- Tentara Arakan punya niat sama dengan militer Myanmar, yaitu memusnahkan Rohingya.
- Dalam beberapa bulan terakhir, Tentara Arakan membunuh 2.500 Mulsim Rohingya.
JERNIH — Setelah sekian lama dianiaya rezim militer Myanmar, Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine kini terancam dibantai Tentara Arakan.
Nay San Lwin, salah satu pendiri Free Rohingya Coalition, mengatakan masyarakat internasional perlu segera bertindak membangun zona aman untuk melindungi populasi tak bernegara yang rentan terhadap kekerasan.
“Jika menyangkut Rohingya, Tentara Arakan punya niat yang sama dengan rezim militer Myanmar, yaitu memusnahkannya,” kata San Lwin seperti diberitakan Daily Sabah.
Tentara Arakan, dibentuk tahun 2009, adalah kelompok pemberontak Buddhis di Rakhine. Kelompok ini menghendaki otonomi lebih besar, dan terlibat konflik bersenjata dengan militer Myanmar tahun 2018 sampai 2020.
Setelah kudeta militer Februari 2021 yang menggulingkan pemeirntahan sipil dan hampir semua etnis di Myanmar angkat senjata, Tentara Arakan kembali adu senjata dengan Tatmadaw — julukan untuk tentara Myanmar.
Memanfaatkan kelemahan lawan, Tentara Arakan merebut kota-kota dan pos militer pemerinta dan nyaris menguasai seluruh negara bagian Rakhine. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan masa depan Muslim Rohingya.
Lwin mengatakan saat ini terdapat 550 ribu Muslim Rohingya di Rakhine dan sekitaranya.
“Dalam beberapa bulan terakhir, Tentara Arakan membunuh 2.500 Mulsim Rohingya dan menggebah sedikitnya 300 ribu keluar dari dua kota,” katanya.
Mereka yang tersisa di Rakhine, wilayah yang juga disebut Arakan, menghadapi ancaman seirus. Lwin juga mencatat sebanyak 30 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh akibat penganiayaan dan pembunuhan terus-menerus.
Menurut PBB, tahun 2017 sekitar 700 ribu Rohingya melarikan diri dari Rakhine menghindari genosida militer Myanmar. Mereka mencari perlindungan di Bangladesh
Lwin mengatakan pengungsi Rohingya di Bangladesh tidak dapat kembali ke Rakhine karena Tentara Arakan merampas seluruh tanah mereka.
Tentara Arakan, menurut Lwin, melanjutkan apa yang digambarkan militer Myanmar sebagai ‘urusan belum selesai’ dari Perang Dunia II. Tahun 2018, militer Myanmar menggemakan kalimat ini.
Lwin mengkritik Dewan Keamanan PBB yang memprioritaskan bantuan kemanusiaan, bukan menangani penyebab krisis kemanuriaan.
“Tanpa tindakan berarti, situasi akan memburuk,” kata Lwin.
Ia juga mendorong lebih banyak negara untuk mendukung kasus hukum internasional, termasuk yang ditangani Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
“Ada lebih 150 negara menandatangani konvensi genosida,” kata Lwin. “Mereka semua dapat bergabung, karena persoalan Rohingya bisa menjadi kasus besar.”