Site icon Jernih.co

Perjalanan K-Pop: Dulu Dicemooh, Kini BTS Gagal Raih Grammy Award Ditangisi

JERNIH — BTS, sensasi global K-Pop, tampil di panggung Grammy Award tapi gagal membawa penghargaan bergengsi kategori Best Dua/Group Performance. Namun, itu tak menghentikan pelaku industri hiburan Korsel untuk kembali bermimpi menaklukan AS.

Industri hiburan Korsel adalah dunia para pemimpi, dengan masing-masing bersaing menaklukan pasar dunia. Mereka telah melewati masa-masal dicemooh dan dicibir di dalam negeri, sampai akhirnya menjadi penambang devisa untuk negara dari produk non-manufaktur.

Sejenak melihat ke belakang, generasi pertama K-Pop adalah mereka yang melewati tahun-tahun paling berat dalam karier mereka. H.O.T, salah satu generasi pertama K-Pop, belum lupa bagaimana mereka dicemooh, dicibir, dan menjadi sasaran pelecehan.

Grup terdiri dari lima anak muda itu membuat debut tahun 1996, setelah ditempa secara sistematis dan diinkubasi oleh perusahaan manajemen mereka. Mereka dilatih menari, menyanyi, serta tampil mencolok di depan publik.

Tujuannya, menyita perhatian publik dalam dan luar negeri. Khusus yang terakhir, H.O.T diharapkan menarik minat publik Korea di AS dan negara-negara lainnya.

Yang terjadi justru sebaliknya. Orang Korea di AS mengangkat alis, seraya mengatakan genre musik mereka tidak memiliki nilai seni dan kualitas. Ada yang menyebut H.O.T sebagai komoditas yang dibentuk pabrik.

Lee Jang-woo, profesor administrasi bisnis Universita Nasional Kyungpook, menolak pendapat itu. Sebagai orang yang mempelajari ekosistem K-Pop selama 20 tahun, dan penulis buku K-Pop Innovation, Prof Lee mengatakan; “Tidak tepat menjuluki bintang K-Pop sebagai komoditas hasil produksi masal hanya karena mereka dibuat perusahaan manajemen dengan cara tidak konvensional selama bertahun-tahun.”

Produser seperti Lee Soo-man (SM Entertainment) dan Bang Si-hyuk (Big Hit Entertainment) mengumpulkan kekuatan kreatif mereka untuk menampilkan band dengan citra, karakter, dan musk berbeda. Keduanya butuh lima tahun untuk meluncurkan sesuatu yang baru. Artinya, tidak ada produk massal dalam penciptaan ikon K-Pop.

Pengkritik K-Pop mengatakan intervensi perusahaan yang berlebihan akan menjadi pukulan bagi pertumbuhan industri musik Korea dan artisnya. Yang terjadi justru sebaliknya, K-Pop memenangkan hati banyak orang, dan orang menyukainya untuk satu alasan.

Berkat booming K-Pop, ekspor album musik dan video Korea Selatan mencapai titik tertinggi sepanjang tahun 2020. Rincinya, volume ekspor melonjak 94,9 persen menjadi 203 miliar won, atau Rp 2,4 triliun, sepanjang Januari sampai November 2020.

Inovasi

SM adalah penggerak pertama inovasi generasi kedua K-Pop. SM memulainya tahun 1980-an dengan meniru secara kreatif produk-produk hiburan negara-negara maju. Memasuki 1990-an, ketika Samsung Electronics mulai memproduk sendiri barang-barang mereka dan mampu bersaing di pasar global, SM optimistis bisa melakukannya di industri musik.

“Dalam kasus K-Pop, inovatornya bukan pemerintah tapi swasta,” kata Profesor Lee kepada Korea Times. “Idolisasi, monetisasi, dan glokalisasi, atau mengglobalkan budaya lokal, adalah kunci kesuksesan K-Pop.”

Ia juga mengatakan fokus perusahaan K-Pop bukan pada satu album, tapi pada artisnya. Jadi, setiap perusahaan mengembangkan sistem terorganisir untuk melatih calon penyanyi, membantu artis mengasah ketrampilan menari, dan lainnya.

Setelah grup membuat debut, manajemen mendorong setiap artisnya menempat karier akting untuk memperluas kehadiran mereka di bidang industri hiburan. Tujuannya, membuat setiap artis lebih bankable dan tahan lama.

Manajemen juga menggunakan platform media sosial dengan bijak, untuk menjangkau klalayak global dan menghasilkan beragam konten, seperti konser dan strategi pemasaran online. Sejak awal, K-Pop tidak dibentuk untuk pasar lokal, tapi internasional.

Pertanyaannya, apakah K-Pop masih akan menguasai pasar dalam beberapa tahun ke depan? Prof Lee tidak segera menjawab, tapi lebih suka menyoroti teknologi yang terlibat dalam industri.

“Saat ini produser K-Pp secara aktif bekerja dengan inovasi dan meluncurkan grup-grup baru yang berbeda,” kata Prof Lee. “WayV, misalnya, adalah grup K-Pop berisi orang-orang Cina. Tujuannya menemukan ceruk di pasar musik dunia.”

Jika mampu mengembangkan model bisnis baru dengan meamdukan teknologi canggih dan konten K-Pop, produser K-Pop saat ini mungkin dapat meraih lebih banyak peluang untuk memimpin industri hiburan global.

Pendekatan Baru

Contoh paling menarik dari pendekatan baru untuk grup baru adalah aespa, girl grup SM Entertainment. Debut aespa dibuat tahun 2020, dengan anggota memiliki avatar virtual, yang diklaim sebagai alter ego mereka.

“Kombinasi virtualitas dan realitas akan menjadi salah satu aspek paling dapat dibedakan di masa depan kita, dan aespa adalah contoh terbaik untuk semua itu,” kata Prof Lee. “Meski terlihat eksperimental, dalam beberapa hari ke depan akan ada lebih banyak aksi aespa.”

Tantangan K-Pop paling penting adalah mengatasi perbedaan budaya. Untuk yang satu ini, orang Korea harus belajar pada kasus Tzuyu, anggota grup multinasional TWICE yang berasal dari Taiwan. Tahun 2016 Tzuyu dikecam di Cina karena mengibarkan bendera Taiwan selama siaran online di Korea.

Orang Cina tersinggung, dan menyebut Tzuyu tidak menghormati kebijakan satu Cina, atau hanya ada satu negara Cina di dunia ini, tidak ada Hong Kong, apalagi Taiwan. Dengan kata lain, Hong Kong dan Taiwan adalah bagian dari Cina. Tzuyu dan Park Jin-young, pendiri agensi JYP Entertainment, mengeluarkan permintaan maaf.

“K-Pop yang semakin global dapat membuat negara berselisih,” kata Prof Lee. “Banyak pula bintang K-Pop yang memicu perdebatan di kalangan penggemar internasional akibat kurangnya pengetahuan tentang budaya.”

Jadi, menurut Prof Lee, jika ingin tetap memimpin pasar global setiap manajemen K-Pop harus lebih sadar tentang isu politik dan budaya dan punya pola pikir global. Pengetahuan itu juga harus dimiliki setiap artis generasi K-Pop berikut.

Exit mobile version