Site icon Jernih.co

Proses Pilkada Langsung Perlu Dibenahi, Bukan Sistem

JAKARTA – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan secara langsung butuh pembenahan. Sebab, menimbulkan beberapa masalah, seperti gesekan (konflik) akar rumput, perpecahan, hingga perang antarsuku dan antarkampung. Selain itu, juga menggunakan anggaran cukup gemuk.

Akan tetapi dalam perbaikan itu, eks Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, menilai bukan sistem yang harus dibenahi melainkan proses Pilkada tersebut. Sehingga pada sisi keuangan misalnya, dapat ditekan.

“Supaya biaya tak terlalu ekstra, untuk kampanye dan lainnya harus dibenahi, bukan pada sistemnya,” ujarnya di Jakarta, Minggu (24/11/2019).

Menurutnya, sudah sewajarnya negara atau daerah mengeluarkan biaya penyelenggaran dalam proses pemilihan. Akan tetapi, jika alasan pemilu langsung adalah biaya yang terbilang mahal, maka harus ada pembatasan terutama anggaran yang dikeluarkan.

“Yang terpenting bagaimana pengawasan dan penegakkan hukumnya sehingga pengeluaran dari calon itu hanya yang betul-betul dibutuhkan, bukan untuk membeli suara,” katanya.

Penyelenggara Pilkada yakni KPU dan Bawaslu, juga bisa membantu para kandidat untuk membuatkan iklan di media. Bahkan jika perlu, membuat sistem teknologi informasi yang akurat untuk penghitungan suara. Sehingga para calon tak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk para saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

“Hasil dokumen digital itu bisa digunakan atau diajukan pada sengketa nantinya,” kata Hadar.

Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), beberapa waktu lalu, menjelaskan dampak Pilkada langsung ratusan pasangan suami istri bercerai. Selain itu, tak jarang orang tua dan anak turut berselisih akibat perbedaan pilihan.

“Data terakhir itu ada 826 pasutri bercerai gara-gara beda pilihan,” ujarnya.

Menurutnya, sistem demokrasi Indonesia saat ini menjadi terjebak dengan angka-angka. Sehingga mereka yang duduk di kursi legislatif bukan lagi membawa aspirasi rakyat, tetapi bermain dengan angka-angka. Begitu juga dengan kepala daerah, karena cost politik yang terbilang tinggi.

“Sehingga anggota DPR, DPRD dan kepala daerah akan berpikir bagaimana uang kampanye balik lagi,” kata dia.

Oleh karena itu, pihaknya kini mengevaluasi Pilkada langsung dan menyarankan melalui legislatif. Jika hasil evaluasi tersebut lebih banyak mudaratnya, maka perlu dievaluasi secara serius melalui Undang-Undang Pemilu.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian juga mempersoalkan Pilkada langsung tersebut. Sebab ia menilai, lebih banyak mudarat yang tak bisa dihindari, seperti banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi.

Untuk itu, ia mengusulkan kajian dampak dan manfaat dari Pilkada langsung. [Fan]

Exit mobile version