“Teknologi siber sangat menentukan dalam strategi peperangan masa kini,” ujar Prof Widya, seraya mencontohkan pemberitaan adanya keterlibatan hacker Rusia dalam perang yang tengah terjadi antara Israel dengan kelompok militer Palestina, Hamas. Kelompok hacker Rusia disebutkan membantu Hamas memantau warga sipil dan petinggi militer Israel. Sementara sebaliknya, Israel juga melancarkan serangan terhadap Hamas dan institusi lain yang memiliki afiliasi dengannya.
JERNIH–Dimensi keamanan global terus mengalami dinamika dan perluasan yang signifikan, yang karena hal itu setiap negara, tidak terkecuali Indonesia, perlu memberikan respons yang tepat dalam menghadapi berbagai potensi ancaman baru. Yang paliung utama dari hal itu adalah ekses perkembangan teknologi digital.
Untuk itu, negara dan berbagai institusi keamanan, dalam hal ini TNI, Polri, maupun lembaga-lembaga lainnya sangatlah perlu memikirkan penyusunan model baru strategi keamanan negara. Berkaitan dengan tujuan keamanan tersebut, penggunaan teknologi serta pelibatan elemen sipil, sebagai individu maupun lembaga yang memiliki kompetensi sesuai tujuan, adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan.
Pandangan tersebut merupalan bagian dari banyak hal penting yang disampaikan Prof. Raden Widya Setiabudi Sumadinata, dalam orasi ilmiah penerimaan jabatan Guru Besar bidang Keamanan Global pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran, di Graha Sanusi Hardjadinata, Unpad, Jalan Dipati Ukur, Bandung, Selasa (24/10). Pandangan itu terangkum dalam orasi ilmiah Prof. Widya, bertajuk “Perluasan Dimensi Keamanan Global: Keharusan Revisi Strategi Pertahanan Negara.”
Prof. Widya Sumadinata, dekan FISIP Unpad yang tengah menjalani amanah periode kedua, dalam bagian awal orasi ilmiahnya memaparkan perkembangan pemikiran terkait studi keamanan di seluruh dunia. International security atau keamanan internasional yang mengandaikan bahwa potensi ancaman yang dihadapi setiap negara berasal dari negara lain telah berkembang menjadi global security atau keamanan global.
Perkembangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa potensi ancaman tidak hanya berasal dari aktor negara (state-actors), melainkan juga dari aktor non negara (non state-actors).
Dia mencontohkan peristiwa serangan terhadap World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001 silam, misalnya, memperlihatkan betapa kelompok teroris yang merupakan aktor non-negara menjadi ancaman yang nyata juga. Begitu juga dengan aksi kelompok hacker yang belakangan kerap menjadi tema utama pemberitaan media.
Dengan kata lain, kata Prof. Widya, telah terjadi pergesaran yang sangat signifikan dari pemahaman keamanan tradisional menjadi pemahaman keamanan non-tradisional.
Dalam kaitannya dengan perkembangan baru ini, Prof. Widya Sumadinata mengutip pakar studi keamanan dari kelompok pemikiran Conpahagen School, Barry Buzan, yang mengatakan bahwa ada lima hal yang mempengaruhi perkembangan studi keamanan itu.
Barry Buzan, saat ini profesor Emeritus Hubungan Internasional di London School of Economics, Inggris, adalah pengembang Teori Kompleks Keamanan Regional (RSCT), yang dikemukakan dalam karya di tahun 2003, “Regions and Powers: The Structure of International Security”. Buzan –dan Wæver– mungkin paling dikenal sebagai tokoh kunci di balik studi keamanan Copenhagen School yang berpengaruh, yang prinsip utamanya adalah mengkaji keamanan sebagai konstruksi sosial (lihat juga sekuritisasi dan konstruktivisme).
Kelima hal yang ditelaah Buzan tersebut adalah great power politics, technology, event, institutionalization, dan academic debate.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, dunia tengah menyaksikan dan mengalami perkembangan teknologi siber yang luar biasa yang pada gilirannya ikut andil dalam ketegangan di arena politik global.
“Teknologi siber sangat menentukan dalam strategi peperangan masa kini,” ujar Prof Widya, seraya mencontohkan pemberitaan adanya keterlibatan hacker Rusia dalam perang yang tengah terjadi antara Israel dengan kelompok militer Palestina, Hamas. Kelompok hacker Rusia disebutkan membantu Hamas memantau warga sipil dan petinggi militer Israel. Sementara sebaliknya, Israel juga melancarkan serangan terhadap Hamas dan institusi lain yang memiliki afiliasi dengannya.
Prof. Widya Sumadinata mengutip laporan Amnesty International yang melaporkan penggunaan teknologi oleh Israel yang diberi nama Red Wolf yang memiliki kemampuan untuk memindai dan menandai warga Palestina yang mellintasi perbatasan.
Perkembangan tenologi siber lainnya juga telah diaplikasikan pada apa yang disebut sebagai deep fake, di mana suara dan gambar dapat direkayasa sehingga tampak seperti sungguhan. “Bisa dibayangkan bagaimana jika teknologi ini disalahgunakan untuk menyebarkan berita bohong, fitnah, mengadu domba. Dalam kultur masyarakat kita yang haus berita, sementara literasi informasi kurang, teknologi deep fake akan sangat mudah dianggap sebagai sebuah realita objektif atau sebuah kebenaran,”urainya, sambil menambahkan bahwa deep fake juga sangat potensial mengancam demokrasi.
Secara khusus, Prof. Widya menggarisbawahi gagasan yang baru-baru ini disampaikan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto, tentang pembentukan matra keempat dalam tubuh TNI yang disebut sebagai “angkatan siber”. Usul ini merujuk pada praktik yang dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Singapura, dan Republik Rakyat China.
Prof. Widya Sumadinata mengatakan, melihat perkembangan teknologi siber yang sudah sedemikian rupa, dirinya sependapat dengan gagasan itu.
Namun dia memberikan catatan bahwa sejumlah hal patut untuk dipertimbangkan dalam pembentukan lembaga tersebut. Misalnya, apakah di bawah TNI atau di bawah institusi sipil? Yang juga perlu dipikirkan dengan matang mengenai keterkaitan lembaga yang diusulkan itu dengan lembaga lain yang memiliki ide agak serupa, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). [ ]