JAKARTA – Beberapa pasal pada RUU Ketahanan Keluarga dinilai kontroversi sehingga menuai kritikan, karena dianggap mencampuri urusan suami-istri. Namun bagi pemerintah, hal tersebut masih bakal di kaji, seberapa penting untuk publik.
“Ini kan inisiatif DPR. Kami dari pemerintah tentu akan melihat seberapa urgensinya, seberapa DPR memberikan landasan berpikirnya buat apa, kemudian juga bagaimana tanggapan reaksi masyarakat,” ujar Wakil Presiden Ma’ruf Amin, di Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Untuk pengkajian, lanjut Ma’ruf, pihaknya bakal menugaskan menteri terkait. Selain itu, mempertimbangkan masukkan dari masyarakat.
“Kami akan menugaskan menteri terkait untuk membahas RUU itu. Jadi kami hanya merespons saja, baik dari inisiatif itu sendiri dan juga tentu dari opini publik,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII, Ace Hasan Syadzily, mengatakan urusan suami istri adalah ranah pribadi. Karena itu, seyogyanya tidak perlu diatur dalam undang-undang. Apalagi tiap keluarga memiliki nilai, etika, dan keyakinan masing-masing.
“Dalam pandangan saya, hubungan suami dan istri itu merupakan ranah pribadi kita masing-masing. Seharusnya hal-hal yang tak perlu diatur oleh UU,” katanya.
Namun tidak bagi Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Achmad Baidowi, menjelaskan RUU Ketahanan Keluarga sifatnya masih berupa draf usulan, atas lima Anggota DPR.
Mereka adalah Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Fraksi PKS, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, Ali Taher dari Fraksi PAN, dan Endang Maria dari Fraksi Partai Golkar.
“Masih draf. Jadi itu diusulkan oleh 5 pengusul,” katanya.
Dalam pengusulan, RUU tersebut rupanya masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020 bersamaan dengan RUU ‘Cilaka’. “Itu kan diusulkan judul dan naskah akademiknya ketika penyusunan Prolegnas Prioritas 2020, dan itu masuk,” kata dia.
“Karena sudah disahkan di paripurna (prolegnas prioritas) maka ibarat taksi argonya itu mulai jalan. Tahapan untuk menuju RUU itu sudah bisa dilakukan,” Baidowi menambahkan.
Dalam draf RUU Ketahanan Keluarga, ada sejumlah pasal yang dianggap kontroversi, seperti mengatur soal larangan Bondage, Dominance, Sadism, dan Masochism (BDSM) -aktivitas seks sadisme dan masochisme-.
Pada Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga, menyebut sadisme dan masochisme sebagai bentuk penyimpangan seksual. Selain dua praktik itu, penyimpangan seksual juga merujuk pada homoseksual dan inses.
RUU tersebut dituliskan, sadisme sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya. Sementara masochisme diartikan sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
Untuk menanganinya, RUU Ketahanan Keluarga mengklaim Pasal 86 dan Pasal 87 sebagai solusi. Dimana bunyi Pasal 86, Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota Keluarganya kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
Sementara pasal 87 berbunyi Setiap Orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan. [Fan]