- Prajurit Taliban yang masih muda kembali ke sekolah karena keinginan sendiri atau didorong komandan mereka.
- Mereka belajar ilmu-ilmu terapan sesuai minat untuk mengejar ketinggalan.
JERNIH — Perang telah usai dan Taliban kini mati-matian membangun Afghanistan dan mengejar ketinggalan. Kesadaran itu diperlihatkan seluruh prajurit muda Taliban.
Gul Agha Jalali salah satunya. Dulu, dia adalah penanam bom di sudut-sudut Kabul. Ia mengendap-endap di kegelapan malam, menanam bom, dengan harapan membunuh tentara Afghanistan atau prajurit asing.
Kini, Agha Jalali tak lagi menenteng AK-47 dan membawa bom di tengah malam. Ia sibuk belajar Bahasa Inggris dan baru saja menyeleasikan kursus komputer.
Ratusan rekan Agha Jalali didorong kembali ke sekolah, baik oleh kemauan sendiri atau atas instruksi komandan masing-masing. Mereka memang bukan tentara, tapi Taliban.
Taliban adalah kata dalam Bahasa Arab yang berarti siswa, mahasiswa, atau santri. Kata ini tidak merujuk khusus kepada orang yang belajar agama, tapi juga ilmu-ilmu lain, meski gerakan Taliban berasal dari sekolah-sekolah madrasah Afghanistan tahun 1990-an.
Sebagian besar Taliban berlajar agama, terbatas pada kajian Al-Quran dan buku-buku tafsir dan fiqih. Banyak ulama konservatif skeptis terhadap pendidikan modern, selain pejalaran praktis dan terapan.
Agha Jalali adalah generasi Taliban yang tak berhenti belajar meski tidak secara formal. Ia yakin Afghanistan membutuhkan teknologi dan pengembangan.
Mengejar Ketinggalan
Bilal Karimi, juru bicara pemerintah Taliban, Agha Jalali adalah gmabaran warga Afghanistan yang mendambakan pendidikan. “Banuak mujahidin yang belum menyelesaikan pendidikan kini mengejar ketinggalan dengan mengikuti kursus yang mereka inginkan,” kata Karimi.
Namun, pendidikan di Afghanistan bermasalah. Pemerintah Afghanistan melarang wanita bersekolah, dan tidak ada indikasi Taliban akan mengubah kebijakannya.
Studi tentang musik dan seni ditiadakan. Sekolah dan universitas kekurangan tenaga pengajar karena eksodus besar-besaran setelah AS angkat kaki dari Kabul.
Namun, ada sesuatu tak biasa ketika prajurit Taliban kembali menjadi Taliban dalam artis sebenarnya.
Institut Muslim Kabul memiliki 3.000 mahasiwa. Setengah dari mereka adalah wanita, dan 300 lainnya adalah prajurit Taliban dengan janggut lebat dan sorban.
Saat mengikuti tur ke Institut Muslim Kabul, reporter AFP menemukan sesuatu yang menarik; prajurit Taliban mengambil pistol dari ruang ganti setelah mengikuti pelajaran. Pemandan tak biasa.
“Ketika mereka tiba, mereka menyerahkan senjata mereka,” kata seorang pejabat sekolah. “Mereka tidak menggunakan kekuatan atau memanfaatkan posisi mereka.”
Amanullah Mubariz berusia 18 tahun ketika bergabung dengan Taliban. Ia kini berusia 25 tahun, dan mencoba melanjutkan pendidikannya.
“Saya melamar ke sebuah universitas di India, tapi gagal tes Bahasa Inggris,” kata Mubariz. “Kini saya mendaftar di Institut Muslim Kabul.”
Mohammad Sabir adalah mahasiswa Universitas Dewas, dan bertugas sebagai intelejen Taliban. Kini, dia melanjutkan studi setelah AS angkat kaki dari Kabul.
Seperti Agha Jalali, Sabir bertugas menanam bom dan menyergap tentara Afghanistan di Propinsi Wardak. Kini keduanya ingin membantu membangun Afghanistan.
Yang menarik adalah mereka sependapat bahwa perempuan memiliki hak sama mendapatkan pendidikan. “Perempuan juga bisa melayani negara,” kata Mubariz. “Negara membutuhkan perempuan sebanyak mereka membutuhkan kita.”