“Kita berharap partai-partai yang menolak ini konsisten agar tidak terjadi konsolidasi di tingkat elit. Kalau mereka berkonsolidasi, bahaya, bisa gol isyu perpanjangan masa presiden ini karena kekuatan pendukung Jokowi di parlemen sudah 82 persen. Publik dan mahasiswa juga diharapkan terus bersuara menolak usul ini,” ujar Burhanuddin.
JENRIH-Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, sepakat denga Guru Besar UIN Jakarta, Saiful Mujani yang menyebut elit pengusul penundaan Pemilu 2024, seperti bocah yang belum beres pakai celana tapi sudah ngoceh sana-sini. Sebab menurutnya, argumen yang dilontarkan para politikus tersebut sangat lemah dan tak masuk akal.
“Saya setuju dengan pendapat Pak Saiful Mujani itu, para elite yang mengusulkan penundaan Pemilu itu sebaiknya pakai celana dulu yang bener, sebelum membawa isu itu ke publik. Perbaiki dulu argumennya,” ujarnya dalam acara Kuliah Umum yang diselenggarakan UIN Sunan Gunung Djati, di Bandung, Rabu, 9 Maret 2022, dan dikutip secara daring.
Soalnya, Burhanuddin bilang, pada 2020 Pemerintah menggelar 270 pemilihan Kepala Daerah serentak meski banyak yang mengusulkan ditunda di awal masa pandemi itu. Tapi elit politik, tak mengikuti saran dari masyarakat dan mengabaikan temuan survey. Dan Pilkada, tetap dilakukan.
Namun, ketika pandemi mulai membaik, para elit malah mengusulkan penundaan Pemilu dengan alasan yang tak cukup masuk akal. Apalagi, jika melirik ke data The International Institute for Electoral Assistance and Democracy (IDEA), dari 300 Pemilu nasional dan lokal di seluruh dunia pada dua tahun belakangan, angka penundaannya sangat kecil. Sekalipun ada, dilakukan di awal pandemi.
“Di tahun kedua, umumnya berjalan sesuai jadwal. Apalagi 2024 nanti, mungkin nyaris nol persen yang menunda Pemilu,” kata dia lagi.
Jika pemulihan ekonomi akibat pandemi yang dititik beratkan, juga tak bisa diterima sebagai argumen yang masuk ke akal sehat. Sebab pertumbuhannya, sudah mencapai 3,7 persen sepanjang 2021. Kalau pun tetap dipaksakan, ini sama saja dengan mementahkan kinerja Pemerintahan Jokowi sendiri.
“Wong katanya sudah on the track kok,” kata Burhanuddin berargumen.
Selanjutnya, jika pembangunan ibu kota negara juga dibawa-bawa sebagai alasan Pemilu harus ditunda, malah lebih tak jelas lagi. Sebab pembangunan itu, lebih tidak penting ketimbang keberlangsungan Pemilu 2024. Soalnya, konstitusi tak pernah menyebutkan sama sekali soal pembangunan tersebut.
“Lantas, apakah IKN itu lebih penting ketimbang jadwal pemilu lima tahun sekali yang sudah disebutkan secara verbatim dalam konstitusi?,” ujar Burhanuddin.
Dari tiga alasan yang diusung Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto sampai Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, tak satu pun bisa dijadikan alasan kuat untuk menunda pesta demokrasi lima tahunan.
“Kita berharap partai-partai yang menolak ini konsisten agar tidak terjadi konsolidasi di tingkat elit. Kalau mereka berkonsolidasi, bahaya, bisa gol isyu perpanjangan masa presiden ini karena kekuatan pendukung Jokowi di parlemen sudah 82 persen. Publik dan mahasiswa juga diharapkan terus bersuara menolak usul ini,” ujar Burhanuddin.
Soal penolakan memang bisa dilihat di mana-mana. Bahkan survei Indikator Politik Indonesia pada Desember 2021 lalu, sudah menunjukkan kalau 67,2 persen responden memilih pergantian kepemimpian nasional melalui Pemilu tetap dilaksanakan meski di tengah pandemi. Sementara 24,5 persen setuju ditunda sampai tahun 2027, dan 8,3 persen sisanya tidak menjawab.
Sedangkan Lembaga Survei Indonesia (LSI), merilis hasil survei pada awal Maret lalu yang menunjukkan bahwa 68 hinga 71 persen masyarakat menolak perpanjangan masa jabatan Presiden atau penundaan Pemilu baik dengan alasan pandemi, pemulihan ekonomi atau pembangunan ibu kota negara.[]