- Jenis satwa liar yang dilindungi itu masuk kategori dilindungi Convention on International Trade of Endangered Species (CITES).
- Untuk hewan yang dilindungi apabila diperjual belikan secara ilegal, diancam dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Konservasi Hayati.
JERNIH — Aksi kejahatan penjualan binatang langka dan dilindungi kembali viral di media sosial (medsos). Pelaku diduga adalah pemilik akun Instagram @juragan_insyaf.
Dalam postingannya tampak beberapa hewan yang dijual seperti orangutan dan satwa lainnya. Akun yang diikuti lebih dari 4.000 pengikut dalam bionya menuliskan, “Ready stok, siap kirim sepulau Jawa. Ragu transaksi siap pake jasa rakber. Garansi barang sehat dan sesuai seperti chat di awal.”
Aksi ilegal tersebut memantik amarah Ketua Animal Defenders Indonesia (ADI), Doni Herdaru. Bahkan dirinya mengaku sudah mencoba melaporkan kasus ini via Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK).
“Namun, prosesnya yang rumit dan berbelit untuk pelaporan onlinenya, membuat orang enggan dan frustasi dalam melaporkan hal-hal seperti ini. Bahkan orang yang dengan semangat melindungi lingkungan yang tinggi sekalipun, akan merasa useless dan keburu hilang,” kata Doni kepada wartawan, Sabtu 2 Oktober 2021.
Ia pun mendesak kasus pidana penjualan satwa langka yang dilindungi ini diusut pihak kepolisian. “Polisi pun bisa menangkap dan mengusut jaringan penjualan satwa dilindungi,” katanya.
Menanggapi kasus tersebut, Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menyebut penjualan satwa liar dan langka di media sosial melanggar ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik (ITE), perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan/atau media elektronik lainnya.
Ia menambahkan bahwa maraknya jual beli satwa dilindungi berpotensi hilangnya kemampuan adaptasi hewan tersebut karena hidup di luar habitatnya. “Bahkan berpotensi hewan tersebut tidak terurus maupun mengalami kematian sehingga akan menggangu ekosistem alam hayati,” ujar Suparji.
Karena aksi tersebut melanggar ketentuan Undang Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. “Dalam Pasal 1 Undang-Undang Konservasi Hayati terdapat pengertian satwa liar yang merupakan semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang di pelihara oleh manusia,” katanya.
Ia mengatakan bahwa regulasi tersebut muncul selain untuk melindungi satwa liar dan langka dari kepunahan, juga sebagai suatu konsekuensi dari ratifikasi perjanjian internasional di mana pemerintah Indonesia juga sudah menyetujui perjanjian tersebut dengan Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1987 Tentang Pengesahan Amandemen 1979 Atas Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild.
“Jenis satwa liar yang dilindungi tersebut masuk dalam kategori satwa yang dilindungi oleh Convention on International Trade of Endangered Species atau disingkat dengan CITES, di mana perjanjian perdagangan internasional ini mengatur tentang dilarangnya memperdagangkan tumbuhan serta satwa yang dilindungi,” kata dia.
Terkait dengan jual beli satwa liar yang dilindungi tersebut, Suparji mendesak agar pihak kepolisian turun tangan menangani masalah tersebut. “Karena perbuatan melanggar hukum tersebut merupakan tindakan yang dilarang. Dalam hukum pidana yang berkembang di Indonesia terdapat asas tentang pertanggungjawaban yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens rist rea),” ujarnya.
Menurutnya, asas tersebut lah yang menjadi dasar sebuah kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana di Indonesia. Selanjutnya, dalam Pasal 20 Undang-Undang Konservasi Hayati dikelompokan dalam jenis satwa yang dilindungi dan satwa yang tidak dilindungi.
Untuk hewan yang dilindungi apabila diperjual belikan secara ilegal, diancam dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Konservasi Hayati, dimana bunyinya Setiap orang dilarang untuk:
a) Mengambil, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa liar yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b) Menyimpan memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c) Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ketempat lain baik didalam maupun diluar Indonesia
d) Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa uang dilindungi atau barang-barang yang terbuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain didalam maupun diluar Indonesia), mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan, atau memiliki telur dan/ atau sarang satwa yang dilindungi.
“Dengan ancaman pidananya penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) atau dapat dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah),” kata Suparji.
Namun, ada pengecualian dari perdagangan hewan liar tersebut apabila subjek hukum tersebut memliki izin resmi serta prosedur kepemilikan satwa liar yang dilindung yang seharusnya dimiliki oleh setiap calon pemilik satwa liar tersebut berdasarkan Pasal 3 ayat 2 Kepmenhut Nomor 277/Kpts-II/2003 Tahun 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Yaitu sebagai berikut:
a) Hanya dapat dilakukan untuk tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan dan pengembangbiakan;
b) Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Menteri Kehutanan yang memuat diantaranya informasi mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran dan wilayang pengambilan serta dilengkapi dengan rencana kerja atau proposal dengan tembusan kepada Dirjen dan otoritas keilmuan;
c) Dalam hal permohonan tidak dilengkapi dengan rekomendasi dari otoritas keilmuan, maka Dirjen meminta rekomendadi dari otoritas keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak akan merusak populasi dihabitat alam;
d) Berdasarkan permohonan dan penilaian kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c, menteri dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin berdasarkan saran dari direktur jenderal dan rekomendasi dari otoritas keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak akan merusak populasi di habitat alam. Selain itu terdapat juga prosedur perizinan yang diterbitkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam.