini mengurai ikatan yang sudah kuat karena negara ini disebut darul mitsaq, negara kesepakatan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (19/6/2020).
Menurutnya, Pancasila merupakan “kalimatun sawa’” yaitu yang menyatukan keragaman etnis, ras, budaya dan agama, disebut juga “mitsaqon gholidzo” atau perjanjian yang agung. Oleh sebab itulah disebut dengan nilai-nilai dasar, karena tidak bisa diturunkan lagi menjadi undang-undang.
Ide penguatan Pancasila, lanjut Jazilul, tetap menjadi sesuatu yang penting, tetapi apakah dalam bentuk undang-undang atau melalui lembaga MPR dengan mengamandemen UUD dan memasukkan sesuatu yang sifatnya teknis.
“Ketika Presiden dilantik, Pimpinan MPR dilantik, itu tidak ada kata-kata setia pada Pancasila. Memang tidak ada di semua sumpah jabatan,” katanya.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian bagaimana membuat rumusan yang tepat dalam penguatan Pancasila. Sebab bukan perkara yang mudah merumuskan masalah tersebut. Apalagi dalam draf yang ada saat ini, berbagai kalangan menolaknya seperti ormas Islam bahkan purnawirawan TNI, karena tahu sisi kesejarahannya.
“Memang menurut saya, wacana ini dihentikan saja apalagi di tengah pandemi. Ketika situasi normal kembali, kita bisa membaca keadaan, silaturahim bisa jalan sehingga sosialisasi terhadap ide penguatan Pancasila ini kalau mau dibentuk dalam RUU itu bisa lebih jelas,” kata dia.
Ia menambahkan, yang berkembang di tengah masyarakat adalah muncul berbagai pertentangan yakni isu komunis mau bangkit lagi atau mau menjadi sekuler. Karena itu, dirinya mengaku sangat setuju adanya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), namun kalau harus dipayungi hukum, harus hati-hati ketika pembahasan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
MPR memiliki tugas yang salah satunya adalah penguatan pilar-pilar kebangsaan, karena itu sebelum lahirnya BPIP, ada Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yaitu merupakan badan yang dibentuk Presiden.
“Bersama MPR, UK-PIP ditingkatkan statusnya lewat Perpres sehingga lahir BPI, lalu sebagian anggota DPR menganggap perlu agar BPIP dibuatkan payung hukum tidak hanya dengan Kepres tetapi UU agar posisinya kuat. Kalau hanya dengan Kepres, nanti ganti presiden kepres dicabut hilang,” katanya.
Jazilul menjelaskan, Pancasila memang mengalami pasang surut dan dinamika, misalnya ketika menghadapi komunisme, lahir Pancasila, lahir juga Tap MPR Nomor II/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4).
Kemudian pada Era Reformasi, Tap MPR nomor II dicabut sehingga tidak ada lagi P4, setelah ada kegalauan, dunia masuk sistem global, ada kekhawatiran nasionalisme dan Pancasila digerus wacana-wacana global maka lahirlah BPIP.
“Ini semacam P4, ketika rumusannya berubah, judulnya berubah seperti sekarang, selain menyimpang dari tujuan awal penguatan kepada BPIP, filosofinya juga berubah. Karena itu wajar ada yang menafsirkan UU ateis, anti Tuhan, sekuler karena tidak menyebutkan dalam konsideran TAP MPRS soal larangan komunisme,” ujarnya. [Fan]