- Kota kuno itu, diberi nama Valeriana, diperkirakan satu setengah kali luas Washington DC.
- Ada areal padat bangunan, dengan piramida mirip Chichen Itza. Kota diperkirakan dihuni 50 ribu penduduk.
JERNIH — Seorang mahasiswa pascasarjana yang menganalisis data drone yang tersedia untuk umum di Meksiko secara tak sengaja menemukan kota kuno bangsa Maya yang terkubur di bawah kelebatan hutan.
NBCNews memberitakan kota itu tersembuyi di bawah kanopi hutan di negara bagian Campeche, di Teluk Meksiko. Penelitian terbaru, yang diterbitkan di jurnal Antiquity mengungkap situs-situs yang mencakup area selua satu setengah kali Washington DC.
Menurut peneliti terdapat area padat dengan 6.674 bangunan, termasuk piramida menyerupai Chichen Itza, di negara bagian Yucatan, Meksiko, dan Tikal — benteng kuno di hutan hujan sebelah utara Guatemala.
Marcelo Canuto, profesor antropologi di Universitas Tulane, mengatakan kandidat PhD Luke Auld-Thomas menemukan kota kuno bangsa Maya saat menjelajah internet.
Data yang dianalisis Auld-Thoma, mahasiswa pascasajana Universitas Tulane, dikumpulkan peneliti yang mempelajari pola penggunaan lahan. Penelitian itu menggunakan teknologi pemetaan drone modern yang disebut LiDAR, atau peralatan deteksi cahaya dan pengukuran jarak.
Auld-Thomas mengambil data itu dan menganalisis dengan metode yang digunakan para arkeolog. Ia menginformasikan temuannya, yang membuat peneliti segera terjun ke lapangan.
Yang ditemukan sangat mencengangkan. Sebuah kota kuno bangsa Maya terkubur di kelebatan hutan. Peneliti memberi nama Valeriana, berdaasrkan nama laguna air tawar di dekat kota.
Valeriana kemungkinan dihuni 30 sampai 50 ribu penduduk di puncak kejayaannya. Kota itu kemungkinan runtuh tahun 800 atau 1.000 Masehi akibat serangkaian serangan dan perubahan iklim.
“Konsensus yang berkembang adalah variabilita iklim merupakan faktor utama yang menyebabkan tekanan, adaptasi, dan reaksi, keresahan sistemik,” kata Canuto.
Ini terjadi akibat kepadatan populasi, yang lambat laut — selama beberapa generasi — tidak dapat bertahan hidup. Lainnya adalah masalah iklim.
Namun, menurut Canuto, tidak ada gambar kota ini. Yang ada hanya peta LiDAR. Tidak seorang pun yang pernah ke kota itu bersama penduduk. Sebab, reruntuhan bangunan berada di bawah tanah.
“Temuan ini membutuhkan perlunya penelitian lapangan dan memetakan wilayah menggunakan drone,” kata Canuto.
Canuto memperkirakan akan ada penelitian lapangan selama 10 sampai 20 tahun. Selain itu, perlu ada penelitian dengan LiDAR yang mencakup area lebih besar.