Membangun masa depan harus punya identitasnya. Sejarah arsitektur modern kurang lebih mereduksi banyak kearifan-kearifan lokal yang harus kita carikan definisi-definisi barunya.
JERNIH – Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menilai keberhasilan dan kegagalan negara-negara lain bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan.
Menurut Ridwan Kamil, Washington DC bisa dijadikan rujukan terkait luasan lahan untuk Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan. Dengan menjadikan Washington DC sebagai rujukan, Kang Emil, sapaan Ridwan Kamil, menilai IKN akan menjadi tempat yang layak untuk ditinggali.
Kang Emil menilai, jika IKN didesain sebagai kota yang nyaman ditinggali maka fungsi livability harus dimiliki. Ia menyebut, lahan IKN dalam rencana pengembangannya nanti mencapai 250.000 hektare. Sementara luasan Washington DC yang hanya mencapai 17.000 hektar atau setara luasan Kota Bandung. Dengan luas IKN yang luar biasa tersebut, pihaknya khawatir masyarakat yang hendak mengakses istana negara mirip dengan memasuki kawasan industri.
“Saya kira boros lahan menjadi sebuah kebiasaan di kita, kalau membangun skala besar itu cenderung suka luas-luasan,” ujar Ridwan Kamil saat menjadi narasumber secara virtual dalam acara Paradigma Kota dan Arsitektur di Masa Depan, Arsitektur sebagai Artefak Peradaban dalam Perspektif Istana yang digelar Ikatan Arsitek Indonesia Nasional, Rabu (9/2/2022) malam.
Menurutnya, paradigma membangun dalam skala besar masih terjadi dalam perencanaan IKN. Sedangkan dari sudut pandangnya sebagai arsitek dan urban planner, urusan IKN bukan semata-mata memindahkan dan membangun infrastruktur. IKN adalah membangun masa depan.
“Membangun masa depan harus punya identitasnya. Sejarah arsitektur modern kurang lebih mereduksi banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang tentunya bisa harus kita carikan definisi-definisi barunya (di IKN),” katanya.
Karena itu pihaknya mengingatkan bahwa dalam mendesain ruang sebuah kota ataupun IKN maka pembangunab harus berprinsip seperti membuat baju, tidak sempit dan longgar.
“(Kegagalan) itu terjadi di Brazilia, itu terjadi di ibukota Myanmar di mana-mana, (pembangunan fisik) berusaha menaklukan tanah seluas-luasnya, lupa bahwa manusia itu punya batas-batas psikologis, batas-batas motoris yang harus disusun,”
“Makanya sebenarnya saya tidak suka kampus-kampus di Indonesia yang terlalu jauh-jauh bangunannya. Jadi antar bangunan harus naik mobil turun mobil dan sebagainya. Lama-lama karena kebiasaan tidak menciptakan kota dengan ukuran skala yang benar, kita jadi terbiasa menerima budaya bahwa menikmati arsitektur harus naik mobil,” ungkapnya.
Ridwan Kamil mencontohkan pula soal Dubai yang sukses menjadi kota berasitektur modern, indah dan inovatif namun tidak nyaman untuk menjalani kehidupan. Menurutnya Dubai menjadi contoh bagaimana penataan ruangnya tidak bisa menyandingkan yang kaya dan miskin justru melahirkan ketidakadilan ruang. Dia berharap IKN belajar dari kegagalan-kegagalan di negara lain.
“Yang saya khawatirkan di tahap berikutnya dari Ibu Kota Negara ini adalah nanti hanya kumpulan katalog arsitekstur, kumpulan bangunan-bangunan yang dibahas estetikanya, teori-teori bangunannya, tapi tidak membentuk sebuah peradaban kota,” katanya.
Karena itu pihaknya mendorong asosiasi IAI untuk berperan aktif dalam proses IKN tersebut. Bahkan dirinya berharap IAI bisa menjadi konsultan Presiden Jokowi agar proses pembangunan IKN tidak keluar dari prinsip-prinsip membangun peradaban kota lewat rumus desain, density dan diversity. “Ini momen bersejarah banget nggak pernah mungkin akan terulang ya ibukota dua kali, nggak akan terulang lagi,” ucapnya. [*]