Site icon Jernih.co

September, Bulan Perempuan Nusantara

Indonesia di bulan September banyak memuat peristiwa sejarah. Dan di bulan ke sembilan ini, kiprah perempuan Nusantara terekam dalam sejarah Indonesia.

Jernih — 1 September biasa diperingati sebagai Hari Polisi Wanita (Polwan). Kelahiran korps polisi Srikandi pemberani ini berawal ketika peristiwa Agresi Militer Belanda II.

Waktu itu, akibat peperangan yang terjadi di Bumi Pertiwi, banyak orang mengungsi menyelamatkan diri. Pria, wanita, anak-anak, tua, dan muda meningalkan rumah mereka demi menghindari peperangan antara militer Belanda dan sekutu melawan para pejuang dan tentara tanah air.

Untuk mencegah ada penyusup dalam rombongan pengungsi, mereka diperiksa secara seksama oleh polisi. Para wanita enggan diperiksa terlebih bila harus sampai digeledah secara fisik oleh para polisi pria.

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatra Barat, lantas memerintahkan Sekolah Polisi Negara (SPN) untuk membuka Pendidikan Inspektur Polisi bagi wanita. Jalan ini ditempuh untuk mengatasi rikuhnya perempuan ketika harus diperiksa oleh aparat keamanan laki-laki.

Selain itu, sebagaimana alasan umum dibentuknya polwan di negara lain, polwan di Indonesia pun lahir guna mengatasi kejahatan yang melibatkan perempuan baik sebagai korban maupun pelaku.

Para tanggal 1 September 1948, enam orang wanita berdarah Minangkabau terpilih untuk mengikuti Pendidikan Inspektur Polisi. Keenam polwan pertama di Indonesia itu adalah: Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahiar Sukotjo, Djasmainar Husen, dan Rosnalia Taher. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai Hari Polisi Wanita di Indonesia.

Hubungan September dan wanita Nusantara ternyata bukan hanya lahirnya polwan. Jauh sebelum itu, tepatnya pada tanggal 11 September 1599, Laksmana Laut perempuan pertama di dunia asal Kesultanan Aceh Darussalam, Malahayati, berhasil membunuh musuhnya, Cornelis de Houtman melalui duel satu lawan satu. 

Dilaporkan Tirto.id, panglima perang yang bernama lengkap Keumalahayati ini adalah anak dari Laksamana Mahmud Syah. Ia masih keturunan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530).

Malahayati kecil tak seperti perempuan kebanyakan. Ia bukan tipe perempuan yang gemar bersolek. Melatih berbagai macam ketangkasan adalah kegemarannya sejak lama. Kegemaran dan bakatnya itu diwarisi dari sang ayah yang pernah menjabat laksamana laut Kesultanan Aceh, jabatan yang sebelumnya dipegang oleh kakeknya.

Karena bakat dan ketekunannya berlatih, ia tercatat merupakan salah satu lulusan terbaik Ma’had Baitul Makdis, akademi ketentaraan Kesultanan Aceh Darussalam yang “mengimpor” instruktur-instruktur militer berpengalaman dari Kesultanan Ottoman.

Setelah lulus, ia berkarir di angkatan laut. Sultan Alaudin memilihnya menjadi pucuk pimpinan tertinggi angkatan laut Kesultanan Aceh Darussalam seperti ayah dan kakeknya dulu.

Namanya semakin harum tatkala ia berhasil mengabisi kapten kapal Belanda yang berniat tak baik pada Kesultanan Aceh, Cornelis de Houtman. Dikisahkan, ia dan Cornelis duel satu lawan satu di atas kapal Belanda bernama de Leeuwin.

Malahayati bersenjata rencong sementara tangan musuhnya memegang pedang. Perempuan pemberani pendiri pasukan janda berani mati, Inong Balee, ini berhasil menikam Cornelis hingga mati.

Pada tahun 1606, dalam sebuah pertempuran melawan Portugis di Selat Malaka, Laksamana Laut Malahayati gugur di medan perang. Jenazahnya dikebumikan di kaki Bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar. Namanya tak hanya harum di Aceh dan Nusantara. Orang-orang Eropa juga mengakui kehebatan muslimah satu ini.

400 tahun lebih setelah kematiannya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memberinya gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 2017. [ ]

Exit mobile version