Site icon Jernih.co

Pengungsi Tolak Huni ‘Kamp Tertutup’ Buatan Uni Eropa di Yunani

Setiap orang menerima satu botol air dan dua kali makan sehari, di mana para pengungsi secara bergiliran mengantre hingga tiga jam.

JERNIH—Uni Eropa (EU) membangun “kamp tertutup” untuk para pengungsi di Samos, sebagai bagian dari strategi memperkuat perbatasan luarnya. Tapi penduduk lokal dan pengungsi yang akan ditempatkan di sana tidak menginginkan kamp itu.

Lokasi yang akan menjadi salah satu kamp baru Uni Eropa (UE) untuk para pengungsi ini dikelilingi oleh pagar kawat berduri setinggi enam meter. Cuaca di sekitar kamp itu panas dan dikelilingi jalan berkerikil. Lokasi kamp berada lebih lima kilometer dari Samos, kota utama di Pulau Samos.

Nantinya, penghuni dapat masuk ke lokasi kamp dengan mendekatkan microchip di ban lengannya ke gerbang otomatis. Pada malam hari, gerbang akan tetap terkunci.

Samos ditargetkan menjadi pulau Yunani pertama yang menjadi tuan rumah “kamp tertutup” pada akhir tahun 2020. Pengumuman itu disampaikan Menteri Migrasi Yunani, Notis Mitarachi, saat mengunjungi Samos pada akhir Agustus lalu.

Komisi Eropa telah mengucurkan hampir 130 juta Euro (Rp 2,2 triliun) kepada Yunani untuk membangun pusat penerimaan dan identifikasi multiguna, yang bertujuan memberikan standar akomodasi yang lebih tinggi daripada yang dimiliki kamp sebelumnya. Standard itu meliputi kabin portabel, air yang mengalir, area terpisah dan yang paling penting, keamanan yang lebih tinggi.

Konsep kamp tertutup itu merupakan bagian dari strategi baru UE untuk memperkuat kawasan di perbatasan luar. Kamp-kamp yang terlalu penuh telah menjadi masalah kronis sejak pengungsi secara besar-besaran mulai berdatangan ke Eropa sejak 2015.

Pada awal tahun, pulau-pulau Yunani di dekat perbatasan ke Turki menampung lebih dari 40.000 pencari suaka. Di kota Samos, jumlah pemohon suaka melebihi jumlah orang yang tinggal di sana secara permanen. Hampir 5.000 orang saat ini tinggal di kamp yang ada di pulau itu, meskipun awalnya dimaksudkan untuk menampung hanya 650 orang.

Warga membangun tenda yang terbuat dari kantong tidur, tongkat, dan terpal. Pipa air mencuat dari tanah. Pintu-pintu kabin toilet portabel terbentur oleh angin. Bahkan tercium bau tidak sedap dari pesingnya air seni.

‘Kirim kami kembali’

“Omar”, salah satu pengungsi yang tak ingin disebutkan namanya, sedang duduk di atas kursi palet, sambil minum teh bersama istri dan anak-anaknya di dekat tenda yang dihuni oleh delapan anggota keluarga sekaligus. “Di malam hari, suara tikus sangat keras sehingga mereka tidak bisa tidur,” kata Omar yang berusia 58 tahun merujuk pada keluarganya.

Setelah tujuh bulan menunggu sejak ia dan keluarganya datang dari Idlib, Suriah, Oman mengaku sudah merasa cukup. “Lebih baik mengirim kami kembali ke negara kami,” katanya. Ia menyatakan, lebih baik berada dalam bahaya dalam perang saudara daripada diberi perlindungan tak pasti di kamp tersebut.

Omar menyebutkan, para pengungi mengalami infeksi kulit dan kebanyakan orang tidak mandi. Setiap orang menerima satu botol air dan dua kali makan sehari, di mana para pengungsi secara bergiliran mengantre hingga tiga jam.

Mohammed, yang pernah belajar di universitas di Suriah, membagikan voucher makan untuk hari-hari berikutnya. Awalnya, setiap orang menerima sekitar € 90 (Rp 1,5 juta) per bulan untuk biaya makan. Tapi saat ini telah dikurangi menjadi € 75 (Rp 1,3 juta).

Menurut pengakuan Omar, ia mendengar bahwa pengurangan biaya makan itu dialihkan untuk perbaikan kondisi kehidupan secara umum. Tapi ia tidak merasakan perubahan itu. Sebaliknya: sejak pergerakan dibatasi, katanya, situasi menjadi semakin tegang. Dia mengatakan situasi sering memburuk pada malam hari, saat tidak ada listrik atau lampu.

Izin bagi LSM semakin sulit

Selama seminggu terakhir, termasuk baru-baru ini pada Minggu (20/09) malam, kebakaran terjadi di kamp. Masih belum jelas apa penyebab kebaran tersebut. Tapi politisi Yunani memperingatkan bahwa kebakaran yang diduga akibat protes pengungsi, seperti di kamp Moria di Lesbos, bisa terjadi lagi.

Nantinya, 2.100 pengungsi akan ditempatkan di kamp. Sebanyak 900 di antaranya ditempatkan area tertutup, sambil menunggu keputusan tentang nasib permohonan suaka mereka, menurut Jonathan Vigneron, koordinator proyek untuk Doctors Without Borders (MSF) di Samos.

“Ini hal yang sangat menakutkan untuk dilihat,” kata Vigneron. Dia juga menambahkan bahwa desakan dari organisasi internasional tentang apakah LSM seperti MSF akan diizinkan bekerja di kamp yang baru, belum ada kepastian.

Prosedur pendaftaran bagi LSM untuk mendapatkan akses hampir tidak mungkin, katanya. Dalam sebuah surat terbuka, 68 organisasi bantuan menulis bahwa kondisi di kamp dapat menciptakan “situasi yang mengkhawatirkan sehubungan dengan martabat manusia.”

Pengungsi mungkin mendapat standar akomodasi dan keamanan yang lebih baik di kamp tertutup, kata Vigneron, tetapi mereka tidak dapat melakukan apa pun dan tidak memiliki kebebasan bergerak. “Kamp itu berjarak 5 kilometer dari tempat mana pun,” kata Vigneron. “Ini bukan lagi marginalisasi orang: Ini adalah segregasi yang sesungguhnya,” kata dia. [Deutsche Welle]

Exit mobile version