- Ia tidak berada di Istana Rehab ketika tentara Irak pimpilan Al Karim Qasim memutilasi seluruh anggota keluarga kerajaan.
- Bersama suami dan tiga anaknya, Putri Badiya berlindung di Kedubes Arab Saudi, melarikan diri ke Mesir, Swiss, dan menetap di Inggris.
London — Putri Badiya binti Ali, anggota monarki Irak terakhir yang selamat dari kudeta 1958, meninggal dalam usia 100 tahun di pengasingannya di London.
Lahir di Damaskus 1920, Putri Badiya adalah bibi Raja Faisal II, raja terakhir Irak yang terbunuh bersama keluarganya dalam kudeta.
Pangerah Abd al-Illah, saudara lelaki Putri Badiya dan putera mahkota, tewas dalam peristiwa politik yang menjadikan Irak sebagai republik.
Barham Salih, presiden Irak, mengirim ucapan belasungkawa kepada Sharif Ali bin al-Hussein — putri Badiya yang menganggap dirinya pewaris tahta Irak yang sah, dan terus berusaha membangun kembali monarki Irak.
Bani Hasyim
Putri Badiya adalah anggota Bani Hasyim yang mendirikan Irak tahun 1921, dengan Raja Faisal I sebagai kepala negara pertama.
Bani Hasyim, atau Hashemit, adalah keturunan langsung Nabi Muhammad.
Adalah Sharif Hussein ibnu Ali yang memproklamirkan diri sebagai Raja Hejaz di sebelah barat Arab setelah memimpin Pemberontakan Arab tehadap Kekaisaran Ottoman tahun 1916. Pemberontakan diciptakan, dan didukung Inggris, untuk melemahkan Kekaisaran Ottoman selama Perang Dunia I.
Hussein Ibnu Ali gagal mencapai ambisi menjadi raja seluruh jazirah Arab. Ia diusir dari Hejaz oleh Abdulazi Ibnu Saud, pendiri Arab Saudi tahun 1924, setelah dituduh keliru mengelola dua kota suci umat Islam; Mekkah dan Madinah.
Namun Abdullah dan Faisal, dua putra Hussein Ibnu Ali, mengambil alih tahta Kerajaan Yordania dan Irak yang baru dibentuk.
Badiya adalah putri Ali, saudara laki-laki Faisal dan Abdullah, yang sempat berkuasa di Hejaz setelah pengunduran diri Hussein Ibnu Ali.
Kudeta 1958 mengakhiri Kerajaan Hashemite Irak. Di Yordania, keturunan Abdullah terus memerintah Bani Hasyim lainnya sampai Raja Abdullah II saat ini.
Siapa Bani Hasyim Irak?
Faisal I, pendiri monarki Irak, adalah tokoh kunci dalam Peberontakan Arab. Ia dinobatkan sebagai raja di Suriah, tapi diusir oleh Prancis.
Di Baghdad, Raja Faisal I memimpin Irak selama 12 taun sebelum meninggal mendadak tahun 1933 dalam usia 48 tahun.
Keterangan resmi istana menyebutkan Raja Faisal I tewas akibat serangan jantung. Spekulasi di luar istana mengatakan ia diracun.
Ghazi I, putra satu-satunya Faisal I, naik takhta. Dari perenikahan Ratu Aliya bin Ali, sepupunya, Ghazi I memiliki seorang putra.
Enam tahun memerintah Irak, Ghazi I tewas dalam kecelakaan mobil yang mencurigakan. Isu yang berkembang menyebutkan kecelakaan itu direkayasa orang-orang PM Nur Said, yang pro-Inggris.
Nur Said berselisih keras dengan Ghazi I yang anti-Inggris.
Faisal II, putra Ghazi I satu-satunya dari rahim Ratu Aliya, baru berusia tiga tahun saat peristiwa itu. Disepakata, Abd al-Illah — paman Faisal II dan saudara Putri Badiya — menjabat sebagai ‘regent’ antara 1939 sampai 1953, ataus setelah Faisal II cukup umur dan layak menjadi raja.
Abd al-Illah digulingkan sebagai ‘regent’ oleh militer pro-Jerman yang dipimpin Rashid Ali selama Perang Duni II, tapi mendapatkan kembali posisinya dengan bantuan Inggris.
Akibatnya, Inggris memainkan peran lagi di Irak, dan memicu protes kaum nasionalis yang menginginkan berakhirnya pemerintahan kerajaan.
Kudeta 1958
Faisal II naik takhta saat Kerajaan Irak dalam keadaan genting. Kebencian terhadap monarki, didorong oleh tampilnya pemimpin Mesir Gamal Abdul Nasser, sedemikian tinggi. Bersamaan dengan itu Perang Dingin mulai mencapai puncaknya.
Di Irak, sebuah kelompok oposisi yang dipengaruhi gagasan Nasser, menyusun rencana kudeta. Perwira Merdeka, nama kelompok itu, dipimpin Kolonel Abd al-Karim Qasim.
Al-Karim Qasim pro nasionalisme-Arab dan anti-Barat. Ia melihat di bawah Dinasti Hashemite, kesenjarangan di Irak memburuk. Kekayaan negara berada di kelompok elite yang berkuasa, yang menindas kaum miskin di desa-desa dan perkotaan.
Di Yordania, Bani Hasyim yang lain dalam kondisi genting setelah krisis Lebanon. Kerajaan Yordania berada di titik nadir pertikaian Nasionalisme Arab dan kelompok pro-Barat.
Raja Faisal II memeirntahkan satuan tentara Irak berangkat ke Yordania untuk membantu keluarganya. Tentara ini dipimpin Al Karim Qasim.
Bukan berangkat ke Yordania, Al Karim Qasim pada 14 Juli 1958 justru menyerang Istana Rehab. Ia memerintahkan pasukan istana tidak melawan.
Faisal II, bersama Abd al-Illah, PM Nur Said, dan beberapa bangsawan Irak; Putri Abadiya — saudara perempuan Putri Badiya — dan Putri Hiyam, ipar Putri Badiya, berbaris di dinding dan ditembak.
Pasukan Al Karim Qasim memutilasi tubuh mereka dan mengaraknya di jalan-jalan Baghdad.
Berlindung di Kedubes Arab Saudi
Putri Badiya beruntung. Ia tidak berada di Istana Rehab saat kudeta berlangsung, dan Al Karim Qasim memutilasi keluarganya.
Ia dan dan keluarganya berada di luar kota. Bersama Sharif al-Hussein bin Ali, suaminya, dan tiga anak mereka, Putri Badiya mencapai Kedubes Arab Saudi di Baghdad.
Mereka berlindung di Kedubes Arab Saudi selama satu bulan, setelah Raja Abdulaziz Ibnu Saud berkeras agar Kedubes Arab Saudi di Baghdad harus memastikan Putri Badiya dan keluarga keluar dari Iran dengan aman.
Putri Badiya dan keluarga kali pertama melarikan diri ke Mesir, kemudian Swiss, dan menetap di Inggris.
Selama di London, Putri Badiya mendukung putranya; Sharif Ali bin al-Hussein, menentang kediktatoran Saddam Hussein dan menganjurkan kembalinya sistem monarki di Irak, dengan dirinya sebagai raja.
Babak Terakhir
Beberapa jam setelah kematian Putri Badiya, Twitter dipenuhi ucapan belasungkawa. Banyak yang berbagi foto sang putri saat masih muda.
PM Irak Mustafa al-Kadhimi menulis dalam Bahasa Arab; “Dengan kematian Putri Badiya, putri Raja Ali, babak paling cerah dan penting dalam sejarah modern Irak berakhir.”
“Almarhum adalah bagian dari panggung budaya dan politik yang mewakili Irak dengan baik. Semoga keluarganya tabah atas kehilangan ini dan semoga Allah memberkati dan memaafkan jiwanya,” tambah PM Al Kadhimi.