Site icon Jernih.co

Pesta Terakhir di Landhuis Tamboen

JERNIH — Dalam foto hitam putih di Soerabaijasch handelsblad edisi 6 Oktober 1941, Khouw Oen Kiam — tuan tanah (landheer) Tamboen dan pemegang saham mayoritas Maatschappij tot Exploitatie van Vastigheden Khouw Tjing Kie — berpose bersama anggota Keluarga Khouw di depan Landhuis Tamboen.

Semua berpakaian putih, kecuali perempuan. Ada semacam prasasti di depan mereka bertuliskan 1841-1941 yang dikelilingi karangan bunga nan indah. Di sebelah kanan terpasang gambar berfigura, kemungkinan lukisan diri Khouw Tian Sek — pemilik pertama Land Tamboen.

Foto serupa juga terpampang di sejumlah media terbitan Batavia. Foto-foto itu tampaknya dirilis Keluarga Khouw beberapa bulan setelah perayaan ulang tahun ke-100 Land Tamboen. Sebab ulang tahun Land Tamboen jatuh pada 28 Januari.

Bataviaasch nieuwsblad edisi 29 Sepetember 1941 menurunkan berita pendek yang menjelaskan perayaan 100 Tahun Land Tamboen. Semula, menurut koran itu, akan diadakan pesta besar. Rencana dibatalkan karena Hindia-Belanda berada dalam ancaman invasi Jepang.

Jadi, hanya ada pesta kecil yang dihadiri Keluarga Khouw dan sejumlah tokoh penting di kalangan masyarakat Tionghoa Batavia dan Bekasi. Namun acara tradisi tahunan penduduk setempat, yaitu Sedekah Boemi tetap digelar. OK Khouw — demikian Khouw Oen Kiam menuliskan namanya — juga menggelar acara lain, berupa pemberian sumbangan kepada Palang Merah Hindia Belanda.

Itulah peringatan ulang tahun terakhir Land Tamboen, dan tahun terakhir pula Keluarga Khouw menghuni Landhuis Tamboen. Tahun berikut, tepatnya 1 Maret 1942, Jepang mendarat di tiga tempat di Pulau Jawa; Teluk Banten dan Eretan Wetan di Jawa Barat, dan Kragan di Jawa Tengah. Tentara Jepang mengambil alih Landhuis Tamboen dan mengirim penghuninya ke kamp interniran.

Jepang menjadikan Landhuis Tamboen sebagai markas militer. Setelah Jepang hengkang, Komite Nasional Indonesia (KNI) Jawa Barat memfungsikannya sebagai kantor pemerintah Kabupaten Jatinegara. Tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), Landhuis Tamboen berubah nama menjadi Gedung Juang 45 Bekasi.

Landhuis Tamboen

Tidak sulit mencari tahu kapan Landhuis Tamboen dibangun. Di atas klokkestand, atau menara lonceng, terdapat tahun pembangunan yaitu 1906. Landhuis Tamboen dibangun setelah peringatan ulang tahun Land Tamboen ke-65. Khouw Tjeng Kie, pemilik kedua Land Tamboen, yang memprakarsai pembangunan ini.

Landhuis Tamboen mungkin satu-satunya rumah pedesaan tuan tanah yang dibangun pada abad ke-20. Ada yang mengatakan Landhuis Tamboen bergaya campuran Belanda-Cina. Menara lonceng di sisi halaman bangunan menegaskan identitas rumah itu sebagai landhuis. Namun, Oudheidkundig Verslag 1930 tidak mempertimbangkan Landhuis Tamboen — bersama Landhuis Antjolsche dan Telok Poetjoeng — memiliki nilai arkeologis.

Lebih menarik lagi, hanya ada satu bagian Landhuis Tamboen yang masuk daftar inventaris Oudheidkundig Verslag 1930, yaitu klokkestand. Cara mencatatnya; klokkestand (imitatie). Kata dalam kurung itu berarti imitasi atau tiruan. Jadi klokkestand itu tiruan, alias tidak didesain asli dan berbeda dengan klokkestand di landhuis lainnya.

Jadi, bagaimana kita menilai Landhuis Tamboen? Rumah pendesaan di tanah partikelir biasanya mewakili zaman. Landhuis yang dibangun sebelum abad ke-19, misalnya, cenderung bergaya oud-Hollandsche stijl, oud-Indische stijl, dan campuran keduanya. Selain ketiganya terdapat gaya Kaaps Hollandsche stijl, yang dibawa orang Belanda dari koloni mereka di Cape Town, Afrika Selatan.

Landhuis Tamboen tidak masuk ke dalam empat kelompok gaya arsitektur itu. Arsitek Landhuis Tamboen tampaknya hanya berupaya memenuhi selera sang pemilik, yaitu orang Tiongoa yang ingin menjadi Belanda. Atau orang Tionghoa yang mem-Belanda-kan diri.

Penjelasan atas semua ini bisa dibaca dalam biografi OG Khouw, landheer Bekasi yang musoleumnya di TPU Petamburan masih menjadi makam termahal di Indonesia. Kecenderungan Keluarga Khouw untuk ‘menjadi Belanda’ muncul saat memasuki abad ke-20, ketika Hindia Belanda menerapkan politik segregasi etnis.

Segregasi etnis membagi penduduk Hindia-Belanda menjadi tiga. Pertama, Belanda dan kulit putih non-Belanda. Kedua, vreemde oosterlingen atau golongan Timur asing, yaitu Tionghoa, Arab, dan Jepang. Ketiga, inlander atau pribumi.

Kencenderungan itu terlihat pada nama-nama Keluarga Khouw yang menempatkan marga di belakang, bukan di depan. Khouw Oen Giok menjadi O.G. Khouw. Khouw Oen Kiam menjadi O.K. Khouw, dan seterusnya. Mereka memotong taucang atau rambut kuncir panjang Cina, menanggalkan pakaian tradisional Cina, dan mengenakan pakaian Barat.

Mereka mendapatkan pendidikan dari guru-guru Eropa. Setelah pemerintah Hindia-Belanda mendirikan Hollandsche Chineesch School (HCS) dengan Bahasa Belanda sebagai pengantar, mereka memasukan anak-anak mereka ke sekolah itu. Hanya sebagian kecil yang bersekolah di Pahoa, atau sekolah Tionghoa yang didirikan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK).

Semua itu dilakukan agar mereka diberi status Belanda atau kulit putih, dan menjadi warga negara kelas satu. Menariknya, dari sekian banyak anggota Keluarga Khouw memperjuangkannya, hanya O.G.Khouw yang mendapatkan status kewargaan Belanda. Di sisi lain, patron mereka yaitu majoor der chineezen Batavia Khouw Kim An tetap mempertahan identitas ke-Tionghoa-an.

Jadi, cukuplah kita mengenang Landhuis Tamboen sebagai istana tuan tanah yang kini menjadi Gedung Juang 45 Bekasi.

Land Tamboen

Land Tamboen relatif beruntung bisa memperingati ulang tahun ke-100. Tahun 1930, seperti diberitakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 11 Juli, Land Tamboen masuk ke dalam rencana pembelian kembali oleh pemerintah Propinsi Jawa Barat. Rincinya, Land Tamboen akan dibeli kembali tahun 1931.

Rencana itu tak pernah terwujud. Penyebabnya, selain kas pemerintah Hindia-Belanda yang terbatas, perundingan pembelian kembali Land Tamboen bukan perkara mudah. Land Tamboen membentang seluas 13 ribu bouw, atau 9.225 hektar, alias tak berkurang sejak Khouw Tian Sek membelinya tahun 1841.

Land Tamboen sedemikian subur, yang membuat pemiliknya mengeruk keuntungan dari tanaman pangan dan industri hampir setiap tahun. Dari 13 ribu bouw lahan Tamboen, 10 ribu bouw (7097 hektar) adalah sawah, 1.000 bouw (709 hektar) perkebunan karet, dan 2.000 bouw (1.419 hektar) berupa kebun dan rumah-rumah penduduk.

Regeering-Almanak voor Nederlandsch Indie 1920 mencatat Land Tamboen dihuni 33 ribu jiwa. Sayangnya tidak ada data jumlah kampung atau desa, serta komposisi etnis. Bevolkingstatistiek van Java 1867 belum mencatat Tamboen. Sedangkan pencatatan penduduk tahun-tahun berikut, sampai tahun 1880-an, dilakukan tuan tanah. Tidak sedikit tuan tanah yang enggan melaporkan populasi di tanah parikelirnya.

Bataviaasch nieuwsblad edisi 29 September 1941 melaporkan pada tahun ke-100, Land Tamboen menghasilkan 60.000 kuintal beras. Tamboen menjadi lumbung padi bagi Batavia. Tidak ada catatan berapa penghasilan dari kebun karet Tamboen saat itu, dan tanaman-tanaman industri skala kecil lainnya.

Land Tamboen adalah tanah partikelir terakhir Keluarga Khouw yang bertahan sampai Belanda angkat kaki dari tanah jajahannya. Itulah yang membuat perayaan 100 tahun Land Tamboen di Landhuis Tamboen menjadi sejarah.

Exit mobile version