Saat ditanya adakah ruang untuk kompromi dengan pengunjuk rasa yang menuntut pembatasan kekuasaannya, Vajiralongkorn mengatakan bahwa, “Thailand adalah negeri kompromi.”
JERNIH– Raja Thailand Maha Vajiralongkorn dan Ratu Suthida, Minggu (1/11) lalu memutuskan turun ke jalan untuk menyapa para pendukungnya di tengah gelombang protes yang terus memanas menuntut reformasi monarki dan pengunduran pemerintah.
Ketika demonstrasi massa anti-pemerintah terus berkembang di seluruh Thailand dan seruan untuk reformasi monarki terus meluas, Raja Maha Vajiralongkorn menyebut negaranya “tanah kompromi”. Pernyataan sang raja menunjukkan bahwa masih mungkin ada jalan keluar dari kebuntuan politik kali ini yang telah melanda negara selama berbulan-bulan.
Raja Thailand melontarkan komentar publik pertamanya tentang demonstrasi pro-demokrasi yang telah mencengkeram negara itu selama lebih dari empat bulan dalam wawancara bersama eksklusif yang jarang terjadi dengan CNN dan Channel 4 News selama acara kerajaan di Grand Palace di Bangkok.
Ketika ditanya tentang apa yang akan dia katakan kepada para pengunjuk rasa yang telah berada di jalanan dan menyerukan reformasi, Raja Vajiralongkorn menegaskan kepada CNN: “No comment”. Namun ia menambahkan, “Kami mencintai mereka semua dengan setara. Kami mencintai mereka semua dengan setara. Kami mencintai mereka semua dengan setara.”
Ketika selanjutnya ditanya apakah ada ruang untuk kompromi dengan pengunjuk rasa yang menuntut pembatasan kekuasaannya, Vajiralongkorn mengatakan bahwa, “Thailand adalah negeri kompromi.”
Ini adalah pertama kalinya raja berusia 68 tahun itu berbicara dengan media asing sejak 1979 ketika dia menjadi Putra Mahkota. Dalam langkah baru yang jarang terjadi di istana, anggota pers internasional diundang untuk duduk di antara kerumunan pendukung monarki yang menunggu untuk melihat Raja Thailand. Biasanya, hanya tim berita kerajaan yang diizinkan meliput acara kerajaan tahunan semacam ini, terutama di Grand Palace. Hal itu menjadi indikasi bahwa Raja mungkin ingin meningkatkan citranya secara internasional di tengah gerakan protes massa yang menjadi tantangan langsung terhadap kekuasaannya.
Pada Minggu (1/11) itu, Raja Vajiralongkorn mengambil bagian dalam upacara keagamaan untuk menandai pergantian musim di Grand Palace. Raja Thailand mengubah kostum patung Emerald Buddha, patung Buddha terpenting di Thailand, yang menandai transisi resmi dari musim hujan ke musim dingin.
Dengan pakaian serba kuning, ribuan pendukung pro-monarki berkumpul di hadapan istana dan disambut oleh Raja Vajiralongkorn, istrinya Ratu Suthida, dan anaknya Putri Sirivannavari. Sang Putri mengatakan kepada CNN bahwa Thailand adalah negara yang damai. “Kami mencintai orang-orang Thailand, apa pun yang terjadi.”
Protes yang dipimpin para pelajar telah berlangsung hampir setiap hari di seluruh Thailand sejak Juli 2020. Gelombang unjuk rasa terbaru menarik puluhan ribu orang yang menyerukan konstitusi baru, pembubaran parlemen, dan pengunduran diri Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, mantan jenderal angkatan darat yang merebut kekuasaan dalam kudeta pada 2014.
Tuntutan inti dari demonstrasi tersebut adalah reformasi monarki kuat Thailand untuk memastikan Raja bertanggung jawab atas konstitusi. Ini adalah tantangan terbesar bagi pemerintahan yang berkuasa dalam beberapa dekade, dengan orang-orang muda secara terbuka melanggar tabu yang mengakar untuk berbicara secara terbuka tentang keluarga kerajaan di depan umum. Thailand memiliki beberapa undang-undang lese majeste paling ketat di dunia, sehingga tindakan mengkritik Raja, Ratu, atau ahli warisnya dapat mengakibatkan hukuman penjara maksimal 15 tahun, tulis CNN.
Ketika Thailand bergulat dengan kemerosotan ekonomi yang diperburuk oleh langkah-langkah untuk mengendalikan pandemi COVID-19, pengunjuk rasa mulai menelusuri jejak kekayaan dan cengkeraman kekuasaan Raja Vajiralongkorn yang luar biasa.
Vajiralongkorn telah mengonsolidasikan kekuatannya dengan memperluas unit militer yang ditunjuknya sendiri, yakni unit Pengawal Raja. Sang raja juga telah secara luas meningkatkan kekayaan pribadinya dan mentransfer aset kerajaan senilai miliaran dolar yang dipegang oleh Kerajaan Thailand langsung ke bawah kendalinya.
Para pengunjuk rasa mengatakan bahwa Thailand tidak dapat mencapai demokrasi sejati sampai dilakukan reformasi terhadap para penguasa dari tingkat etratas ke bawah yang terdiri dari monarki, militer, dan elite politik yang kaya.
Komentar Raja muncul saat krisis politik di Thailand berada dalam bahaya berubah menjadi masalah diplomatik dengan Jerman, di mana Raja Thailand menghabiskan sebagian besar waktunya.
Senin (26/10) lalu, ribuan pengunjuk rasa Thailand berbaris ke kedutaan Jerman di Bangkok untuk meminta pemerintah Jerman menyelidiki apakah Raja telah melakukan urusan negara selama waktunya di negara itu. Dalam surat yang diserahkan kepada Kedutaan Besar Jerman di Thailand, para demonstran juga meminta pemerintah Jerman menyelidiki catatan pajak Raja.
Jerman mengatakan tidak dapat menerima Raja Vajiralongkorn untuk melakukan aktivitas politik dari Jerman. Menteri Luar Negeri negara itu Heiko Maas mengatakan pihaknya terus memantau aktivitas sang raja selama berada di Jerman.
“Kami memantau ini dalam jangka panjang,” tutur Maas pada konferensi pers Senin lalu. “Ini akan memiliki konsekuensi langsung jika ada hal-hal yang kami nilai ilegal.”
Dalam sidang luar biasa parlemen pada Senin (26/10), PM Prayut menolak seruan dari partai-partai oposisi untuk mundur, tetapi mengindikasikan bahwa pemerintah mendukung amandemen konstitusi. Sidang itu gagal dalam upaya membuahkan hasil untuk meredakan krisis politik, tetapi sebaliknya justru mengusulkan pembentukan panitia rekonsiliasi nasional.
Raja kembali ke Thailand pada awal Oktober 2020 untuk serangkaian tugas kerajaan dan acara resmi. Puluhan pengunjuk rasa telah ditangkap berdasarkan keputusan darurat yang diberlakukan tak lama setelah kedatangan Raja di Thailand. Tindakan darurat yang melarang pertemuan publik lebih dari 4 orang di ibu kota itu ditetapkan menyusul lebih dari seminggu protes anti-pemerintah setiap hari di Bangkok dan kota-kota lain.
Tuduhan berkisar dari pelanggaran yang lebih kecil hingga kejahatan yang lebih serius seperti hasutan, yang diancam hukuman penjara maksimal tujuh tahun, dan melanggar Undang-Undang Kejahatan Komputer. Dua aktivis ditangkap atas tuduhan melakukan kekerasan terhadap Ratu, setelah iring-iringan mobilnya dihalangi oleh massa anti-pemerintah, dan menghadapi kemungkinan hukuman seumur hidup.
Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, dengan persetujuan Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, telah mencabut langkah-langkah hukuman tersebut. Namun demikian, demonstrasi di jalanan hingga kini masih terus berlanjut. [AP,Reuters, matamatapolitik]