- Pribumi tak bersepatu adalah pilihan politik. Pribumi bersepatu juga akibat kebijakan politik.
- Pribumi bebas mengenakan sepatu, tanpa instruksi dari pemerintah, adalah hasil perjuangan politik.
JERNIH — Sejak kapan orang pribumi Indonesia kenal sepatu? Sejak kedatangan Portugis pada dekade kedua abad ke-16. Namun, mengapa orang pribumi mulai pakai sepatu pada paruh kedua abad ke-20? Karena Belanda menerapkan Politik Etis di Hindia-Belanda.
Bukti pertama pribumi kenal sepatu diungkap F de Haan dalam Oud Batavia edisi pertama yang diterbitkan Batavia: G.Kolff & Co tahun 1922. Di halaman 512 buku itu, De Haan bercerita tentang pribumi Maluku, Ternate dan Tidore, yang dengan kesadaran penuh menjadi ‘Portugis’.
Mereka mantan budak Portugis yang dimerdekakan tuannya. Mereka disebut mardijker, kata yang berasal dari Bahasa Sansekerta yang sering diartikan sebagai merdeka.
Mereka beragama Kristen, yang membuat mereka seolah bebas mengenakan semua yang dipakai orang Portugis. Mereka mengenakan celana nyamuk, celana panjang dan lebar, baju dengan semua aksesoris, plus topi yang ditiru dari orang-orang Portugis.
Mardijker ngoceh dalam Bahasa Portugis dialek sendiri, yang kemudian dikenal sebagai Creole. Namun ada satu yang tak ditiru mardijker dari Portugis, yaitu sepatu. Mardijker tidak mengenakan sepatu dalam keadaan apa pun dan di mana pun.
Di Batavia, Augustijn Michielsz — populer dengan sebutan Mayor Yantji (Jantje – red) — sedemikian kaya. Ia pemilik tanah partikelir Klapanunggal dengan ‘Gunung Burung’ — sebutan orang Belanda untuk perbukitan kapur dengan lubang-lubang burung walet — di atasnya. Ia mengenakan semua kemewahan gaya Portugis, tapi tak pernah pakai sepatu.
Mayor Jantje hanya satu dari sekian mardijker yang menjalani kehidupan seperti itu. Lainnya, dengan status pedagang sukses dan pemilik banyak properti, juga tak mengenakan sepatu saat keluar rumah.
Jean Gelman Taylor, mengutip catatan perjalanan pelancong Jacob Haafner pada abad ke-18, menulis apa yang dilakukan mardijker adalah keputusan politik untuk menjaga identitas. Sepatu, menurut Taylor, menjadi pembeda mardijker dengan orang Portugis sebagai mantan tuan.
Sepanjang abad ke-16 sampai 18, VOC dan pemerintah Hindia-Belanda mengkategorikan mardijker sebagai Portugis. Awal abad ke-19, pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan mardijker dari kategori Portugis dan memberinya status pribumi. Kalau pun ada yang membedakan, mungkin pada agama. Maka, mardijker sering disebut pribumi Kristen.
Pilihan mardijker untuk tak bersepatu, karena ingin membedakan diri dengan mantan tuan Portugis, disebut-sebut sebagai alasan pemerintah Hindia-Belanda menjebloskan mereka ke kategori pribumi. Sebab, saat itu, hanya ada dua kelompok masyarakat tak bersepatu; pribumi dan mardijker.
Orang Arab dan Tionghoa, meski tak bersepatu, mengenakan selop — alas kaki dengan penutup di bagian depan. Kaum bangsawan Jawa juga mengenakan selop.
Dampak serius dari kebijakan ini adalah kata mardijker perlahan-lahan hilang. Mardijker perlahan tapi pasti sepenuhnya berintegrasi ke dalam masyarakat pribumi, seperti yang terlihat dalam kasus De Papanger — komunitas asal Filipina yang turun temurun menjaga balai kota Batavia — dan menjadi Muslim.
Politik Etis, Sepatu, dan Panjat Sosial
Desember 1901 Belanda mengumumkan pemberlakukan Politik Etis di Hindia Belanda. Dalam politik etis terdapat gelijkstelling, yaitu kebijakan penyetaraan kewarganegaraan atau strata sosial dengan Eropa, yang memungkinkan etnis-etnis lain mendapatkan privilese yang sama dengan Eropa. Syaratnya, mengikuti kehidupan dan mendapatkan pendidikan Barat.
Tentu saja, perubahan tidak terjadi serta-merta tapi perlahan. G. Kolff & Co, dalam Inlandsch Hoofd Preanger, menulis hanya sedikit pribumi yang mengenakan sepatu pada dekade pertama politik etis. Yang sedikit itu adalah golongan atas pribumi; terutama keluarga penguasa daerah.
Bangsawan, yang sebelum politik etis mengenakan selop menyerupai jutti dan balgha — yang berasal dari Asia Selatan dan Timur Tengah — tiba-tiba pakai sepatu. Kelas menengah pribumi non-bangsawan ikutan pakai sepatu sebagai upaya panjat sosial. Mereka menjadikan sepatu sebagai ‘tiket’ untuk mendapatkan status sosial di masyarakat pribumi.
Sepatu, menurut Henk Schulte Nordholt dalam The State on the Skin: Clothes, Shoes, and Neatness in (Colonial) Indonesia, digunakan sebagai simbol kedekatan seseorang dengan orang-orang Belanda dan pemukim Belanda non-Eropa.
Dalam bahasa yang lain, sepatu menjadikan penggunanya memiliki status sosial, bagian dari komunitas superior yang muncul di Batavia pada paruh pertama abad ke-20. Sepatu menjadikan penggunanya seolah mendapatkan hak-haknya dalam tatanan masyarakat. Dalam situasi itu muncul istilah Like all God’s children got shoes, got structure”.
Menggunakn teori politik keseharian, atau politics of everyday life, diperoleh penjelasan bahwa kebiasaan bersepatu di kalangan pribumi adalah sesuatu yang dipraktikan dari atas dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam foto perpisahan, Mas Atma Djoemena — archivaris-expediteur di kantor Adviseur voor Inlandsche Zaken atau Urusan Pribumi — terlihat berdiri tegap, berseragam putih, dan mengenakan sepatu cokelat gelap mengkilap. Sedangkan pribumi rendahan terlihat duduk, berseragam dan bertelajang kaki.
Dalam foto pelantikan regen Batavia 1924, Pangeran Adipati Ario Achmad Djajadiningrat — bersema sekretarisnya yang orang Eropa — keluar ruangan mengenakan sepatu, sedangkan bawahan yang menyambut tidak mengenakan sepatu.
Di sekolah-sekolah Belanda yang dimasuki pribumi, yaitu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), ada kewajiban mengenakan sepatu. Mereka yang tak mengenakan sepatu akan dibuli oleh gurunya dengan sebutan a nice flag on muddy barge.
Sedangkan di Hogere Burger School (HBS), sekolah untuk kulit putih Belanda, siswa tidak secara eksplisit wajib bersepatu, namun — karena status sosial muridnya sedemikian tinggi — pakai sepatu telah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Di sekolah khusus pribumi, misal di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), tidak ada keharusan mengenakan sepatu. Dalam banyak foto, murid STOVIA di Batavia mengenakan sandal, dan berpakaian adat dari setiap daerah.
Jadi, dari sudut pandang yang lain, sepatu bisa saja bukan merupakan upaya panjat sosial bagi pribumi. Sebab, ada aturan yang mengharuskan dan tidak mengharuskan. Artinya, bersepatu atau tidak bagi pegawai Hindia Belanda itu perintah dari atas.
Perjuangan Untuk Bersepatu
Pada 25 Mei 1913, saat peringatan ulang tahun ke-5 Boedi Oetomo, aktivis Soemarsono mengisi kuliah umum dengan tema menarik, yaitu perlunya dimulai perjuangan menuntut hak bersepatu bagi pribumi. Menurutnya, pribumi harus memperjuangkan kesetaraan dengan bangsa-bangsa di Hindia Belanda. Salah satunya, menuntut hak bersepatu.
Perubahan penampilan, menurut Soemarsono, adalah keharusan bagi pribumi dan merupakan sebuah cara mengubah mentalitas rendah diri dan selalu tertindas dalam hirarki sosial.
Pidato Soemarsono tersebar dengan cepat dalam artikel di surat kabar Doenia Bergerak. Soemarsono tidak hanya menuntut hak bersepatu, tapi mengenakan pakaian Barat seperti celana dan duduk di kursi. Pribumi punya hak duduk di kursi, bukan ngedeprok di lantai seperti dalam budaya tradisional.
Terjadi pro-kontra. Kalangan tua mendukung gagasan Soemarsono tapi dengan catatan. Yaitu, modernisasi berpakaian tidak boleh meninggalkan yang tradisional. Artinya, ada kombinasi antara pakaian tradisional dan modern.
Menariknya, kalangan muda menentang gagasan ini. Menurut generasi muda berpendidikan Barat, semua aturan berpakaian yang diterapkan pemerintah Hindia-Belanda harus dipertahankan sebagai bentuk penindasan kaum terjajah. Di sisi lain, generasi muda berpendidikan Barat menuntut pelepasan sepenuhnya budaya tradisional demi membentuk identitas nasional yang lebih egaliter.
Respon orang Eropa juga terbagi dua. Mayoritas, seperti pers Eropa dan pejabat Belanda, merespon usulan itu dengan ketakutan. Mereka mengaitkannya dengan komunisme, yang suka melakukan pemberontakan. Lebih dari itu, penghapusan bentuk tradisional akan menghasilkan siklus pemberontakan antikolonial.
Kelompok minoritas kulit putih, diwakili pejabat tinggi Hindia-Belanda, lebih suka mengikuti saran Christian Snouck Hurgronje — orientalis dan pakar Islam pribumi. Menurut Hurgronje, tuntutan itu wajar di setiap budaya yang mengikuti perkembangan zaman.
Jadi, Hurgronje — seperti juga pejabat tinggi pemerintah Hindia-Belanda — setuju mengizinkan pribumi berpakaian ala Eropa; mengenakan celana dan sepatu, pada acara penting. Syaratnya, tidak melakukan semua itu untuk menghindari hukum dan menyebabkan kerugian.
Akhirnya, pribumi pakai sepatu. Ambtenaar pribumi mengenakan sepatu tanpa menunggu instruksi atasan. Mereka menyejajarkan diri dengan elite pribumi yang lebih dulu mengenakan sepatu. Di jalan-jalan Batavia, hanya penduduk miskin dari desa-desa sekitar yang masih belum bersepatu.
Batavia dan kota-kota besar di Pulau Jawa kebanjiran sepatu dari luar dan dalam negeri. Sentra sepatu di Solo dan Semarang, yang muncul sejak 1904, meningkatkan produksinya untuk dipasarkan di Batavia. Pada dekade pertama sejak pidato Soemarsono, dan pemerintah menyetujui pribumi pakai sepatu, muncul pengrajin sepatu di Cimahi, Pekalongan, Bandung, Yogyakarta, dan Padang.
Bersamaan dengan itu terjadi sepatunisasi di kalangan militer dan polisi. Prajurit KNIL dan marsose tidak lagi bertelanjang kaki. Polisi yang berpatroli di kampung-kampung mengenakan sepatu khusus yang dibuat tahanan di penjara Cipinang.
Namun, setelah hampir 30 tahun terjadi sepatunisasi di kalangan pribumi, industri sepatu — pembuatan sepatu secara massal dengan pekerja mencapai ribuan — belum muncul. Penyebabnya, pemerintah Hindia-Belanda harus melindungi kelangsungan industri sepatu lokal sebelum investasi asing yang mendirikan pabrik sepatu berdiri.
Semua pertimbangan itu berakhir ketika Hindia Belanda memberi izin pembangunan pabrik sepatu Bata di tanah partikelir Kali Bata.