CrispyVeritas

Satu Abad Pembantaian Kulit Hitam Paling Keji di AS

  • Tidak diketahui berapa jumlah korban dan di mana korban dimakamkan.
  • Tapi ingatan seorang bocah yang tersimpan sampai usia 80 tahun mengungkap kasus itu.
  • Pembantaian Tulsa yang tertutup rapat selama seratus tahun mulai terungkap.

JERNIH — Suatu siang 30 Mei 1921, Dick Rowland — penyemir sepatu kulit hitam berusia 19 tahun — masuk lift di pusat kota Tulsa, Oklahoma, AS. Yang terjadi selanjutnya tidak jelas. Sejarah mencatat Rowland memicu pembantaian ras terburuk dalam sejarah kekerasan di AS, dengan korban mencapai ratusan.

Seratus tahun setelah peristiwa itu berlalu peneliti masih berusaha menemukan mayat korban. Penggalian beberapa hari terakhir membawa harapan baru bahwa semua korban suatu hari dapat ditemukan dan diidentifikasi.

Catatan-catatan tentang kasus ini hanya mengarah pada kemungkinan tentang pemicu perisitiwa. Salah satunya, Rowland mungkin tersandung dan menabrak seorang operator elevator kulit putih berusia 17 tahun bernama Sarah Page. Berikutnya, Sarah Page mengarang cerita bahwa dia diinjak.

Saksi di sekitar peristiwa mengatakan mendengar teriakan. Lainnya mengatakan yang terjadi adalah pertengkaran kekasih. Apa pun kemungkinan itu, Rowland terjebak dalam situasi dan waktu berbahaya dengan seorang wanita kulit putih.

Populasi Tulsa tahun 1921 berjumlah 100 ribu orang. Afro-Amerika, atau penduduk kulit hitam, berjumlah 11 ribu dan tinggal di bagian kota bernama Greenwood.

Alicia Odewale, penduduk asli Tulssa dan arkeolog Universitas Tulsa, mengatakan Greenwood menjadi oasis prasangka rasial dan kekerasan. “Kamu bisa membeli tanah, membuat bisnis, dan membesarkan keluarga,” kata Odewale.

Di tengah kemakmurannya, Tulsa sangat terpisah. Tahun 1907, negara bagian Oklahoma mengesahkan undang-undang Jim Crow. Klu Klux Klan menjadi kelompok yang memiliki andil dalam politik lokal.

Setelah Perang Dunia I, Tulsa menjadi cermin ketegangan rasial dan kekerasan di seluruh AS. “Ada semacam pandemi nasional teror rasial, dan Tulsa adalah satu dari seratus kota yang mengalaminya,” ujar Odewale.

Sehari setelah insiden elevator, Rowland ditangkap dengan tuduhan penyerangan. Desas-desus beredar bahwa dia mungkin akan digantung.

Malam setelah penangkapan, massa kulit putih menyerbu Greenwood, membakar properti, menjarah toko, dan membunuh anak-anak kulit hitam. Alih-alih melindungi lingkungan, penegak hukum membagian senjata dan terlibat dalam pembantaian.

Tembakan senapan mesih bergema di jalan-jalan Greenwood, pesawat pribadi menjatuhkan bahan peledak, dan menembaki mereka yang melarikan diri.

Zona Perang 24 Jam

Pada 1 Juni 1921 sore hari, 35 blok bangunan membara, ribuan rumah dan bisnis hancur, dan orang masih belum tahu berapa yang tewas di jalan-jalan.

Catatan Palang Merah 1921 menunjukan 800 orang terluka, dan 300 tewas. Biro Statistik Oklahoma mencatat 36 orang tewas, terdiri dari 26 kulit hitam dan 10 kulit putih.

Tulsa adalah sejarah penyangkalan, pembelokan, dan penyembunyian pembantaian rasisme. Setelah satu abad orang masih bertanya berapa korban meninggal, siapa mereka, dan di mana dikuburkan.

Tahun 2020 penyelidik menemukan kuburan massal yang diyakini menampung korban pembantaian Tulsa. Penemuan ini membawa semua yang kehilangan nyawa dimakamkan secara benar, dan monumen Pembantaian Tulsa dibangun di atasnya.

Namun sebelum itu, tes DNA harus dilakukan untuk memastikan nama-nama korban, dan menyatukan kembali mereka yang telah mati dengan anggota keluarga.

Penyelidikan untuk menemukan kuburan massal korban Tulsa dimulai tahun 2018, yang diumumkan Walikota GT Bynum. Sejak Bynum mengumumkan penyelidikan itu, warga keturunan Greenwood dan pemimpin komunitas bekerja berdampingan dengan ilmuwan multidisiplin dan memandu proses di setiap langkah.

“Seluruh dunia menonton, anak-anak kami juga menonton,” kata Kavin Ross, sejarawan lokal dan keturunan penyintas pembantaian.

Juni 2020, tim memulai proses penggalian sisa-sisa kuburan massal dengan hati-hati dan menganalisis tulang dan artefak untuk mencari petunjuk identitas individu, dan bagaimana mereka meninggal.

Budaya Diam

Setelah asap menilang pada 1 Juni 1921, penduduk kulit hitam yang masih hidup di Greenwood ditangkap dan dibawa ke lokasi penahanan. Mereka dibebaskan beberapa hari kemudian, menjadi tunawisma, dan lingkungan mereka tidak dapat dikenali.

Tidak ada yang diadili atas kejahatan atas pembantaian. Beberapa bulan kemudian Sarah Page memberi tahu pengacaranya bahwa dia tidak akan menuntut. Jaksa wilayah menolak kasus Dick Rowland. Page dan Rowland sama-sama meninggal di Tulsa.

Mereka yang selamat meninggalkan Tulsa. Yang bertahan membangun rumah dan bisnis mereka, tapi pemerintah Tulsa memblokir upaya mereka kembali ke Greendwood. Caranya, terus-menerus menyalahkan penduduk Greenwood atas insiden itu.

Sekian lama, masyarakat Tulsa; hitam dan putih, tidak banyak berbicara soal pembantaian Greenwood. Sejarah lokal seolah menghilangkan sejarah itu. Surat kabar tidak menulis sampai beberapa dekade kemudian.

Keluarga korban bungkam karena takut akan keselamatan mereka, atau menolak mengingat rasa sakit itu seumur hidup.

Satu generasi diam, tapi generasi berikut tidak. Orang-orang Tulsa mencoba menemukan jawaban atas peristiwa itu, dan mencari orang mati.

Mereka memulainya dengan mencatat desas-desus satu abad tentang kuburan massal sekitar Tulsa. Ada yang mengatakan korban dibakar di insinerator atau dibuang ke Sungai Arkansas atau terowonagna tambang di luar kota.

Tahun 1997, resolusi bersama diperkenalkan di badan legislatif Oklahoma untuk menyelidiki pembantaian itu. Sebuah komisi mengatur saluran telepon, dan Clyde Eddy menelepon untuk melaporkan apa yang dilihat.

Eddy punya daya ingat luar biasa. Ia menceritakan pengalamannya melihat kayu peti mati berserakan di tepi Oaklawn Cemetary. Di dekatnya orang-orang menggali parit.

Saat itu Eddy berusia 10 tahun. Ia penasaran dengan banyaknya peti yang dimakamkan. Ia turun ke parit, dan membuka salah satu peti. Isinya tiga mayat ditumpuk. Ia buka lagi peti lainnya, empat mayat di dalamnya. Ketika akan membuka peti ketiga, penggali kubur mengejar mereka.

Kepada penyelidik, Eddy menunjukan lokasi tempat dia melihat kuburan itu. Kini sebuah penanda dibuat . Konsultan ilmiah merekomendasikan penggalian.

Penggalian

Juli 2020, setelah penundaan akibat pandemi Covid-19, penggalian dilakukan di lokasi yang ditunjukan Eddy. Namun segalanya tidak berlangsung norma.

Tidak ada kuburan massal di lokasi yang ditunjukan Eddy. Tim tidak putus asa. Mereka bergeser sedikit ke arah area lapangan pembuat tembikar orang kulit hitam.

Di sini, arkeolog mengikuti pola tanah dan menggali parit. Segaris besar peti mati rapuh muncul bersama tulang manusia, engsel dan paku. Peti mati berdekatan dalam dua baris, mungkin ditumpuk.

Penggalian terus dilakukan dan penyelidik menemukan 12 peti mati. Soren Blau, antropolog forensik mengatakan, berdasarkan jumlah individu temuan ini memenuhi definisi kuburan massal.

“Sebab ini bukan cara kami menguburkan jenazah dengan hormat,” katanya.

Segalanya tidak berhenti sampai di sini. Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab untuk menguatkan mereka yang dikuburkan adalah korban pembantaian Greenwood.

Pertanyaan itu meliputi bukti penyebab kematian, tekstil yang mereka tinggalkan yang dapat diidentifikasi asal tahunnya, dan masih banyak lagi. Ada pula yang meragukan itu kuburan massal korban Greenwood, tapi arsip pemerintah kota menunjukan tidak ada orang dikuburkan dalam jumlah massal kedanti Tulsa juga terjangkit flu Spanyol tahun 1918.

Kini, yang diperlukan adalah tes DNA untuk memastikannya. Setelah itu, mencari nama-nama korban. Lainnya adalah penggalian yang masih harus dilakukan untuk mengungkap semua.

“Kami menunggu seratus tahun untuk apa yang kami temukan sejauh ini,” kata sejarawan Kavin Ross. “Kami berharap tidak menunggu seratus tahun lagi untuk menemukan kebenaran pembantaian Tulsa.”

Back to top button