JAKARTA– Akhirnya Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara Andy Faisal harus melakukan konferensi pers seputar polemik Surat Edaran Gubernur Nomor 180/8883/2019, Sabtu 19 Oktober lalu. Hal itu terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan peringatan kepada Gubernur Sumut itu.
Dalam peringatan yang diberikan, KPK menegur Pemprov Sumatera Utara untuk tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mengganggu proses penegakan hukum. Dalam surat edaran yang dikeluarkannya, Pemprov Sumut menegaskan poin yang intinya meminta pejabat di Pemprov Sumut tidak memenuhi panggilan dari penyelidik/penyidik Polri, Kejaksaan atau KPK, tanpa izin Gubernur Edy Rahmayandi.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara, Fachruddin Siregar juga bereaksi keras atas terbitnya surat edaran itu. Ia mempertanyakan alasan Gubernur Sumatera Utara yang mengharuskan aparat sipil negara (ASN) meminta izin Gubernur terlebih dulu sebelum memberikan keterangan manakala diundang penyidik Polri dan sejenisnya. Fachruddin menilai kebijakan tersebut sebagai perbuatan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap para saksi dalam perkara korupsi.
Bahkan dalam surat yang dilayangkan kepada Pemprov Sumut, Kajari mengingatkan bahwa atas perbuatan tersebut seseorang diancam dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun, dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp 600 juta sebagaimana diatur Pasal 21 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam Surat Edaran Pemprov Sumut bernomor 180/8883/2019 yang ditandatangani Sekretaris Daerah Hj Sabrina, pada poin 1 berisi perintah melapor kepada Gubernur bila mendapat surat panggilan untu memberi keterangan pada penyidik.
“Apabila saudara menerima surat permintaan keterangan/surat panggilan dari penyelidik/ penyidik Kepolisian RI, Kejaksaan RI atau KPK RI, sebelum saudara memenuhi maksud surat tersebut agar melaporkan kepada Gubernur Sumatera Utara c.q. Kepala Biro Hukum Setdaprovsu,” tulis surat edaran tersebut.
Pada poin 2 tersebut bahkan ada larangan menghadiri permintaan keterangan tanpa izin Gubernur. “Tidak diperkenankan menghadiri permintaan keterangan/panggilan tanpa ijin dari Gubernur Sumatra Utarayang dibuktikan dengan Surat perintah Tugas dan ditanda tangani oleh Sekertaris Daerah Provinsi Sumatra Utara. Pelanggaran terhadap poin 1 dan 2 di atas akan diberikan sanksi.”
Menurut Kepala Biro Hukum Andy Faisal, surat tersebut tidak bermaksud menghalangi-halangi proses hukum. Pemprov Sumut, menurut dia, bahkan selalu siap mendukung aparat hukum dalam menegakkan hukum.
“Jadi sangat tidak benar jika ada anggapan bahwa dengan adanya surat tersebut Pemprov Sumut menghambat dan atau menghalangi proses penegakan (hukum). Kami justru mendukung setiap upaya penegakan hukum di daerah ini, terutama di internal Pemprov Sumut,” ujar Andy, tanpa memberikan alasan lebih lanjut.
Andy berkilah, surat tersebut justru bertujuan agar ASN melaporkan masalah hukum yang sedang ia dijalani. “Agar pimpinan mengetahui mana-mana ASN yang sedang menghadapi masalah hukum,”kata dia. Andy mengatakan, dasar dari surat edaran tersebut mengacu pada Peraturan Mendagri Nomor 12 Tahun 2014 tentang pedoman penanganan perkara di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah, serta bersifat internal untuk kalangan aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemprov Sumut. [tvl]