Seoul selama ini berada di posisi sulit, menggantungkan keamanan pada Washington, tapi ekonomi pada Beijing. Presiden Lee bahkan mengakui paradigma “keamanan ke AS, dagang ke China” sudah tidak bisa dipertahankan.
JERNIH – Kunjungan perdana Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung ke Gedung Putih yang digadang-gadang bakal memperkuat aliansi strategis Seoul–Washington justru berubah jadi drama baru. Bukan hanya soal biaya pertahanan dan ancaman Korea Utara, tapi juga karena komentar mengejutkan dari Presiden AS Donald Trump.
Dalam pertemuan yang berlangsung lebih dari dua jam, Trump tiba-tiba melontarkan ide agar Amerika “memiliki” tanah Korea Selatan yang saat ini digunakan untuk pangkalan militer AS. Selama puluhan tahun, pangkalan itu berdiri dengan status sewa dan bisa dikembalikan kapan saja.
“Mereka bilang, ‘Kami kasih kalian tanah.’ Saya bilang, ‘Tidak, kalian hanya menyewakan tanah.’ Itu berbeda. Mungkin saya ingin mereka benar-benar memberikan kepemilikan atas tanah tempat benteng besar kita berdiri,” ujar Trump blak-blakan di hadapan wartawan.
Komentar ini jelas bikin kaget, karena menyimpang dari kesepakatan lama yang mengatur kehadiran sekitar 28.500 pasukan AS di Korea Selatan sejak Perang Korea.
Aliansi di Persimpangan Jalan
Padahal, banyak analis berharap KTT Trump–Lee kali ini bisa menjawab pertanyaan penting: bagaimana modernisasi aliansi AS–Korsel menghadapi ketegangan baru di kawasan, mulai dari nuklir Korea Utara hingga bayang-bayang China.
Seoul sendiri selama ini berada di posisi sulit: menggantungkan keamanan pada Washington, tapi ekonomi pada Beijing. Presiden Lee bahkan mengakui paradigma “keamanan ke AS, dagang ke China” sudah tidak bisa dipertahankan.
“Rantai pasok global sedang berubah, dan kebijakan AS terhadap China makin jelas. Korea tidak bisa lagi berdiri di dua kaki seperti dulu,” kata Lee di forum CSIS, Washington.
Satu isu klasik yang kembali mencuat adalah soal biaya aliansi. Washington ingin Seoul membayar lebih untuk keberadaan pasukan AS, bahkan mendesak Korsel menaikkan anggaran pertahanannya hingga 5% dari PDB. Saat ini, Korsel baru di angka 2,8% dan hanya berani naik sampai 3,5%.
Trump menilai Korsel harus ikut menanggung “beban keamanan global” AS, termasuk menghadapi China di Taiwan. Tapi Seoul menolak terseret jauh, khawatir Pyongyang bakal memanfaatkan celah untuk menyerang, sementara hubungan dagang dengan Beijing juga bisa hancur.
Ucapan Trump soal “minta tanah” menambah lapisan ketidakpastian dalam hubungan kedua negara. Alih-alih memperkuat rasa saling percaya, justru memunculkan kekhawatiran Korsel akan makin ditekan di bawah kebijakan luar negeri Trump yang terkenal keras dan penuh kejutan.
Sementara Presiden Lee mencoba tampil optimis dengan janji meningkatkan belanja militer dan memperkuat aliansi, Trump sekali lagi berhasil mencuri panggung dengan gaya khasnya—blak-blakan, penuh kontroversi, dan meninggalkan tanda tanya besar:
Apakah aliansi AS–Korsel akan makin solid menghadapi ancaman bersama, atau justru retak karena “politik tuan tanah” ala Trump?