Jernih.co

Riwajat Sepatoe Bata di Indonesia, Tomas Bat’a: Kami akan Ajarkan Orang Indonesia Berjalan Pakai Sepatu

Tomas Bat'a saat persiapan berangkat dari Zlin, kota di Republik Ceko, ke Batavia tahun 1932.

JERNIH — Foto di atas terdapat dalam artikel Sylvia Sklenarova dan Wilken Engelbrecht, yang berjudul; Niet allen om de rubber: Over Bat’a, Tsjechen en Slovaken in Nederlands-Indie en het beeld van Nederlands-Indie in Tsjechoslovakije. Artinya; Bukan hanya soal karetnya: Tentang Bat’a, Ceko-Slowakia di Hindia Belanda serta gambaran Hindia Belanda di Cekoslowakia.

Keterangan di bawah foto pendek saja, yaitu Tomas Bat’a bij vertrek uit Zlin naar Nenderlands-Indie. Artinys Tomas Bat’a dalam persiapan berangkat dari Zlin ke Hindia-Belanda. Tomas Bat’a adalah pembuat sepatu Bata, dan Zlin sebuah kota di Cekoslovakia — kini bagian dari Republik Ceska — tempat Keluarga Bat’a memulai usaha sepatu.

Java Bode, koran terkemuka di Hindia-Belanda, menurunkan laporan khusus pada edisi 11 Februari 1932 — sebulan sebelum Tomas Bat’a tiba di Batavia. Sebagian pers Hindia-Belanda menurunkan laporan tentang kemungkinan Tomas Bat’a berinvestasi dengan membuka pabrik.

Beberapa koran lain menurunkan berita Tomas Bat’a mempertimbangkan untuk membangun jalur udara Cekoslovakia-Hindia Belanda untuk melayani kebutuhan penduduk tanah jajahan akan sepatu.

Artinya, tidak ada investasi. Yang ada adalah perdagangan langsung, dengan pengiriman sepatu menggunakan pesawat terbang. Tomas Bat’a berusaha membuat kontrak dengan Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), atau maskapai penerbangan Belanda, tapi gagal.

Namun, ada pernyataan menarik dari Tomas Bat’a selama kunjungannya ke Hindia Belanda. Ia mengatakan; “Rencana besar kami adalah mengajarkan masyarakat pribumi Asia, terutama Hindia Belanda, berjalan dengan sepatu.”

Pernyataan ini menjadi menarik karena Keluarga Bat’a sejak awal tidak pernah menyasar pemukim Belanda dan Eropa, yang relatif sedikit dan tidak ekonomis, sebagai pasar produknya. Pribumi Hindia-Belanda adalah pasar besar, tapi butuh waktu mendidiknya untuk pakai sepatu.

Tidak ada keterangan kapan Tomas Bat’a kembali ke Zlin, Cekoslovakia. Yang pasti, dia mewariskan rencana besarnya dan meninggal pada 12 Juli 1932, sekitar tiga bulan lebih setelah kunjungannya ke Batavia.

Dari Glodok

Tahun 1923, setelah 18 tahun mendirikan pabrik modern bersama Jan Antonik Bat’a dan Anna Berova, Bata Corporation mulai ekspansi ke luar Cekoslovaia. Pertama ke Eropa dan pada akhir 1920-an melirik pasar Asia dan Amerika Latin.

Toko Bata di Glodok era pendudukan Jepang. Toko berdiri tahun 1931 dan dari sinilah pribumi Batavia kenal sepatu Bata.

Tahun 1928, perusahaan meminta informasi soal pasar sepatu di Hindia Belanda kepada konsulat Cekoslovakia di Batavia. Setahun kemudian NV Shoenhandel Mij Bata berdiri, dengan wilayah operasi Hindia-Belanda. Di Batavia, perusahaan menunjuk firma hukum Stern & Maclaine Pont sebagai wakil.

Juli 1931, Toko Bata pertama dibuka di Batavia dengan Antonin Dusik sebagai manajer. Bulan berikut, cakupan penjualan mencapai Surabaya, Malang, dan Bandung. Pada 15 Oktober 1931, produksi terbatas sepatu Bata dimulai di sebuah gudang di Tanjung Priok dengan nama perusahaan PT Sepatu Bata.

Persoalan muncul. Omzet jauh dari harapan. Penyebabnya sederhana, Bata menyasar pasar pribumi tapi menempatkan toko di lingkungan Eropa yang ogah dikunjungi penduduk lokal. Mengandalkan pasar pemukim Eropa sangat tidak mungkin, karena populasi kulit putih di Batavia sangat sedikit.

Dusik mengeluarkan salah satu toko dari lingkungan Eropa, dan memindahkannya ke ruko kecil terbelangkalai di kawasan pecinaan Glodok. Asumsinya, pribumi belanja di Glodok untuk mendapatkan barang berkualitas.

Pilihan yang sangat tepat. Dari Glodok, pribumi mengenal sepatu Bata. Omzet dari toko kecil ini sedemikian besar dibanding dengan toko-toko sepatu Bata lain di sekujur Batavia. Kabar itulah yang membuat Tomas Bat’a berkunjung ke Batavia dan menetapkan pribumi sebagai pasar masa depan.

Jan Antonin Bat’a merespon sukses ini dengan membuka toko di Tangerang. Tomas Bat’a menyambangi hampir semua toko Bata di sekujur Batavia, dengan toko di Glodok sebagai prioritas.

Protes Pengrajin Lokal

Kedatangan Tomas Bat’a, yang diikuti ekspansi besar-besaran, bukan tanpa masalah. Pengrajin dan toko sepatu lokal mengeluh. Konsulat Cekoslovakian di Batavia mencatat semua itu. De Telegraaf, koran di Belanda, menurunkan laporan keluhan industri sepatu lokal.

Pemerintah Hindia-Belanda gundah. Bata dianggap bisa membunuh produsen sepatu lokal, terutama pengrajin pribumi. Bata juga dikeluhkan karena tidak hadir dengan modal besar, mendirikan pabrik, dan menciptakan lapangan kerja.

Di Surabaya muncul perlawanan terhadap Bata dengan kehadiran Nederlandsch-Indische Fabrikant, yang memproduksi sepatu. Jan Antonin Bata merespon situasi dengan mengirim satu kapal bermuatan sepatu ke Batavia, plus 100 tenaga penjualan.

Bata juga terus berekspansi. Tahun 1937, Keluarga Bat’a memiliki 32 toko resmi, dan sekitar 60 pewaralaba, di Hindia-Belanda. Muncul laporan di koran-koran Hindia Belanda tentang adanya kelompok yang berusaha mencegah perluasan Bat’a.

Tidak hanya di Hindia-Belanda, Bata juga ekspansi ke Malaka, Tiongkok, Indocina-Prancis — kini Vietnam, Kamboja, dan Laos — dengan memperbanyak toko. Bata juga berencana membangun dua pabrik di Singapura dan Shanghai.

Kaki Melayu, Kaki Cina, Kaki Siam

Maret 1937, Rudolf Stanek — konsul Cekoslovakia di Batavia — menyampaikan usulan menarik ke Keluarga Bat’a. Menurutnya, sepatu karet yang diimpor dari Jepang adalah jenis paling umum di Hindia-Belanda. Bata, kata Stanek, tidak mungkin bersaing dengan sepatu karet Jepang.

Namun, masih menurut Stanek, Bata bisa memperoleh status tersendiri di pasar Hindia-Belanda dan Asia jika membangun pabrik yang memproduksi alas kaki karet. Jan Antonin Bat’a mempertimbangkan usul itu, tapi menginginkan lebih.

Bata, menurut Antonin Bat’a, tidak hanya ingin membuat sepatu karet tapi juga kulit. Maka, Bata harus mempertimbangkan mendirikan penyamakan kulit.

Pemerintah Hindia-Belanda tidak keberatan dengan pembangunan pabrik sepatu karet, tapi menolak pendirian penyamakan kulit. Alasannya, penyamakan kulit modern akan membunuh manufaktur lokal.

Alih-alih menyelesaikan masalah pembangunan pabrik sepatu karet dan penyamakan kulit, Antonin Bata — yang berkunjung ke Pulau Jawa dalam perjalanan keliling dunia — malah membuat buku yang berisi kesan-kesannya tentang Hindia-Belanda.

Antonin Bat’a menulis; “Hindia-Belanda adalah negeri yang indah. Indah sebagai koloni dan negara. Orang-orang Belanda itu kawan. Saya pikir sederhana sekali cara orang Belanda menjajah.”

Ia juga bicara soal kondisi penjualan sepatu Bata. Iklim di Pulau Jawa, tulis Antonin Bat’a, membuat orang lebih memilih bertelanjang kaki daripada bersepatu. Kebiasaan pribumi bertelanjang kaki akan menjadi bencana bagi industri sepatu.

Namun, Antonin Bat’at tetap pada kesimpulan orang pribumi harus diajarkan memakai sepatu saat berjalan agar tidak menderita menderita kaki Cina, kaki Melayu, dan kaki Siam, yaitu penyakit yang disebabkan kutu air. Perlu waktu bagi produsen sepatu untuk mengakhiri budaya pribumi tak bersepatu.

Pabrik di Kalibata

Januari 1938, Bata Corporation menyampaikan rencana produksi untuk dua tahun ke depan, atau sampai 1940, kepada pemerintah Hindia Belanda. Keluarga Bat’a setuju membuka pabrik dengan seribu pekerja lokal dalam pembuatan alas kaki karet dan sepatu kulit murah berharga 80 sen sampai satu gulden.

Pabrik Sepatu Bata di Kalibata tahun 1951. Keluarga Bat’a juga membangun perumahan karyawan di atas tanah 360 hektar.

Februari 1938, Keluarga Bat’a membeli sebidang tanah seluas 360 hektar di tepi Kali Mampang. Sesuai adat istiadat Bat’a, di atas tanah itu tidak hanya berdiri pabrik tapi juga tepat tinggal karyawan. Jadilah lokasi pabrik sepatu Bata itu seperti desa, yang kemudian dikenal dengan nama Kalibata.

Sebelum pabrik beroprasi, Jan Antonin Bat’a mencapai kesepakatan dengan produsen lokal. Bata akan fokus pada pembuatan alas kaki linen dan sol karet, yang selama ini impor dari Jepang. Hindia Belanda menyambut baik kesepakatan ini.

Agustus 1938 pabrik dibangun dan selesai 1939. Mesin pabrik didatangkan dari Eropa. Sebanyak 45 orang Ceko bekerja di pabrik itu, mengontrol 1.000 pekerja lokal.

Namun, Bata juga memproduksi sepatu kulit murah dengan kualitas tidak bisa dicapai pengusaha lokal. Keunggulan Bata, suka atau tidak, membunuh produsen sepatu kulit lokal.

Tahun 1942 bencana muncul. Jepang tanpa kesulitan menaklukan Hindia-Belanda, dan menggiring orang-orang kulit putih Belanda dan antek-anteknya ke kamp interniran Namun, Jepang tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan orang-orang Ceko pekerja pabrik sepatu.

Jepang membiarkan orang-orang Ceko hidup seperti biasa, tapi dengan gelang bertuliskan; Musuh yang tidak berperang. Pabrik sepatu di Kalibata dibongkar, mesin-mesinnya dibawa ke Jepang. Pekerja lokal tidak ada lagi di asrama.

Sesuatu yang ironis terjadi. Sebanyak 45 orang Ceko tetap membuat sepatu tapi sebagai industri rumah tangga dengan peralatan tradisional — sama seperi yang dilakukan penduduk pribumi dan dibunuh Keluarga Bat’a.

Jepang hengkang, Indonesia masuk Periode Bersiap. Banyak warga Cekoslovakia yang selamat minta dipulangkan ke Belanda atau menjadi imigran di Australia. Pabrik sepatu di Kalibata silih berganti jatuh ke tangan KNIL dan tentara Republik Indonesia.

Tahun 1965 pabrik sepatu di Kalibata dinasionalisasi. Vaclav Sykora menjadi orang Cekoslovakia terakhir yang bertahan untuk memastikan masih ada peluang berproduksi kembali.

Dua tahun kemudian pabrik itu dikembaliken ke Keluarga Bat’a tapi dengan komposisi saham berubah; pemerintah RI memiliki 30 persen. Pabrik mempekerjakan 2.300 tenaga kerja lokal dan memproduksi lima juta pasang sepatu per tahun.

Saat itu, rencana besar Tomas Bat’a terwujud; orang Indonesia mengenakan sepatu saat berjalan, minimal saat Idul Fitri dan ke sekolah. Periode keemasan sepatu Bata di Indonesia terjadi sepanjang 1980-an, ketika Toko Bata tersebar di sekujur Jakarta dan kota-kota di Indonesia.

Exit mobile version