Penyakit Lyme adalah cermin bagaimana hubungan manusia dengan alam tidak pernah sederhana. Seekor kutu kecil yang nyaris tak terlihat bisa menjadi perantara penderitaan berkepanjangan, bahkan perdebatan ilmiah yang belum selesai.
JERNIH – Sebelum wabah Covid-19 melanda dunia, Avril Lavigne pernah menderita penyakit Lyme. Penyanyi pop-rock asal Kanada ini sempat berhenti dari dunia musik karena Lyme. Ia bercerita bahwa selama dua tahun ia nyaris tidak bisa bangun dari tempat tidur. Album Head Above Water (2019) lahir dari pengalaman pribadinya melawan penyakit ini.
Pada 2020, Bieber mengungkapkan bahwa dirinya didiagnosis menderita Lyme disease, yang sempat membuatnya mengalami gejala fisik dan mental, termasuk kelelahan hebat.

Yolanda Hadid – Mantan model dan bintang reality show The Real Housewives of Beverly Hills. Ia sering membicarakan perjuangannya dengan Lyme kronis, yang juga dialami oleh anaknya, Gigi Hadid.
Lyme seakan begitu lekat dengan dunia jetset. Nyatanya tidak.
Menyebar dalam senyap
Dalam dunia kesehatan modern, penyakit menular sering kali dikaitkan dengan virus ganas atau epidemi global yang tiba-tiba. Namun, ada satu penyakit yang secara perlahan tapi pasti menjadi perhatian dunia—penyakit Lyme. Berbeda dengan wabah flu atau COVID-19 yang merebak dengan cepat, Lyme menyebar lewat cara yang jauh lebih senyap: gigitan seekor kutu kecil. Dari hutan-hutan di Eropa, taman nasional Amerika Serikat, hingga padang luas Eurasia, penyakit ini menimbulkan kisah panjang tentang interaksi manusia, lingkungan, dan mikroorganisme yang cerdas bertahan hidup.
Penyakit Lyme disebabkan oleh bakteri Borrelia burgdorferi sensu lato, yang ditularkan lewat kutu Ixodes. Hewan-hewan liar seperti rusa, tikus hutan, dan burung menjadi reservoir alami bakteri ini. Manusia sendiri hanyalah “inang kebetulan”.
Tetapi begitu spirochete ini masuk ke tubuh manusia, ia dapat menimbulkan perjalanan penyakit yang kompleks. Gejala awal bisa berupa ruam kemerahan khas berbentuk target, disebut erythema migrans. Pada tahap ini, infeksi sering tampak ringan, bahkan bisa diabaikan pasien. Namun tanpa pengobatan, bakteri dapat menjalar ke sendi, jantung, dan sistem saraf, menyebabkan gejala yang jauh lebih serius.
Penyebaran Lyme tidak bisa dilepaskan dari perubahan ekologi global. Perubahan iklim memperpanjang musim aktif kutu, memungkinkan mereka bertahan hidup di wilayah yang dulunya terlalu dingin. Akibatnya, peta sebaran Lyme pun melebar ke utara Eropa dan Kanada. Penggunaan lahan—seperti deforestasi dan urbanisasi—juga memperdekat manusia dengan habitat alami kutu.
Ironisnya, meningkatnya kesadaran masyarakat tentang gaya hidup “back to nature” dan aktivitas luar ruang malah menambah risiko. Dengan kata lain, gaya hidup modern dan krisis lingkungan justru membuka jalan bagi penyakit kuno ini untuk merambah lebih jauh.
Salah satu hal yang membuat Lyme begitu menarik sekaligus rumit adalah perdebatan tentang “kronisitasnya.” Setelah pengobatan antibiotik standar, sebagian pasien tetap mengeluh kelelahan, nyeri sendi, atau gangguan kognitif selama berbulan-bulan. Kondisi ini kemudian dikenal sebagai Post-Treatment Lyme Disease Syndrome (PTLDS). Di sinilah kontroversi muncul: apakah gejala itu akibat infeksi persisten yang tidak terbasmi, ataukah akibat respon imun tubuh yang berkepanjangan?
Bagi sebagian komunitas pasien, pengalaman hidup dengan gejala sisa ini terasa nyata, bahkan melumpuhkan. Namun bagi sebagian dokter, pemberian antibiotik jangka panjang di luar pedoman dianggap berisiko tanpa bukti manfaat jelas. Kontroversi ini tidak hanya medis, tetapi juga menyentuh sisi sosial, bahkan politik kesehatan publik.
Diagnosis yang penuh tantangan
Mendiagnosis Lyme bukanlah perkara mudah. Tes darah standar menggunakan metode dua tahap—ELISA dan Western blot—sering kali tidak akurat pada fase awal, karena tubuh belum sempat membentuk antibodi. Banyak pasien yang akhirnya tidak terdiagnosis, atau malah salah diagnosis dengan penyakit lain seperti fibromyalgia, multiple sclerosis, atau depresi. Kondisi ini menciptakan ruang abu-abu yang membuat pasien merasa “tidak didengar” sementara dokter berpegang pada keterbatasan ilmu.
Hingga kini belum ada vaksin Lyme yang tersedia secara luas. Satu vaksin pernah beredar di AS pada tahun 1990-an, tetapi ditarik dari pasaran akibat kontroversi dan rendahnya permintaan. Namun, penelitian vaksin generasi baru sedang berlangsung, membawa harapan bahwa suatu hari manusia tidak lagi sepenuhnya bergantung pada repelen serangga dan pemeriksaan tubuh setelah berjalan di hutan.
Selain itu, ilmuwan juga tengah mengembangkan tes diagnostik lebih cepat dan akurat, yang dapat mendeteksi Lyme bahkan sebelum antibodi terbentuk. Bila berhasil, pendekatan ini bisa mengubah cara kita mengenali dan mengobati penyakit sejak dini.
Bagi masyarakat Indonesia, penyakit Lyme mungkin terdengar jauh, karena vektor utamanya, Ixodes ricinus atau I. scapularis, tidak hidup di hutan tropis kita. Namun globalisasi dan mobilitas manusia membuat penyakit ini tetap relevan.
Seorang wisatawan Indonesia yang berkemah di hutan Eropa Timur, misalnya, bisa saja kembali dengan infeksi Lyme. Di era perjalanan internasional, penyakit tidak lagi mengenal batas geografis.(*)
BACA JUGA: Enam Penyakit yang Ditularkan Nyamuk dan Belum Ada Obatnya