Selain itu, Sri Paus juga memperingatkan para politisi populis yang menurut dia gemar menggunakan istilah kaum demagog, misalnya ‘invasi’ kala berbicara tentang imigran dan migrasi
BARI—Berbeda dengan Karl Ratzinger, paus sebelumnya yang mengundurkan diri, Paus Fransiskus adalah tokoh pro-keadilan dan anti-penindasan yang selalu berada di garda depan. Di Italia, Sri Paus mengecam ‘rencana perdamaian Timur-Tengah’ yang digagas Presiden AS Donald Trump.
Menurut Sri Paus, apa yang dalam kepala Trump disebut rencana damai tersebut tak lebih dari rencana yang akan berimbas pada penciptaan konflik baru yang merugikan Palestina. Paus Franciskus mengatakan hal itu pada Minggu (23/2) lalu, menerangkan kepada media bahwa perjanjian damai Timur Tengah Trump adalah “solusi yang tidak adil” untuk konflik Israel-Palestina. Paus mengatakan, hal itu hanya akan menjadi awal dari krisis baru yang merugikan negara Palestina.
Paus Fransiskus berkomentar di Bari, kota pelabuhan di Italia selatan, saat melakukan perjalanan untuk menemui para uskup dari semua negara di lembah Mediterania. “Wilayah Mediterania saat ini terancam oleh pecahnya ketidakstabilan dan konflik, baik di Timur Tengah dan berbagai negara di Afrika Utara, serta antara berbagai kelompok etnis, agama, atau kelompok pengakuan dosa,” kata Francis kepada Reuters.
Menurut Sri Paus dunia sama sekali tidak bisa mengabaikan konflik yang masih belum terselesaikan antara Israel dan Palestina, dengan bahaya solusi yang tidak adil. “Oleh karenanya, menurut saya, ini merupakan awal dari krisis baru,” katanya mengomentari rencana Trump itu.
Para peserta yang hadir tampak menyimak pidato Paus Fransiskus, termasuk di antaranya Uskup Agung Pierbattista Pizzaballa, kepala Patriarkat Latin Yerusalem, yang yurisdiksinya meliputi Israel, wilayah Palestina dan Yordania.
Ini adalah momen pertama kalinya seorang Paus membela hak-hak Palestina di depan umum. Hal itu jelas dipicu Trump yang mengumumkan ‘rencana damai’ itu pada 28 Januari. Dalam gagasan Trump itu direncanakan pengakuan untuk otoritas Israel atas pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan meminta warga Palestina memenuhi serangkaian persyaratan bagi sebuah negara, dengan ibu kotanya di desa Tepi Barat, sebelah timur Yerusalem.
Trump boleh saja mengatakan rencananya itu dibuat untuk mengakhiri konflik yang telah terjadi selama beberapa dekade itu. Tetapi sikapnya yang seolah memandang semua pihak selain Israel sebagai kambing congek, jelas ahistoris. Wajar bila pada pengumuman itu yang yang datang hanya Netanyahu, sementara pihak Palestina—baik garis keras yang diwakili Hamas maupun garis lembek dengan Fatah di garda depan, tak hadir.
Palestina dan menteri luar negeri Liga Arab telah menolak rencana itu. Yang lebih parah, karena ‘gagasan damai’ itu saat ini Otoritas Palestina justru memutuskan semua hubungan dengan Amerika Serikat dan Israel.
Orang-orang Palestina, dengan dukungan internasional yang luas, menginginkan Yerusalem Timur kembali menjadi ibu kota negara merdeka di masa depan. Sementara, Israel memandang seluruh kota itu sebagai ibu kota “bersatu dan abadi”.
Paus menyatakan keprihatinannya pada 2018, ketika Amerika Serikat mengumumkan pemindahan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem, dengan mengatakan “status quo” kota itu harus dihormati. Fransiskus telah meminta semua orang untuk menghormati resolusi kota di Amerika Serikat.
“Tidak ada alternatif yang masuk akal untuk perdamaian, karena setiap upaya yang ada saat ini hanya berupa eksploitasi atau supremasi yang merendahkan. Ini menunjukkan pemahaman realitas yang suram, karena tidak dapat menawarkan masa depan bagi keduanya,” kata Sri Paus, berbicara secara umum tentang Timur Tengah.
Selain itu, Sri Paus juga memperingatkan para politisi populis yang menurut dia gemar menggunakan istilah kaum demagog, misalnya ‘invasi’ kala berbicara tentang imigran dan migrasi. “Yang pasti, penerimaan dan integrasi yang bermartabat adalah tahapan dalam proses yang tidak mudah. Namun, tidak terpikirkan bahwa kita dapat mengatasi masalah dengan membangun tembok,” kata dia. [reuters]