Site icon Jernih.co

Setelah BTS dan BLACKPINK Redup, K-pop Menunggu Kebangkrutan

JERNIH — Dalam wawancara dengan Bloomberg News, CEO HYBE Park Ji-Won — sosok di balik pertumbuhan eksponensial produk budaya pop Korea — mengeluarkan pernyataan tak terduga.

“Saya khawatir suatu hari nanti orang tidak mendengar K-pop lagi,” katanya. “Beberapa orang sudah mengkhawatirkan hal itu setelah mencapai pertumbuhan luar biasa selama pandemi Covid-19.”

Park Ji-won tidak sedang menebarkan ketakutan. Ia hanya menyampaikan kekhawatiran setelah melihat angka-angka pertumbuhan sepanjang 2022.

Layanan Bea Cukai Korsel mencatat total ekspor album K-pop mencapai 231,4 juta dolar AS atau Rp 3,5 triliun tahun 2022 dan menjadi angka tertinggi yang pernah dicapai. Rincinya, lebih tiga kali lipat dibanding 2019, sebelum pandemi, yang hanya 74,6 juta dolar AS atau Rp 1,1 triliun.

Selama krisis kesehatan global, ketika tidak ada lagi aktivitas di luar, banyak orang mencoba menikmati K-pop dan terpesona. Di media sosial, terjadi tsunami konten K-pop, yang membuat ratusan juga orang berusaha akrab dengannya.

Pertanyaannya, mengapa sebagian orang merasa popularitas K-pop menurun?

Para ahli mengatakan ketidak-hadiran BTS salah satu alasan terbesarnya. BTS adalah pengubah permainan di dunia K-pop yang mencapai banyak hal. Mulai dari tangga langu utama Billboard, nominasi Grammy, dan seabrek penghargaan lain.

Pada puncak popularitasnya, anggota BTS harus melakukan kewajiban untuk negara, yaitu wajib militer. Sebagai septet, BTS menghilang. Yang ada adalah cerita tentang anggotanya yang menjalani wajib militer, dan lainnya melepas album solo.

Kritikus musik Kim Do-heon, dalam wawancara dengan The Korea Times, mengatakan K-pop masih menikmati kejayaannya, tapi harus mempersiapkan masa depan agar tidak digulung genre lain.

“Jika terus bereksperimen dan memperluas wawasan ke bidang berbeda seperti metaverse, K-pop akan dapat memperoleh lebih banyak daya tarik seiring berjalan waktu,” kata Kim.

K-pop dan J-pop

Banyak orang bertanya-tanya apakah K-pop akan bernasib seperti J-pop. Jawabnya tergantung persepsi masing-masing.

J-pop mencapai puncaknya tahun 1990-an berkat kemunculan bintang-bintang seperti X-Japan. Namun, pengaruh globalnya tidak sekuat yang dialami K-pop.

Menurut Kim, J-pop sangat tergantung penggemar dalam negeri. K-pop sebaliknya, mengumpulkan penggemar dari seluruh dunia dengan memanfaatkan platform media sosial.

J-pop dan K-pop besar di era berbeda. Saat J-pop meledak-ledak, media sosial belum ada, yang membuat akses publik dunia untuk menikmatinya sangat terbatas. K-pop muncul di era media sosial, yang membuat produk budaya pol Korea mendunia.

K-pop mendominasi platform media sosial dengan 7,8 miliar tweet tahun 2021. Sejumlah video musik BTS dan BLACKPINK ditonton rata-rata 100 juta kali di YouTube.

“Namun K-pop belum menjadi mainstream di AS, pasar musik rekaman terbesar di dunia,” kata Lee Hye-jin, asisten profesor komunikasi klinis Universitas of Southern California. “K-pop memiliki basis penggemar luar biasa besar, berpenaruh untuk meningkatkan penjualan album, tapi masih kurang populer.”

Penyebabnya, masih menurut Prof Lee, jumlah aliran yang relatif kecil. “Saat saya mengajar mata kuliah budaya pop dan media, kurang 20 persen dari mahasiswa yang menunjukan ketertarikan pada K-pop,” kata Prof Lee.

K-pop Generasi Keempat, Apa Itu?

Orang-orang yang bergerak di industri K-pop layak khawatir akan masa depan mereka. Sebab, mereka tidak bisa menjawab setelah era BTS dan BLACKPINK berakhir, siapa lagi pengubah permainan berikut?

Choi Joo-yeon, seorang penggemar K-pop berusia 20 tahun, mengatakan; mayoritas aksi K-pop generasi keempat — terutama boy band dan girl band — tak dikenal publik Korea.

Generasi keempat adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pad aksi yang muncul tahun 2018 dan setelahnya.

Menurut Prof Lee, segalanya akan tergantung pada BTS dan BLACKPINK. Apakah BTS masih bisa bersatu kembali tahun 2025, seperti dikatakan HYBE? Apakah anggota BLACKPINK akan memperbarui kontrak mereka dengan YG Entertainment untuk melanjutkan aktivitas mereka.

“Keputusan keduanya dapat memberi petunjuk akan masa depan K-pop di AS,” kata Prof Lee.

Ia juga mengatakan orang Korea bertanya-tanya apakah mungkin HYBE dan SM berkolaborasi. Kalau pun mungkin, apakah kerja sama mereka berdampak besar bagi pasar AS, meski mungkin ada pengaruhnya pada jangka panjang.

Mengeksploitasi Pasar Asia Tenggara

Pertanyaan menarik lain tentang masa depan K-pop adalah di belahan dunia mana produk budaya Korea ini akan bertahan?

Prof Lee mengatakan K-pop harus terus mengarahkan pandangannya ke pasar Asia Tenggara. Membangun fandom yang kuat di Asia Tenggara, kata Prof Lee, akan dapat menarik minat orang-orang AS.

Untuk menaklukan pasar AS, artis K-pop tampanya harus mulai berbicara sendiri. Selama ini, artis K-pop diatur perusahaan, bahkan untuk berbicara yang paling sederhana. Artinya, semua berita tentang artis K-pop keluar dari rilis resmi perusahaan.

Di Asia Tenggara, apalagi di Indonesia, itu tidak masalah. Di AS, negara dengan beragam budaya bangsa dan kebebasa berbicara dijamin UU, itu masalah. Artis K-pop harus bicara tentang dirinya, tanpa harus menjadi robot perusahaan.

Kim Han-sol, penggemar K-pop berusia 20 tahun, mengatakan; “Sebagai penggemar K-pop lama, saya sering merasa dunia K-pop adalah tentang perusahaan, bukan artis dan penggemarnya.”

Di Asia Tenggara mungkin kita tidak akan pernah mendengar opini seperti ini. Sebab, yang dikonsumsi penggemar K-pop di Asia Tenggara adalah wajah ganteng atau cantik sang artis dan musiknya.

Exit mobile version