Site icon Jernih.co

Paus Fransiskus akan Kunjungi Kanada, First Nation Tuntut Permintaan Maaf

JERNIH — Paus Fransiskus menerima undangan untuk mengunjungi Kanada, untuk menghadapi seruan agar meminta maaf atas peran Gereja Katolik dalam skandal pelecehan, pemerkosaan, dan kekurangan gizi, yang berlangsung lebih seratus tahun.

Dalam pernyataan resmi yang dirilis Rabu 27 Oktober, Vatikan mengatakan para uskup Kanada secara resmi mengundangnya untuk berkunjung ke Kanada, yang akan menjadi proses rekonsiliasi dengan masyarakat adat.

Paus Fransiskus setuju, dan perjalanan akan dilakukan pada waktu yang ditentukan kemudian.

Skandal pelecehan seksual, perkosaan, dan kekurangan gizi, terjadi pada anak-anak masyarakat adat — UU Kanada menyebut mereka First Nation — selama lebih seratus tahun.

Kasus ini terungkap dengan temuan kerangka 215 anak di bekas Sekolah Asrama First Nation di Kamloops, British Columbia, sebelah barat Kanada.

Temuan di sekolah yang ditutup tahun 1978 itu membuka luka lama First Nation, dan memunculkan tuntutan baru agar Gereja Katolik bertanggung jawab.

Juni lalu, sebulan setelah temuan 215 kerangka di Kamloops, Paus Fransiskus mengatakan sedih dan menyerukan penghormatan terhadap hak dan budaya asli. Namun, Paus Fransiskus tidak meminta maaf, yang membuat masyarakat adat terus menuntutnya.

Para uskup Kanada mengakui pelanggaran berat di masa lalu, dan meminta maaf pada September 2020 lalu. PM Kanada Justin Trudeau juga meminta Paus Fransiskus mengunjungi Kanada dan meminta maaf secara langsung.

Sejak Mei 2021 ratusan pemakaman tak bertanda ditemukan di sejumlah sekolah asrama yang dikelola Gereja Katolik. Sekolah-sekolah itu dibangun untuk mengintegrasikan generasi masa depan First Nation dengan penduduk kulit putih.

Sekolah mulai beroperasi 1831 dan berakhir 1996. Gereja Katolik mengelola sekolah itu atas nama pemerintah.

Sebanyak 150 ribu anak-anak First Nation dari berbagai suku di Kanada dipisah dari keluarga. Mereka dikeluarkan dari rumah dan hidup di sekolah asrama.

Banyak dari mereka menjadi sasaran pelecehan, pemerkosaan, dan mati akibat kekurangan gizi. Komisi Kebenaran dan Rekonsialiasi yang dibentuk 2015 mengemukakan temuan itu, dan menyebutnya sebagai genosida budaya.

Exit mobile version