Band rock progresif asal Toronto ini bakal merayakan lebih dari 50 tahun perjalanan musik mereka. Kali ini dengan drummer perempuan yang terpaut usia 30 tahun. Macam apa aksi dua opa 72 tahun ini?
JERNIH – Empat dekade setelah Moving Pictures mengguncang dunia dan enam tahun setelah kepergian Neil Peart, Rush kembali — melawan waktu, kenangan, dan beban sejarah. Tahun 2026 tak hanya reuni. Ini adalah kebangkitan. Dan kali ini, di kursi drum yang dulu hanya diduduki oleh “The Professor,” duduk seorang perempuan dari Jerman: Anika Nilles.
Tidak ada band yang kehilangan anggota seperti Rush kehilangan Neil Peart. Ia bukan sekadar drummer — ia arsitek ritme, filsuf dalam bentuk manusia yang memukul snare. Peart adalah penyair yang menulis dengan tom-tom dan crash cymbal, pria yang membuat drumming terdengar seperti seni matematika.

Sejak Peart wafat pada 2020 karena kanker otak, Geddy Lee (72 tahun) dan Alex Lifeson (72 tahun) seolah berhenti bicara dalam bahasa musik. “Kami kehilangan bukan cuma teman,” kata Lee dalam wawancara dengan Rolling Stone UK. “Kami kehilangan arah gravitasi kami.”
Selama enam tahun, Rush menjadi mitos — sebuah gema dari masa lalu yang terasa terlalu suci untuk disentuh lagi. Kendati koleksi tembang-tembangnya tak berhenti membahana di berbagai platform. Bahkan drummer-drummer sepenjuru dunia mencoba membuat konten mengikuti pukulan Peart yang memang sangat berciri. Sampai seseorang bernama Anika Nilles datang
Nama Anika Nilles mulai bergaung di YouTube sekitar satu dekade lalu. Nilles lahir pada 29 Mei 1983 di Aschaffenburg, Jerman. Ia mewarisi darah musik dari keluarga yang dominan sebagai drummer.
Video-videonya—Wild Boy, Alter Ego, Synergy—menampilkan sosok yang bukan sekadar cepat, tapi presisi dalam cara yang nyaris matematis, seperti Peart versi generasi digital. Tapi berbeda dari banyak drummer teknis, permainan Nilles selalu punya groove yang hidup, tubuh yang menari di balik metrum ganjilnya.
Di sisi lain Anika bukan datang dari dunia rock progresif sebagaimana nafas Rush. Ia datang dari dunia groove, fusion, funk, dan pendidikan musik. Ia adalah head of drums di Popakademie Baden-Württemberg, guru, komposer, dan inovator yang menjadikan poliritme sebagai bahasa ekspresi.
Ketika rumor pertama muncul bahwa Rush akan “mencoba sesuatu” untuk ulang tahun ke-50 mereka, banyak yang tak percaya: siapa pun bisa menggantikan Peart? Tidak mungkin.
Tapi Lee dan Lifeson melihat sesuatu yang lain. “Kami tak mencari pengganti Neil,” ujar Lifeson. “Kami mencari seseorang yang bisa berdialog dengannya — lewat musik.”
Bagi Anika, menerima tawaran ini berarti melangkah ke medan sakral. Ia tahu tiap ketukan akan dibandingkan, tiap fill akan dibedah oleh jutaan telinga penggemar yang tumbuh bersama 2112 dan Tom Sawyer. Harap maklum meski Peart tiada, tetapi drumming-nya itu tetap ada dan hidup. Bahkan anak-anak generasi Z pun banyak yang terinspirasi.
Namun, justru di sanalah keberaniannya bersinar. Alih-alih meniru, Anika mempelajari struktur Peart seperti seorang arkeolog membaca peta peradaban kuno — lalu membangun sesuatu di atasnya.
Dalam latihan tur Fifty Something, ia memainkan YYZ dengan kecepatan yang sedikit lebih “bernapas,” menambahkan sentuhan groove modern di hi-hat, dan membuka ruang bagi improvisasi halus.
Hasilnya? Rush tetap terdengar seperti Rush — hanya lebih segar, lebih manusiawi, lebih… hidup.
Gaya bermain Anika adalah paradoks yang memukau: presisi komputer dengan jiwa manusia.
Ia membangun ritme berlapis, memanfaatkan sinkopasi kompleks tanpa kehilangan energi rock. Dalam lagu Subdivisions, permainan hi-hat-nya terasa seperti tarian lembut di antara synth dan bass Lee, sementara pada The Spirit of Radio, ia memutar ulang groove klasik dengan energi kontemporer.
“Neil menciptakan dunia. Aku hanya mencoba berbicara dalam bahasanya,” kata Anika dalam wawancara eksklusif.
Kata “coba” di situ terasa merendah. Di balik senyum tenang dan gaya mengajarnya yang metodis, Anika Nilles adalah kekuatan teknis yang tak bisa diabaikan.
Ia adalah drummer generasi baru — representasi dari dunia yang lebih inklusif, di mana virtuoso perempuan tidak lagi pengecualian, melainkan bagian dari evolusi musik itu sendiri. Sebagaimana saat ketika Linkin Park akhirnya memilih Emily Arsmtrong menggantikan mendiang Chester Bennington yang teriakannya mencapai 3 oktaf.
Reinkarnasi Rush 2026
Tur Fifty Something dijadwalkan dimulai musim panas 2026, dengan setlist yang melintasi sejarah Rush — dari Fly by Night hingga Snakes & Arrows. Tapi ada juga kejutan: dua lagu baru yang ditulis bersama Nilles, dikabarkan bernuansa eksperimental, dengan pola 13/8 dan tema tentang waktu dan kesadaran.
Apakah ini masih Rush?
Ya — tapi versi yang lebih matang, lebih reflektif. Rush yang tidak mencoba mengulang masa lalu, melainkan berdamai dengannya.
Di akhir konser preview mereka di Toronto tempo hari, saat Limelight dimainkan, banyak penonton menangis. Bukan karena sedih, tapi karena mereka tahu: Neil Peart tidak “digantikan.” Ia hidup — di setiap ketukan, di setiap gema yang dijaga oleh tangan Anika Nilles.
Welcome back, Rush.(*)
BACA JUGA: Kisah War Pigs – Charity Version Judas Priest untuk Ozzy Osbourne