Jernih.co

Reforma Agraria Dibincangkan di Great Institute: Ironi Kesuburan Tanah, Ketimpangan, dan Tuntutan Keadilan

Sambutan Moh Jumhur Hidayat yang awalnya hanya pengantar, justru menggelindingkan perdebatan tajam. “Ketimpangan kepemilikan tanah kita parah sekali. Indeks Gini penguasaan tanah mencapai 0,78. Ada satu orang menguasai jutaan hektare, sementara mayoritas petani justru tak punya lahan dan bekerja sebagai buruh tani. Di sisi lain, penggusuran terhadap tanah rakyat masih terus berlangsung,” kata Jumhur. Ia menambahkan, forum ini terbuka, egaliter, dan bebas, dengan semangat merdeka dalam riset dan dialog. “Mumpung presiden kita sekarang, Pak Prabowo Subianto, presiden yang cerdas dan berkerakyatan,” kata dia.

JERNIH—Luas tanah tak pernah bertambah, manusia terus beranak-pinak. Dari situlah lahir ironi: di negeri yang disebut gemah ripah loh jinawi, petani justru banyak yang tak punya lahan—modal paling pokok untuk mereka hidup. Ironi itu kembali jadi sorotan dalam Focus Great Discussion (FGD) yang digelar Great Institute di Jakarta Selatan, Rabu(1/10/ 2025).

Diskusi bertema “Reforma Agraria dalam Konteks Perkotaan dan Pedesaan: Ketimpangan, Hak Ulayat, Tata Ruang, dan Badan Pelaksana Reforma Agraria” itu menghadirkan sejumlah nama penting: Moh Jumhur Hidayat, Dr Yagus Suyadi dari Bank Tanah, Ahmad Irawan SH, MH dari Komisi II DPR RI, Dr Agung Indrajit dari Otorita IKN, Dr Bayu Eka Yulian dari IPB, Dr Lilis Mulyani dari BRIN, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika; Agustiana dari Serikat Petani Jawa Barat, aktivis “bangkotan” untuk urusan agrarian dan konfliknya, Arwin Lubis, serta peneliti Great Institute, Ir Hendry Harmen, MT.

FGD dibuka Ketua Dewan Penasihat Great Institute, Moh Jumhur Hidayat. Sambutan yang awalnya hanya pengantar, justru menggelindingkan perdebatan tajam. “Ketimpangan kepemilikan tanah kita parah sekali. Indeks Gini penguasaan tanah mencapai 0,78. Ada satu orang menguasai jutaan hektare, sementara mayoritas petani justru tak punya lahan dan bekerja sebagai buruh tani. Di sisi lain, penggusuran terhadap tanah rakyat masih terus berlangsung,” kata Jumhur. Ia menambahkan, forum ini terbuka, egaliter, dan bebas, dengan semangat merdeka dalam riset dan dialog. “Mumpung presiden kita sekarang, Pak Prabowo Subianto, presiden yang cerdas dan berkerakyatan,” kata dia.

Anggota DPR RI Ahmad Irawan menekankan persoalan mendasar sejak UUPA 1960. Menurut Ahmad, regulasi pertanahan dibuat sepihak dan cenderung menegaskan dominasi negara. “Rasio Gini pertanahan kita mungkin yang terburuk di ASEAN, antara 0,6–0,7. Peraturan dibuat sepihak, ATR/BPN tidak punya otoritas penuh. Ada 2.350 desa yang secara hukum masih dianggap kawasan hutan, padahal masyarakat sudah tinggal di sana jauh sebelum republik ini berdiri,” kata Ahmad. Ia menambahkan, hingga 21 April 2025, capaian Reforma Agraria pemerintah masih nihil. “Yang paling penting sekarang adalah kepastian hukum.”

Sorotan berikutnya mengarah ke Bank Tanah. Dr. Yagus Suyadi hadir membawa paparan mengenai tata kelola lembaga itu. Namun kritik keras muncul dari Dewi Kartika, sekjen KPA. “Bank Tanah ini bagian dari masalah, bukan solusi. Ia lahir dari Ciptaker, dan mencampuradukkan Reforma Agraria dengan pengadaan tanah untuk korporasi besar,” kata Dewi.

Menurut Dewi, Reforma Agraria mestinya menata ulang struktur kepemilikan tanah, bukan sekadar prosedur administrasi. “Food estate itu politik pangan yang keliru: timpang dan tidak adil. Reforma Agraria justru berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jelas menegaskan tanah tidak boleh jadi alat penindasan manusia terhadap manusia.”

Dr. Agung Indrajit dari Otorita IKN menambahkan dimensi teknologi. Ia menekankan pentingnya Land Administration Domain Model (LADM) untuk mengurangi asimetri informasi dalam pertanahan. “Tanah tidak sekadar soal regulasi, tapi juga data. Data harus transparan, interoperable, agar tidak ada lagi permainan informasi,” ujar Agung.

Dari sisi perkotaan, Ir. Hendry Harmen MT, menyoroti backlog perumahan hingga 12,7 juta unit, 400 lebih RW kumuh menampung 1,2 juta jiwa, dan harga lahan Jakarta Pusat yang mencapai Rp150 juta per meter persegi. “Reforma Agraria perkotaan harus menjawab hak atas hunian layak. Pekerja informal paling rentan, sementara akses KPR formal tertutup bagi mereka,” katanya.

Arwin Lubis alias Ucok, aktivis pertanahan sejak 1980-an, mengingatkan kembali prinsip UUPA 1960: tanah bukan milik raja, bukan pula milik negara, melainkan hak rakyat. “Negara tidak bisa menjual tanah. Negara hanya boleh mengambil bea atas layanan keagrariaan,” kata Arwin. Ia mendorong pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) di bawah Presiden dengan struktur ringkas, ditambah satu deputi khusus bernama Deputy Tafsir Tegas. Tujuannya agar tak ada lagi tafsir ganda antarinstansi yang menghambat distribusi lahan.

Sementara itu, Dr. Lilis Mulyani dari BRIN menekankan soal hak ulayat yang semakin terdesak oleh regulasi sektoral. “Masyarakat adat sudah lama jadi korban. Reforma Agraria seharusnya bukan hanya redistribusi tanah, tapi juga penguatan hak ulayat,” ujarnya.

Dari lapangan, Sekjen Serikat Petani Jawa Barat, Agustiana, menyuarakan realitas: “Bagi petani, reforma agraria bukan sekadar jargon. Ini soal hidup-mati. Selama tanah terkonsentrasi di segelintir orang, petani akan tetap miskin, dan negara kehilangan dasar kedaulatan pangannya,” ujar Agustiana, yang kerap dianggap mentor para aktivis muda Jawa Barat.

Diskusi sore itu memang tak menyajikan solusi akhir. Namun satu hal terang sudah: Reforma Agraria adalah pilihan politik. Pertanyaannya tinggal satu, apakah negara berpihak pada rakyat kecil, atau membiarkan tanah tetap dikuasai segelintir orang? Sebagaimana ditekankan Jumhur, “Mumpung presiden kita sekarang adalah presiden yang cerdas dan berkerakyatan,” kesempatan itu jangan sampai disia-siakan.

Aristoteles pernah menulis, “Keadilan adalah memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.” Kalimat itu kembali bergaung dari forum Great Institute ini, menegaskan bahwa reforma agraria bukan sekadar perkara tanah, melainkan janji lama tentang keadilan yang masih menunggu ditegakkan. [ ]

Exit mobile version